Rohman Wibowo, Junior Research Associate Global Future Institute (GFI)
Pasca Perang Dingin, praktis AS memainkan peran sebagai key player dalam tatanan sistem internasional. Distribusi kekuasaan yang semulanya terjadi di dua kutub, lalu kemudian bergeser tren-nya dengan AS tampil menjadi kekuatan tunggal. Tapi tak lama berselang, tepatnya memasuki era milenium, kemunculan kekuatan-kekuatan baru mampu mengusik kemapanan AS dan setidaknya memancing eskalasi dalam sistem politik internasional.
Terkait soal pertautan sistem politik internasional, Waltz seorang pakar politik internasional dalam bukunya “Theory Of International Politics” memberi pengertian kalau sistem politik internasional itu bersifat desentralisasi dan anarki. Waltz lebih lanjut menjelaskan, setiap negara bertindak serta berinteraksi berdasarkan atas pedoman bahwa tidak ada hierarki dalam politik internasional.
Di sini berarti, setiap negara berhak memperjuangkan kepentingan nasionalnya secara optimal sesuai dengan kapabilitas dan karakteristik kekuatan yang dimiliki. Lebih lanjut, Waltz juga beranggapan “International politics, in contrast, has been called politics in the absence of government”.
Maka pantas saja jika di level politik-militer, AS mungkin masih merupakan satu-satunya negara adikuasa di dunia. Namun, dalam segala dimensi lain, semisal industri, keuangan, pendidikan, sosial, budaya – distribusi kekuasaan telah bergeser, menjauhi dominasi AS. Sementara negara-negara semisal Cina dan Rusia menjadi kian kuat dan kian kaya, lantas bangsa-bangsa berkembang juga semakin berperan penting dan semakin percaya diri.
Tentu dinamika politik internasional seperti ini bakal jadi perhatian utama bagi setiap presiden AS terpilih. Bahwa bagaimana menentukan siapa kawan dan lawan diyakini sebagai salah satu titik ukur dalam merumuskan setiap kebijakan dan politik luar negeri.
Hal diatas wajib ditempuh guna melanggengkan hegemoni ‘negeri Paman Sam’ dalam lanskap percaturan politik intenasional yang masih cenderung menggunakan doktrin politik luar negeri maksimalisme. Untuk itu, pada tulisan ini, kita akan menelisik, siapa saja yang menjadi musuh-musuh Washington.
Musuh Prioritas AS
Sebagai negara imperialis, tentu AS mempertimbangkan aspek power negara berdasarkan ekonomi, politik dan juga militer. Pertimbangan ketiga aspek power tersebut diperlukan untuk mengidentifikasi apa itu high priority adversaries bagi AS.
Dimulai dari Cina. Negara yang mulai bangkit sejak era kepemimpinan Deng Xiaoping ini tumbuh menjadi pesaing utama AS dalam kekuatan ekonomi dan berkembang di berbagai lingkup; perdagangan dan investasi di berbagai belahan dunia. Lalu geliatnya kini semakin licin melalui politik luar negeri bernama The Belt and Road Initiative (BRI) ala pemimpinya – Xi Jinping.
BRI sendiri adalah bukan saja sekedar pembangunan global atau foreign direct investments berbasis matra darat dan laut yang dicanangkan oleh pemerintah Beijing, tapi lebih dari itu. BRI merupakan smart power strategy, karena mengkombinasikan antara kekuatan budaya dan kekuatan ekonomi.
BRI adalah gabungan hard power semisal investasi ekonomi dengan soft power seperti mempromosikan kebudayaan Cina sebagai cara menaikan bargaining position demi memuluskan ambisi dari BRI ini. Soft power itu sendiri memiliki arti bagaimana mempengaruhi menggunakan cara non-tradisional sebagai state-behavior dalam politik internasional yang bertujuan memenuhi kepentingan nasional.
Hal senada pun dilontarkan oleh Joseph Nye tentang arti power dalam soft power tersebut, yakni “The basic concept of power is the ability to influence others to get them to do what you want”
Terlepas dari rancang strategi Xi Jinping yang memadupadankan soft power dan hard power. Realitas kedepan yang patut diperhatikan adalah tatkala ekspansi yang begitu ambisius dari hajat presiden ke-7 ‘negeri Ginseng’ ini yang berdaya jelajah kawasan begitu luas, yakni meliputi Eropa, Asia, Afrika hingga daratan Amerika Latin. Tentu dengan interaksi yang diperagakan oleh China seperti ini akan membuat gusar para peracik strategi Gedung Putih.
Lalu, Rusia. Aspek power dari negara yang sekarang dipimpin oleh seorang bernama Putin ini terletak pada military power. Betapa tidak? Kapabilitas militer Rusia setidaknya selalu hadir di berbagai kawasan. Angkatan bersenjata Moskow tidak pernah absen dalam setiap konflik terbuka di Eropa, Asia, dan tentunya Timur Tengah.
