Sikap Agresif Jepang terhadap Korea Utara, dan Potensi Bangkitnya Kembali Militerisme Jepang di Asia-Pasifik

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)

Di tengah meruncingnya ketegangan antara Amerika Serikat dan Korea Utara terkait program nuklir dan rudal balistik antarbenua yang dilancarkan pemerintahan Presiden Kim Jong-un, sikap agresif Jepang yang pada tingkatan tertentu bahkan jauh lebih agresif dan provokatif dibandng Korea Selatan yang merupakan pesaing utama Korea Utara sejak berakhirnya Perang Dunia II, kiranya layak jadi sorotan tersendiri yang perlu dicermati perkembangannya dari waktu ke waktu.

Betapa tidak. Ditengah begitu menguatnya sanksi ekonomi dan embargo masyarakat internasional yang dimotori oleh AS dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Jepang termasuk yang gencar melancarkan tekenan yang jauh lebih kuat dalam menyudutkan Korea Utara, dibanding Korea Selatan yang notabene merupakan pesaing langsung Korea Utara sejak berakhirnya Perang Dunia II pada 1945.

Misal pada 15 Desember 2017 lalu, pemerintah Jepang melalui Sekretaris Kabinet  Yoshihide Suga pada sebuah konferensi pers seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (15/12) mengancam  akan membekukan aset 19 lebih institusi Korut.

Bahkan sikap agresif Jepang terhadap Korea Utara semakin krusial ketika dalam pernyataannya mengatakan bahwa sekarang lah momen yang tepat untuk melancarkan tekanan yang maksimal kepada Korea Utara daripada menggelar perundingan damai dengan Korea Utara.Ini jelas sebuah ironi.

Padahal, Presiden Korea Selatan Moon-Jae-In dalam pernyataannya secara terbuka melalui pers bahwa Korea Selatan siap mengadakan perundingan damai dengan pemerintah Korea Utara pimpinan Kim Jong-un. Terbukti bahwa pada perundingan dua Korea tahap awal pada 9 Januari 2018 lalu, telah berjalan sukses. Meskipun baru sebatas menyepakati beberapa hal strategis tentang Olimpiade Musim Dingin di Korea Selatan.

Namun seperti janji Presiden Korea Selatan Moon Jae-in sendiri, keberhasilan tahap awal perundingan Korea Selatan-Korea Utara 9 Januari lalu, akan dilanjutkan dengan mengajak Presiden Korea Utara Kim Jong-un untuk berdialog memecahkan kebuntuan tentang program nuklir Korea Utara atas dasar De-Nuklirisasi di kawasan Semenanjung Korea. “Denuklirisasi Semenanjung Korea yang disepakati bersama kedua Korea di masa lalu, merupakan sikap dasar kita yang tidak akan pernah menyerah,” begitu kata Moon Jae-in, (Republika 11 Januari 2018).

Terlepas prospek keberhasilan perundingan damai dua Korea sebagaimana komitmern bersama Moon Jae-in dan Kim Jong-un masih belum bias dipastikan. Namun setidaknya Korea Selatan telah mempertunjukkan itikad baik menuju terciptanya perdamaian di Semenanjung Korea dibandingkan pemerintah Jepang.

Nampaknya, sikap agresif Jepang sehaluan dengan kebijakan Amerika Serikat yang masih berambisi untuk mempertahankan kehadiran militernya yang berjumlah sekitar 262 ribu di Korea Selatan. Alhasil, sikap Jepang tersebut sangat tidak menolong keadaan dalam menciptakan stabilitas di kawasan Semenanjung Korea. Bahkan justru semakin memperuncing situasi dan kondisi yang semakin memanas.
Sikap Jepang tersebut semakin memperkuat pandangan yang sempat mencuat dalam Seminar trebatas Global Future Institute bertema Membaca Kebijakan AS terhadap Korea Utara dan dampaknya bagi Indonesia pada Kamis 9 November 2017 lalu.

