Siapa Pro Asing: Negara atau Ormas?

Bagikan artikel ini

Toni Ervianto, alumnus pasca sarjana Kajian Strategik Intelijen, Universitas Indonesia

Sebuah diskusi bertema “Siapa Pro Asing : Negara atau Ormas?” pada 14 Juli 2013 di Jakarta menjadi ajang “buka-bukaan” soal keterlibatan kepentingan asing dalam berbagai sektor kehidupan di Indonesia. Kelompok NGO atau civil society menuding pemerintah sudah lama pro kepentingan asing, sedangkan pihak pemerintah karena tidak ada yang diundang dalam diskusi tersebut (atau tidak ada yang hadir), otomatis “tidak ada yang membela”.

Dalam diskusi tersebut, Apung Widadi dari Indonesia Budget Center menilai, sejumlah kebijakan dan UU yang merugikan kepentingan nasional dihasilkan melalui dana-dana asing seperti UU No 22/2001 (Migas), UU No 19/2003 (BUMN), UU No 7/2004 (Sumber Daya Air), UU No 30 Tahun 2007 (Energi), UU No 25/2007 (Penanaman Modal), UU No 9/2009 (Badan Hukum Pendidikan), UU No 27/2007 (Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil) dan UU Ketenagalistrikan.

Sementara itu, Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti justru menuding pemerintah yang telah menggadaikan kedaulatan bangsa. Ray mengatakan, sedikitnya ada tiga bukti yang menguatkan argumennya itu. “Pertama, adanya campur tangan USAID dalam pembuatan UU Minyak dan Gas No. 22 tahun 2001 dengan menyalurkan dana sebanyak 4 juta dolar AS. UU ini merupakan praktek legalisasi dominasi perusahaan asing di sektor migas, sekaligus mengakhiri peran perusahaan negara di sektor migas sebagai jangkar perekonomian nasional. Kedua, adanya keterlibatan Bank Dunia, Jepang dan Bank Pembangunan Asia (ADB) dimana mereka menyalurkan bantuan utang luar negeri dalam pembuatan UU Penanaman Modal No. 25 tahun 2007. Dengan adanya UU itu, baik pemerintah maupun DPR telah melegalisasi praktik liberalisasi investasi di berbagai sektor di Indonesia, dan melarang pemerintah untuk melakukan nasionalisasi. Selain itu UU tersebut mempermudah modal asing untuk melakukan repatriasi keuntungan ke luar negeri. Ketiga, keterlibatan lembaga asing seperti International Foundation for Electoral Systems (IFES) dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia pada tahun 2009.

Sedangkan aktivis Walhi, Khalisah Khalid menilai pernyataan pemerintah yang menuding aktivis lingkungan hidup bergerak atas dasar pesanan asing dianggap tidak sejalan dengan pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu. “Ini kontradiktif dengan pernyataan SBY yang bilang bahwa WALHI (Wahana Lingkungan Hidup) adalah teman pemerintah, pada Juni kemarin,” kata aktivis WALHI Khalisah Khalid di Jakarta, Minggu (14/7).

Menurutnya, tudingan ormas lingkungan sebagai agen asing tidaklah memiliki dasar alasan yang kuat atau hanya sebuah ilusi. Pasalnya, ormas lingkungan tidak memiliki kekuasaan untuk dapat membuat kebijakan atau pun merumuskan peraturan.”Kami pertanyakan sejauh mana keamanan nasional itu yang kami ancam. Kami pertanyakan sejauh mana peran kami dalam membuat kebijakan, sedangkan yang buat kebijakan pemerintah. Paling kami hanya bisa gedor Senayan. Sejauh apa peran kami dalam mengancam keamanan nasional?” tukasnya.

Khalisah Khalid mencontohkan, Walhi menerima hibah dari publik di Belgia sebesar Rp 1 Miliar per tahun untuk 28 propinsi, sedangkan ICW misalnya mendapat hibah dari luar negeri dengan besaran hanya berkisar Rp 3 Miliar sampai Rp 4 Miliar (Media Indonesia, 15 Juli 2013).