Adapun kondisi terakhir menunjukkan bahwa penguatan kekuatan militer Rusia semakin menunjukkan ‘taringnya’ melalui latihan militer dengan Cina yang digelar beberapa waktu lalu. Bertempat di Siberia Timur, pada tanggal 11-15 September 2018, latihan militer yang digadang-gadang terbesar pasca Perang Dingin ini diberi nama Vostok 2018.
Lebih dari itu, power yang dimiliki Rusia terletak pula pada cadangan gas dan minyaknya yang melimpah. Dengan kekuatan sumberdaya alamnya tersebut, negara-negara di Eropa berhasil dibuat ketergantungan. Lagi-lagi pada konteks perimbangan kekuatan, hegemoni AS di daratan Eropa akan terusik dan terancam. Karena Eropa merupakan kawasan dengan begitu banyaknya kepentingan dan keuntungan yang bisa diperoleh AS, semisal memanfaatkan Inggris dengan supremasinya terhadap negara-negara persemakmuran yang tersebar di seantero penjuru dunia.
Setelah itu ada Korea Utara. Bukan menjadi hal yang tabuh, jika Korut merupakan negara yang bisa mengancam stabilisasi kawasan, khususnya di Asia Timur. Dengan kapabilitas nuklir dan misil balistik-nya mampu membuat negara-negara sekutu utama AS, semisal Korea Selatan dan Jepang berada dalam posisi terancam.
Lebih daripada itu, posisi Cina yang juga masuk dalam kawasan Asia Timur menjadi pertimbangan lainnya bagi AS. Pasalnya, jika salah satu parameter dalam berinteraksi pada politik internasional adalah perilaku suatu negara, maka kecenderungan Korut yang lebih dekat dengan Cina merupakan hal yang patut diperhitungkan.
Menyoroti hal tersebut, tidak terasa berlebihan jika Trump mendesak melakukan pertemuan bilateral dengan Korut beberapa waktu lalu. Pertemuan tingkat tinggi yang menjadikan Singapura sebagai tuan rumahnya itu adalah sebagai manuver Washington supaya dapat menurunkan ‘tensi’ kedekatan antara Cina-Korut.
Atas dasar power Korut seperti itulah yang memiliki kemampuan ketersediaan nuklir dan misil balistik serta menjadi ‘sekutu’ Cina, sehingga AS menetapkan negara pimpinan Kim Jong Un ini sebagai salah satu ancaman dan musuh.
Lalu yang keempat adalah Iran. Negara yang kini dipimpin oleh seorang pemberani bernama Hassan Rouhani ini semakin menunjukkan ketidakberpihakan pada rezim Trump. Selain revolutionaty leaderships yang dimiliki Rouhani, power Iran juga terletak pada kapabilitas sumberdaya alam minyak dan posisi geopolitik negaranya.
Yang teranyar adalah terkait isu blokade selat Hormuz oleh Iran kepada AS. Seperti diketahui, selat Hormuz merupakan salah satu chocke point dunia yang masuk dalam teritori Iran. Sebagai selat yang terpenting dalam arus lalu lintas perdagangan internasional (SLoT) dan sebagai jalur laut pengangkutan minyak internasional yang berasal dari Timur Tengah, maka Trump merasa isu blokade ini menjadi sebuah ancaman nyata dan serius.
Dan yang terakhir yaitu Suriah, Power yang dimilki oleh negara ini terletak pada posisi sentralnya dalam kawasan Timur Tengah. Pasalnya, Bashar Al-Assad dengan partai Baath-nya yang sekuler itu berhasil menjalankan koalisi politik lintas regional dengan Iran, Palestina, Iraq dan Rusia. Hal ini menjadi hambatan sekaligus ancaman bagi AS untuk rencana “balkanisasi Timur Tengah.
Hal yang seirama disampaikan pula oleh Prof. James Petras dalam analisisnya yang bertajuk America’s Enemies, Who’s On the List? Bahwa “Syria is a counterweight to US-Israeli plans to balkanize the Middle East into warning ethno-tribal states”.
Melalui pemaparan tentang sistem politik internasional yang cenderung semakin dinamis dengan munculnya state actor selain dari dominasi Cina dan hegemoni AS, tentu akan menarik melihat realitas politik internasional kedepan jika persekutuan di luar kapabilitas power AS-Cina membentuk suatu tatanan sistem internasional yang berkiblat kepada multipolar system. Tentu asumsi ini harus pula diimbangi dengan representational force (Ekonomi, politik dan militer) yang harus dikembangkan dan diperkuat oleh masing-masing negara sesuai karakteristik kekuatan negara-negara semisal Rusia, Iran, Korut dan Suriah
Setelah mengetahui pemetaan soal siapa dan bagaimana power musuh AS, lalu hal selanjutnya yang patut diteliti adalah “Seperti apakah dinamika politik internasional kedepan’? Karena dengan adanya distribusi kekuatan antar negara yang dapat dikatakan semakin tergantung satu sama lain, maka disaat yang bersamaan hegemoni AS akan mudah saja mengalami deligitimasi kekuasaan.
Menarik untuk dinanti sembari para pengkaji menyusun hipotesa dari setiap interaksi dan perilaku antar negara yang tengah berlangsung.