Menurut Teguh Santosa dari Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Korea, latihan gabungan bersama antara tentara AS, Korea Selatan dan Jepang itulah, yang mnemicu rasa khawatir Korea Utara terhadap kedaulatan nasionalnya. Sehingga keputusan Pryongyang untuk meningkatkan intensitas uji coba nuklir dan rudalnya, sejatinya didorong untuk mempertahankan diri dari kemungkinan serangan militer gabungan AS-Jepang_Korea Selatan.

Namun dari konstruksi fakta tersebut di atas, persekutuanj strategis AS dan Jeoang inilah yang kiranya berpotensi semakin memperuncing ketegangan di Semenanjung Korea. Sehingga pada perkembangannya nanti akan memancing pemerintah Cina untuk meningkatkan kehadiran militernya di Semenanjung Korea dengan dalih untuk mengimbangi persekutuan militer AS dan Jepang.

Militerisasi Semenanjung Korea nampaknya semakin nyata menyusul terbitnya Dokumen Keamanan Nasional AS pada Senin 18 Desember 2017 lalu. Yang mana pemerintahan Gedung Putih telah menetapkan secara eksplisit Korea Utara dan Iran sebagai ancaman nasionanal AS sekaligus sebagai musuh.

Adapun CIna dan Rusia dipandang oleh Gedung Putih melalui dokumen tersebut, sebagai pesaing yang bermaksud mengubah status quo global. Semenanjung Korea dan kawasan Timur Tengah, nampaknya merupakan dua kawasan yang dimaksud dokumen tersebut sebagai status quo global yang hendak diubah oleh Rusia dan Cina.

Dalam konstalasi seperti itu, maka sikap agresif Jepang dalam ikut serta menyudutkan Korea Utara, nampaknya sejalan dan sehaluan dengan skema Gedung Putih dan Pentagon untuk memiliterisasi Semenanjung Korea dan Asia Pasifik pada umumnya.

Sekelumit Sejarah Kelam Jepang di Korea Utara

Antara 1910 hingga 1945, Jepang dikenang warga Korea baik Selatan maupun Utara sebagai negara penjajah yang kejam dan melakukan beberapa kebijakan militeristik yang masuk kategori kejahatan perang. Seperti perbudakan seksual terhadap wanita Korea atau Jugun Ianfu, kerja paksa atau Romusha, Mengenakan pajak tinggi terhadap hasil pertanian serta mengekspornya ke Jepang yang menyebabkan bencana kelaparan bagi rakyat Korea. Menyiksa dan membunuh warga yang menolak membayar pajak.

Semua perlakuan kejam dan represif Jepang terhadap Korea semasa penjarahan dan invasi militernya di Korea, telah menimbulkan dendam sejarah rakyat Korea kepada Jepang hingga kini. Sehingga hubungan Jepang-Korea Utara masih tetap buruk sampai sekarang. Sebaliknya dengan menyadari trauma dan dendam sejarah rakyat Korea Utara atas perlakuannya sebagai penjajah di masa lalu, maka adanya peningkatan dan pengembangan kemampuan militer dan persenjataan strategis Korea Utara, akan dipandang sebagai ancaman nasional bagi Jepang.

Sejak Awal AS Mendukung Kebangkitan Militer Jepang

Tren untuk membangkitkan kembali militerisme Jepang justru terlihat melalui prakarsa Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe, yang sejak 2015 lalu menetapkan target revisi konstitusi Jepang khususnya pasal 9 Konstitusi Jepang. Yang tujuannya tiada lain mengaktifkan kembali angkatan bersenjata Jepang dan tidak lagi sebagai Pasukan Bela DIri yang bersifat defensive. Namun kembali menjelma sebagai angkatan bersenjata yang bersifat ofensif dan agresif untuk menghadapi ancaman serangan militer dari Negara lain.

Rencana strategis Shinzo Abe ini merupakan tahap awal dari rencana merevisi konstitusi 1947. (Simak tulisan Hendrajit, Amerika Serikat Dukung Bangkitnya Kembali Kekuatan Militer Jepang pada 7 Mei 2015 di https://theglobal-review.com/amerika-serikat-dukung-bangkitnya-kembali-kekuatan-militer-jepang/ ).

