Serangan Asimetris: “Ciptakan Kegaduhan di Internal Negeri” (7)

Bagikan artikel ini

Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)

Watak Geopolitik Singapura

Memahami watak geopolitik Negeri Paman Lee melalui cermatan kejadian atau peristiwa, baik pengalaman tersurat maupun tersirat, dll maka perkenankan saya menerangkan halnya secara sederhana. Catatan ini tak hendak bicara definisi entah ‘watak’ atau ’geopolitik’, atau kedua-keduanya. Tidak lagi. Dan uraian sedikit ini tidak ada maksud untuk menggurui pihak-pihak yang ahli, berkompeten dan mempunyai kepentingan perihalnya. Kalau pun ada perbedaan pendapat, anggaplah sebagai kewajaran yang perlu dianalisa lebih dalam lagi, karena pada hakekatnya hal-hal yang akan kami sampaikan demi kesamaan pemahaman dan penyadaran.

Inilah asumsi watak geopolitik Negeri Paman Lee di Asia (Tenggara):

“Bahwa gagasan, rencana, action plan dll dari sebuah negara manapun, jika halnya dinilai atau karena sifat dan tujuannya memiliki potensi ancaman serta gangguan terhadap keberadaan (existence) Selat Malaka, pelabuhan-pelabuhan, atau mengancam ‘kedaulatan’ Singapura secara langsung ataupun tak langsung, maka mutlak dan wajib hukumnya untuk dihambat, digagalkan, kalau perlu “otak”-nya dimusnahkan dengan segala cara baik melalui asymmetric strategy (non militer) ataupun secara symmetric strategy, agar potensi ancaman tersebut tidak berkembang menjadi gangguan”.

Ada dua pertanyaan menggelitik timbul. Pertama, apakah gagasan berdirinya pelabuhan (internasional) Sabang di Aceh dan Terusan Kra, di Thailand Selatan menjadi ancaman bagi Singapura? Kedua, sesuai watak geopolitiknya, apabila action plan kedua hal tersebut bakal mengancam keberadaannya, lalu mungkinkah Negeri Singa akan diam mematung?

Konflik lokal ialah bagian daripada konflik global. Inilah asumsi yang kian santer di kalangan pengamat serta peneliti global review dalam mengkaji konflik-konflik di berbagai belahan dunia. Gejolak politik di Ukraina misalnya, bukanlah melulu soal konflik dua kubu di internal negeri tersebut. Atau pembantaian muslim Rohingya di Myanmar, apakah juga murni perseteruan antara Budha versus Islam semata? Tentunya tidak.

Konflik sebagai Modus

Konflik lokal di wilayah atau yang meletus pada sebuah negara, jangan dilihat sebagai faktor tunggal berdiri sendiri. Memang tidak sedikit, konflik meletus karena (murni) persoalan-persoalan lokal di sekitarnya. Atau masalah lokal hanya dijadikan pemicu belaka? Kejadian di Rohingya, konflik Sampang, dll ternyata memiliki pemicu (lokal) sama yakni: pelecehan seksual. Dan ketika konflik membesar serta meluas, pemicu pun diabaikan tanpa pendalaman lebih jauh.

Akan tetapi kerapkali, konflik lokal justru sekedar proxy war (medan tempur) para adidaya terkait kepentingan-kepentingan mereka di seputaran lokasi peristiwa. Inilah pemahaman dini yang mutlak harus dibangun serta disadari bersama.

Kasus Syria adalah contoh aktual. Kendati media mainstream yang berafiliasi ke Barat menggebyarkan sebagai perang aliran dalam agama (lokal), namun sejatinya tidaklah demikian. Konflik di Syria bukanlah perseteruan antar sekte dalam agama (Islam), bukan pula soal demokratisasi atau pemimpin tirani seperti selama ini santer dihembuskan, akan tetapi akar konflik lebih kepada perseteruan para adidaya Barat melawan Timur terkait geopolitic of pipeline serta rebutan geostrategy position negeri Syria di Jalur Sutera. Inilah motif utama peperangan di Syria.

Peristiwa di Syria hampir mirip krisis politik di Ukraina, dimana antara adidaya Timur (Rusia) versus Barat (AS dan Uni Eropa) berebut sphere of influance di lokasi atau negara yang menjadi medan pertempuran mereka. Inilah pemahaman sekilas tentang asumsi bahwa konflik lokal bagian dari konflik global. (Baca artikel: Mencari Motif Utama Serangan Militer Barat ke Syria, dan artikel: Membaca Krisis Politik Ukraina dari Perspektif Geopolitik, di situs/web: www.theglobal-review.com).

Maka pointers diskusi terbatas di Forum KENARI (Kepentingan Nasional RI), Jakarta, pimpinan Dirgo D. Purbo, pakar perminyakan dan dosen di beberapa perguruan tinggi selalu merekomendasi bahwa conflict is the protection of oil flow and blockade somebody else from the oil flow. Inti dan hakikinya ialah, bahwa konflik yang muncul di permukaan sering sekedar modus deception (penyesatan), ataupun pengalihan perhatian, dll untuk meraih kepentingan politik (ekonomi) yang lebih besar. Sun Tzu menyebutnya, mengecoh langit menyeberangi lautan!

Dalam asymmetric warfare, konflik atau gejolak massa hanya sebuah tema (agenda) setelah isue-isue ditebar kepada publik. Inilah pola peperangan asimetris. Setelah tema berjalan sesuai harapan, lazimnya kemudian ditancapkan skema atau tujuan dari kolonialisme itu sendiri (baca: Apa dan Bagaimana Asymmetric Warfare Berlangsung, www.theglobal-review.com).

Sebuah hipotesa muncul tak terkira: apakah konflik intrastate (konflik vertikal dan horizontal dalam negara) di Aceh dan di Pattani, Thailand Selatan merupakan “ciptaan” asing dan bagian strategi Paman Lee guna melindungi eksistensi chokespoints of shipping in the world; seandainya terbangun serta kelak beroperasi free port Sabang dan Terusan Kra, apakah “mimpi buruk” Paman Lee menjadi fakta yang tak terelakkan di Selat Malaka; sekali lagi, mungkinkah ia hanya bersiul-siul menyaksikan perkembangan situasi?

Bersambung ke (8)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com