Sesungguhnya, Adakah Benturan Peradaban Itu?

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Pemerhati Masalah Internasional

Tahun 1991-an Perang Dingin (1947-1991) telah usai, dan Uni Soviet lebur ibarat luluhnya lilin terberai. Dunia memberi tanda, bahwa luluh-lantaknya Soviet dianggap sebagai akhir perseturuan Blok Komunis dengan Kapitalis Barat. Masyarakat internasional pun menimbang lalu menyusun barisan rapat-rapat. Hey, mana ideologi hebat, mana bermanfaat dan mana yang mudarat. Ceritanya, ideologi Komunis sekarat, lalu Kapitalis menguasai ini jagat.

Dalam buku The End of History-nya Francis Fukuyama menyatakan bahwa dunia bakal mencapai suatu konsensus luar biasa terhadap demokrasi. Dan demokrasi liberal adalah akhir dari evolusi ideologi, pasca runtuhnya berbagai ideologi seperti sitem monarki, komunis, fasisme dan seterusnya. Tercabiknya Uni Soviet menjadi beberapa negara merdeka, seolah-olah sebagai momentum pembanding antara Kapitalis dengan ideologi serta isme-isme lain di dunia.

Bahkan Samuel P. Huntington, penasehat politik kawakan Gedung Putih dalam buku The Clash of Civilization and The Remaking of World Order (Benturan antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia) menyebut:

Bahwa konflik antara Islam dan Barat merupakan konflik sebenarnya! Sedangkan konflik antara kapitalis dan marxis sifatnya cuma sesaat dan dangkal saja. Dari 32-an konflik-konflik di dunia sekitar tahun 2000-an, dua pertiganya ialah antara Islam dengan Non Islam, tanpa ia mengurai detail sebab akibat dan mengapa konflik menghantam. Mengapa demikian, maka inilah yang memang tengah dijalankan. Opini didirikan, asumsi-asumsi mulai ditebarkan bahwa skenario itu seakan-akan itu sebuah kebenaran. Dunia pun termangu dalam diam!

Ujung semuanya, Huntington merekomendasi perlunya pre-emtive strike (serangan dini) terhadap ancaman kaum (militan) Islam. ¬Pre-emtive strike itu doktrin negara yang intinya adalah: dengan pertimbangan pembelaan diri —cukup melalui asumsi— suatu negara boleh menyerang kedaulatan negara lain, istilahnya: “pukul dahulu sebelum dipukul”.

Ide tersebut begitu kental mewarnai politik luar negeri Pemerintah Amerika Serikat (AS) terutama era George W. Bush. Dan awal Juni tahun 2002, pre-emtive strike resmi menjadi doktrin baru AS. Meskipun hal itu sempat menimbulkan kontroversi baik dari dalam maupun luar negeri, oleh karena ada situasi pembanding : “ .. sedang sewaktu Perang Dingin saja memakai methode penangkisan dan penangkalan, mengapa menghadapi teroris –musuh baru– yang masih samar, menggunakan doktrin serangan dini?”

Akan tetapi sang superpower tak perduli. Ia jalan terus dengan para sekutu kendati invasi militernya pada beberapa wilayah banyak disebut ilegal. Afghanistan dan Iraq merupakan “korban” implementasi pertama doktrin kontroversial, akibat invasi militer AS dan sekutunya tidak lagi bisa ditekel, tak mampu dijegal.

Berbagai opini menyebut, doktrin itu lahir akibat “phobia” Barat terhadap Islam. Phobia ialah ketakutan berlebih tanpa dasar, tanpa jelas alasan. Maka melalui isu beragam, AS pun menebar sentimen keagamaan, dan tragedi 11 September 2001 merupakan salah satu strategi guna meraih dukungan internasional dalam rangka mengobarkan ‘perang melawan teroris’ (War on Terror). Itulah propaganda emosional. Tatkala sentimen bergeser (atau sengaja digeser) maknanya bahwa teroris identik dengan Islam (militan). Memang disitulah tersirat sebuah tujuan!

Dalam ulasannya, Huntington menyebut faktor penyebab meningkatnya konflik antara Islam dan Barat, antara lain: (1) tumbuh cepatnya penduduk muslim telah memunculkan pengangguran jumlah besar. Ini menimbulkan ketidakpuasan kalangan kaum muda muslim; (2) kebangkitan Islam memberi keyakinan kaumnya akan tinggi dan keistimewaan nilai peradaban Islam dibanding dengan Barat; (3) di sisi lain, Barat berusaha mengglobalkan nilai dan institusi guna menjaga superior militer serta ekonomi dan selalu turut campur tangan pada konflik-konflik di negara mayoritas Islam. Hal ini memicu kemarahan kaum muslim; (4) Porak-porandanya Uni Soviet, telah mengubah musuh (komunisme) bersama, sehingga antara Islam dengan Barat merasa sebagai ancaman; (5) meningkatnya interaksi keduanya, mendorong perasaan baru masing-masing bahwa identitasnya berbeda dengan yang lain.