Ada baiknya kilas balik sejenak saat terjadi unjuk rasa pada Mei 2015 lalu berbagai kalangan aktivis perdamaian di Yokohoma.

Isu sentral unjuk rasa yang antara lain dimotori oleh Penulis Jepang peraih Hadiah Nobel, Kenzaburo Oe setidaknya bertumpu pada dua hal. Pertama, menentang gagasan mengubah konsep bela diri kolektif Jepang menjadi sebuah kekuatan militer seperti sebelum diberlakukannya konstitusi Jepang 1947.
Kedua, menentang revisi konstitusi yang membuka kembali keterlibatan Jepang untuk ikut berperang di pelbagai belahan dunia. Kedua isu sentral dari unjuk rasa yang melibatkan sekitar 30 ribu warga masyarakat Jepang itu, hakekatnya menolak revisi konstitusi maupun UU Keamanan yang bisa menjadi pintu masuk bangkitnya kembali militerisme dan Angkatan Bersenjata Jepang.

Berarti, Pasal 9 konstitusi Jepang lah, yang menjadi sasaran utama protes berbagai kalangan pegiat perdamaian maupun para pasifis Jepang. Pasal 9 konstitusi Jepang yang mulai berlaku sejak 3 Mei 1947 menysul menyerahnya Jepang kepada sekutu dalam Perang Dunia II, merupakan suatu klausul yang melarang dilakukannya perang oleh negara. Selain itu, pasal 9 juga secara tegas menolak perang baik sebagai hak kedaulatan seraya menegaskan penyelesaian sengketa internasional melalui penggunaan kekuatan.

Selain itu, aspek terpenting dari klausul ini, menyatakan bahwa untuk mencapai tujuan-tujuan ini, Angkatan Bersenjata Jepang sebagai kekuatan untuk melancarkan perang, tidak dipertahankan lagi. Sebagai gantinya, konstitusi hanya mengizinkan dibentuknya Pasukan Bela Diri Jepang (Collective Self Defense), meski pasal ini tidak membolehkan pasukan bela diri digunakan untuk tujuan agresi militer. Hanya sebatas untuk tujuan mempertahankan kedaulatan dan integritas teritorial Jepang.

Nampaknya, interpretasi terhadap makna bela diri dan pertahanan inilah yang coba diberi makna baru oleh kalangan pendukung kebangkitan kembali kekuatan militer Jepang, atau bahkan militerisme Jepang. Yang saat ini bukan saja masih punya pengaruh dan memegang posisi kunci di partai Liberal Democratic Party (LDP), melainkan juiga di beberapa kementerian strategis seperti kementerian Pendidikan, dan birokrasi pemerintahan pada umumnya.

Indikasi Kebangkitan Kembali Aspirasi Militerisme di Jepang

Indikasi adanya gerakan terencana dan sistemastis membangkitkan kembali militerisme Jepang dan menguatnya aspirasi kalangan garis keras di Jepang untuk menghidupkan kembali militerisme Jepang, bisa ditelisik sejak 2010. Menjelang peringatan kapitulasi Jepang pada Perang Dunia Kedua di Asia Pasifik pada 2 September 1945, kalangan pemerintahan dan berbagai elemen strategis di Jepang nampaknya mulai melakukan berbagai manuver yang bertujuan merehabiitasi kembali reputasi buruknya sebagai pemerintahan fasis pada era Perang Dunia Kedua. Khususnya terhadap bangsa-bangsa di kawasan Asia Pasifik yang mengalami secara langsung kekejaman pemerintahan Kolonial Jepang seperti di Indonesia, Malaysia, Singapura, Birma, Korea Selatan dan Cina.