Dari berbagai pernyataan diatas, nampak jelas bahwa pihak asing benar-benar sudah menginfiltrasi berbagai sektor kehidupan di Indonesia. Mereka tampaknya masuk dengan beragam pintu masuk sesuai yang diprediksi Washington Platt bahwa infiltrasi asing masuk melalui “MIDLIFES” (Military, Ideology, Democracy, Legal, Information, Finance, Economic and Social).

Jika dinilai bahwa pemerintah sudah pro terhadap kepentingan asing melalui berbagai kebijakan dan UU yang dihasilkannya bersama legislatif, maka penjelasan logis yang layak disampaikan bahwa tidak ada kebijakan atau UU yang pro kepada kepentingan asing, karena setiap UU atau kebijakan selalu pro kepada national interest atau kepentingan nasional. Kalaupun UU atau kebijakan tersebut mempermudah asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, maka itu masih wajar karena Indonesia membutuhkan modal asing untuk leverage perekonomian nasional, namun keberadaan modal asing tersebut hanya sebagai “stimulus”, karena kalau modal asing menjadi faktor utama akan sangat berbahaya bagi perekonomian nasional jika terjadi “capital rush” akibat instabilitas keamanan, politik ataupun hukum di Indonesia.

Semua negara membutuhkan modal asing, namun pengelolaannya yang berbeda. Sepanjang modal asing tersebut digunakan untuk menyokong perekonomian nasional, diarahkan ke sektor-sektor yang produktif dan dapat meningkatkan ekspor maka keberadaan modal asing tersebut tidak perlu dikhawatirkan. Indonesia juga tidak dapat lepas dari bantuan asing, karena kesadaran untuk membayar pajak masih rendah di semua level masyarakat.

Kalau dikatakan ada NGO atau ormas yang mendapatkan hibah dari luar negeri adalah wajar saja, namun yang perlu diingat oleh para aktivis adanya adagium bahwa “no free launch” atau tidak ada makan siang yang gratis, sehingga walaupun dinamakan dengan hibah tetap saja diperkirakan memuat “tudung atau tugas terkandung” dari kepentingan asing itu sendiri, setidaknya kalangan ormas atau NGO yang mendapatkan bantuan asing tersebut dinilai atau memenuhi kualifikasi untuk membantu mengamankan “kepentingan asing” tersebut, terbukti tidak semua NGO atau ormas yang dibantu asing, hanya ormas atau NGO yang dinilai “sehati dan seperjuangan” dengan kepentingan asing melalui agenda demokrasi, HAM dan lingkungan hidup yang mendapatkan bantuan tersebut. Indikasinya gampang, biasanya NGO atau ormas yang tidak mendapatkan bantuan asing, selalu berteriak ada diskriminasi bantuan asing atau mendukung langkah mempersempit masuknya bantuan asing ke NGO atau ormas tertentu di Indonesia.

Apakah membahayakan keamanan nasional ? Peran NGO atau ormas memang tidak sampai kepada membuat peraturan karena itu merupakan ranah konstitusional pemerintah bersama dengan legislatif, namun dengan NGO atau ormas yang terus menerus “menggedor” atau “menitipkan pesan” bahkan mungkin “memasang” orang-orangnya di parlemen dengan dalih berbagai jenis kerjasama lainnya, maka secara otomatis ataupun berdasarkan akal sehat, kepentingan asing mempunyai jalan yang cukup luas dan lapang untuk “menggunakan” parlemen dalam mengontrol pemerintah. Atau dengan kata lain, jika kita tidak berhati-hati sebenarnya diantara elemen bangsa ini sedang “diadu domba” oleh kepentingan asing. NGO atau ormas yang mendapatkan bantuan dijadikan “watchdog” bagi kepentingan keselamatan modal asing (kepentingan minimalis), pemerintah dipinjami modal asing dengan berbagai persyaratan yang mencekik dengan tujuan terjadi “debt trap” dan ketergantungan, sedangkan parlemen dipakai “war by proxy” oleh NGO atau ormas yang didanai asing untuk menggedor pemerintah. Kemungkinan itu perkiraan skenario “permainan asing” di Indonesia. Tidak ada salahnya, jika pemerintah, NGO atau ormas, parlemen dan stake holder lainnya saling bekerjasama untuk mencari cara bagaimana meminimalisir bantuan asing di era borderless sekarang ini. Mungkinkah ?

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com