Pada buku  Who Are We? The Challenges to America’s National Identity (2004), Huntington semakin tegas menggambarkan pemikirannya bahwa sesungguhnya musuh Barat pasca perang dingin adalah Islam. Meskipun ada embel-embel kata ‘militan’ sebagai tambahan, namun di berbagai penjelasan, definisi Islam Militan melebar kemana-mana mengaburkan arti sesungguhnya. Akhirnya, dengan berakhirnya Perang Dingin, maka Islam (militan) benar-benar menggantikan posisi Soviet sebagai musuh utama AS dan sekutunya.

Adalah efek domino dari jatuhnya ekonomi AS yang menyebabkan krisis global dimana-mana, membuka “mata dunia”, bahwa Kapitalisme yang mendewakan demokrasi liberal ternyata bukan akhir evolusi suatu ideologi sebagaimana asumsi Francis Fukuyama. Kemenangan Kapitalisme atas ideologi Komunis saat Perang Dingin, ternyata tidak membawanya pada puncak hegemoni. Nasibnya tidak berbeda dengan ideologi-ideologi lain, tersobek dan berserak seperti selendang kain. Tesis Fukuyama pun gugur tidak berguna lagi. Teorinya bisu dan mati. Dunia bertanya, peradaban dari ideologi mana lagi yang unggul lagi lestari?

Kemunculan Rusia dan China dalam kiprah politik global menarik perhatian dunia. Masyarakat global seperti melihat bangkitnya komunis via kedua negara adidaya tersebut. Apakah setelah bangkrutnya kapitalisme, banyak negara bakal berkiblat kepada (komunisme) Rusia dan China? Tapi rupa-rupanya banyak kelompok dan negara yang trauma. Kapok. Entah sebab apa.

Persoalannya ialah, peradaban mana yang bisa menjadi teladan bagi dunia baru, setelah melihat berbagai ideologi yang tumbuh dan berkembang di muka bumi bertumbangan satu demi satu?

Kesalahan utama Barat dan banyak komunitas lain adalah memandang Islam sebagai ideologi. Inilah titik awal atau “bibit”-nya. Sehingga dampak yang timbul: Islam diletakkan sebagai pesaing, dijadikan kompetitor, bahkan usai Perang Dingin dianggap musuh utama seperti isyarat Clash of Civilization-nya Huntington.

Sesungguhnya Islam itu bukan ideologi, Islam adalah agama langit. Jika ideologi ialah hasil olah pikir manusia yang dijadikan pedoman hidup dan kehidupan (peradaban) suatu komunitas, kaum, negara dan sebagainya,  sedang Islam ialah tuntunan hidup manusia menurut aturan dan petunjuk-Nya.

Manakala kini berkembang banyak aliran dalam tubuh Islam dan tiap aliran mengklaim dirinya sebagai kelompok paling benar, itu bukanlah hal prinsip di internal Islam karena cuma masalah latar belakang, wacana dan pendidikan (tasawuf).

Butuh waktu guna men-defrag (tata ulang) kembali. Memang dampak yang ditimbulkan seakan-akan umat Muslim terkotak-kotak. Kondisi seperti inilah yang kemudian dimanfaatkan untuk memecah-belah Islam dari sisi internal, dilakukan oleh suatu negara, atau kaum maupun golongan tertentu yang menganggap Islam sebagai ancaman. Sebuah retorika menyeruak pada benak ini: Ingatkah terhadap strategi belah bambu dan taktik adu domba yang dijalankan pada banyak kalangan Islam dan dipraktekkan di negara-negara berkembang?

Adanya cap atau merek Islam radikal, liberal, modern, Islam fundamental, tradisional, abangan dan seterusnya, sejatinya adalah stigma buatan yang hendak membentur-benturkan sesama muslim tanpa umat Islam itu sendiri menyadarinya. Itulah hakiki yang terjadi di berbagai negara. Walaupun tata cara dan format adu domba terlihat tidak sama di setiap wilayah, akan tetapi hakikinya serupa. Hanya berbeda nama beda nuansa.

Merujuk judul tulisan ini, membenturkan antara Barat dengan dunia Islam adalah kesalahan terbesar sepanjang hidup pakar politik AS Huntington. Mengapa demikian, karena dari sisi terminologi saja, Barat adalah arah mata angin, dimana bila itu dihadapkan selayaknya dengan Timur, Utara atau Selatan, dan bukannya dengan Islam. Itulah yang terjadi. Asumsi awalnya salah, menghadirkan implementasi yang rancu dan salah kaprah. Begitulah jadinya. Dengan demikian, konsep Huntington tentang benturan peradaban seperti menepuk air di dulang, memercik ke muka “sang tuan”, oleh sebab sesungguhnya tidak ada benturan peradaban, kecuali benturan yang diciptakan sepihak, dan diada-adakan!

Dan sejatinya, tidak ada ideologi lestari di muka bumi karena semua bisa berubah menurut waktu. Tidak ada yang abadi kecuali perubahan itu sendiri. Setiap ideologi mempunyai kelemahan dan kelebihan masing-masing. Sebagai contoh, ideologi X dianggap baik di negara A belum tentu cocok diterapkan pada negara B, demikian sebaliknya. Atau suatu doktrin Y cocok untuk era tempo doeloe tetapi menjadi basi pada masa kini, dan sebagainya. Oleh karena itu upaya pengglobalan nilai dan peradaban oleh suatu negara atau kaum tertentu di dunia adalah hal mustahil. Tak masuk akal. Demikianlah adanya.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com