Undrizon, Direktur Divisi Hukum dan Advokasi Global Future Institute (GFI) dan Praktisi Hukum
Dalam beberapa waktu belakangan ini, ada perkembangan yang cukup meresahkan di wadah tunggal organisasi advokat yaitu terbelahnya dua kubu organisasi profesi advokat di tanah air antara PERADI (Perhimpunan Advokat Indonesia) dan KAI (Kongres Advokat Indonesia). Ini tentu saja cukup memprihatinkan mengingat wadah tunggal ini didirikan guna mencetak kader-kader handal yang berprofesi advokat atau pengacara.
Ironisnya, kedua wadah yang mengklaim sebagai satu-satunya wadah tunggal organisasi advokat di Indonesia, baik PERADI dan KAI sama-sama mengacu pada UU Nomor 18 tahun 2003 tentang Profesi Advokat.
Pada Bab XII tentang kententuan peralihan, khususnya yang termuat di dalam pasal 4, berbunyi: ”Dalam waktu paling lama dua tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, Organisasi advokat telah terbentuk,” Inilah yang kemudian melahirkan terbentuknya PERADI untuk mewadahi advokat dengan tujuan: Mewadahi advokat dalam menjalankan profesinya sebagai penegak hukum.
Sayangnya, munculnya secara tiba-tiba KAI menyusul timbulnya perbedaan cara pandang para advokat dalam menyikapi berbagai persoalan, khususnya di tubuh organisasi advokat itu sendiri, maka dualisme diwadah tunggal organisasi advokat tersebut tak terhindarkan lagi.
Padahal, jika kita cermati secara jernih dan seksama, munculnya keberadaan organisasi advokat yang terlibat dalam perseteruan dan pertikaian tersebut, sejatinya merupakan bentuk dari pertikaian internal didalam tubuh PERADI, yang kemudian pada perkembangannya melahirkan organisasi baru yang juga mengklaim sebagai wadah tunggal organisasi advokat.
Alhasil, kemudian berkembanglah isu adanya pergantian wadah tunggal menyusul munculnya KAI. Padahal, hakekatnya PERADI dan KAI bukan dua organisasi yang berdiri sendiri-sendiri. Tetapi dengan mengacu pada pasal 4, aturan peralihan tersebut, sesungguhnya PERADI dan KAI adalah dua kubu yang sesungguhnya ”masih tunggal.”
Regenerasi Bisa Berhenti di Tengah Jalan
Masalah krusial dari pertikaian dan konflik yang berkepanjangan di wadah tunggal organisasi advokat ini, regenerasi dalam mencetak kader-kader baru di profesi advokat dan kepengacaraan jadi terhenti di tengah jalan dan mengalami kemacetan.
Mungkinkah situasi krusial ini dimaksudkan hanya sebagai ajang bagi para pengacara senior untuk melanggengkan kepentingannya sendiri? Haruskah proses penegakan hukum dikorbankan hanya untuk agenda segelintir pengacara senior di kedua organisasi yang mengklaim sebagai wadah tunggal advokat tersebut?
Yang memprihatinkan saya sebagai praktisi hukum, perpecahan di kalangan para pengacara senior yang bermuara pada perpecahan organisasi, merupakan ciclus yang selalu berulang sejak era orde lama, orde baru dan bahkan di orde reformasi dewasa ini.
Padahal, peran para advokat dan pengacara di tanah air sangatlah strategis dan diharapkan sebagai ujung tombak penegakan hukum nasional, sekaligus untuk mengawal tegaknya demokrasi secara sehat.
Para pengacara akan berperan lebih strategis manakala mereka berdiri dan berpihak pada masyarakat, dan menjadi lokomotif dalam menggerakkan masyarakat dan bangsa untuk menghadapi perubahan dalam konstalasi global, meningkatkan kesadaran hukum maupun demokratisasi di tanah air.
Sayangnya, para advokat kita masih belum menyadari peran strategisnya sehingga gagal untuk menjaga integritas dan martabatnya baik di mata masyarakat maupun pemerintah.
Para Advokat Masih Sulit Melakukan Koordinasi Antar Penegak Hukum
Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 5 UU No 18/2003: Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas, dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Tapi anehnya, dalam menjalankan profesinya, advokat kerapkali masih menemui kesulitan dalam melakukan koordinasi antar penegak hukum saat melakukan pembelaan terhadap kliennya.
Sebagai misal, dalam membangun koordinasi berkaitan dengan tugas, fungsi dan kewenangan POLRI, para pengacara masih sering tidak paham soal substansi Pasal 5 UU 18/2003 itu tadi, sehingga posisi strategis advokat masih perlu disosialisasikan di kalangan institusi penegak hukum di Indonesia. Sehingga peran dan keberadaan advokat lebih dipahami secara lebih mendalam dan membudaya di tengah masyarakat.
Dengan demikian, para advokat atau pengacara menyadari posisi dan perannya sebagai salah satu penegak hukum, sehingga memandang posisi dan polisi dan jaksa sebagai mitra sejajar dalam proses penegakan hukum di tanah air.
Mengapa hal itu belum bisa terwujud? Menurut amatan saya, hal itu dikarenakan masih berkembangnya tingkah-laku para advokat yang masih fokus pada upaya mencari sumber income/pendapatan, sementara di sisi lain pengacara harus melayani kepentingan proses penegakan hukum dalam arti luas.
Dalam kenyataannya, para advokat kita masih mengutamakan mengejar sumber income/pendapatan sebagai agendanya yang utama, sehingga lebih sarat dengan muatan kepentingan pribadi dan kelompok. Inilah yang akhirnya menghancurkan integritas dan martabat profesi advokat. Padahal kalau ditilik secara lebih mendalam, profesi advokat merupakan officium nobile (profesi terhormat).
Di dalam jargon itu tersirat tanggungjawab advokat bahwa disamping menjalankan profesi advokat sebagai lahan income atau pendapatan, para pengacara dituntut untuk melayani kebutuhan publik dalam mendudukkan rasa keadilan masyarakat.
Karena itu, sebagai komponen strategis bangsa advokat harus menjadi penyangga produktifitas nasional di segala bidang yang berbasis hukum. Advokat harus mengintegrasikan kepentingannya guna mendukung bangsa dan negara dalam rangka memenangi persaingan global.