Menurut penelusuran tim riset Global Future Institute pada 15 Agustus 2010 lalu, Perdana Menteri Jepang secara eksplisit menyatakan penyesalannya terhadap “orang-orang” yang menderita akibat sepak-terjang pemerintahan fasis militerisme Jepang pada Perang Dunia Kedua. Frase “orang-orang” yang digunakan Perdana Menteri Jepang secara jelas mengindikasikan keenggananan Jepang untuk mengakui dan meminta maaf secara terang-terangan terhadap berbagai negara di Asia Pasifik yang secara langsung mengalami penderitaan sepak terjang fasisme pemerintahan Kolonial Jepang.

Seperti penerapan sistem kerja paksa (Romusha), dan kebijakan memaksa para wanita di negara-negara jajahan Jepang untuk menjadi Pekerja Seks atau yang kelak populer dengan sebutan Comfort Women (Jugun Ianfu).

Juga pada 2010 lalu, dalam pertemuan para tokoh sayap kanan Eropa yang difasilitasi oleh Issui-kai alias “Masyarakat Rabu” yang juga berhauan fasisme ultra kanan tersebut, pemimpin gerakan Mitsuhiro Kimura, terang-terangan meragukan pembunuhan oleh militer Jepang terhadap warga sipil Cina maupun dalam pemerkosaan Nanking 1937 (yang dikenal dengan peristiwa The Rape of Nanking) yang diperkirakan mencapai ratusan ribu korban jiwa, dan juga menyangkal diterapkannya kebijakan perbudakan seksual atas “wanita sebagai budak nafsu” bagi tentara Jepang.

Indikasi lain yang tidak kalah mengkhawatirkan adalah penyelenggaraan kontes penulisan esay tentang PD II dengan tema ‘True Modern Historical Perspective’ pada 2008 lalu, yang disponsori oleh seorang pebisnis sayap kanan Jepang, Toshio Montoya.

Motivasi Jepang untuk menghapus dosa-dosa sejarah dan kejahatan perang pada PD II terlihat jelas melalui penyelenggaraan kontes penulisan sejarah ini, karena dari 235 peserta kontes, 94 diantaranya merupakan personil Angkatan Udara Bela Diri Jepang (ASDF). Wajar saja jika hal ini memicu kecurigaan bahwa para personil ASDF tersebut mendapat perintah dan arahan dari para komandannya untuk mengirimkan naskah tulisan yang temanya segaris dengan misi kontes untuk membersihkan dosa-dosa sejarah Jepang pada PD II.

Kontes penulisan yang kemudian dimenangi oleh Kepala Staf Angkatan Udara Bela Diri Jepang, Toshio Tamogami ini memperkuat kecurigaan tersebut. Judul esay yang ditulis oleh Toshio Tamogami; ‘Benarkah Jepang Merupakan Bangsa Agresor?’, sudah jelas menggugat dan membantah peran Jepang sebagai aggressor di Asia Pasifik.

Benarkah Jepang sedang berupaya membangkitkan kembali militerismenya seperti di era Perang Dunia Kedua?

Nampaknya ada upaya pemerintah dan beberapa elemen sayap kanan Jepang untuk kembali berjaya secara militer seperti di masa Perang Dunia Kedua. Beberapa media massa terbitan 28 Juli 2010 lalu, mewartakan bahwa panel para ahli telah merekomendasikan kepada Perdana Menteri Jepang Naoto Kan agar Jepang mengkaji ulang kebijakan pasifisnya. Dan mendesak agar Jepang mengerahkan lebih banyak pasukannya ke wilayah pesisir yang kini sering dilalui angkatan laut Cina. Selain itu. Panel para ahli Pertahanan Jepang itu juga mendesak pemerintah Jepang agar melonggarkan kebijakan tentang transfer senjata nuklir di wilayah negaranya.

Ini tentu saja rekomendasi yang cukup serius karena dengan jelas mengindikasikan bahwa upaya membangkitkan kembali militerisme Jepang sudah pada taraf proses pembuatan dan perumusan kebijakan pertahanan Jepang secara menyeluruh dan mendasar. Jadi bukan sekadar wacana atau keinginan segelintir politisi atau mantan perwira militer berhaluan ultra kanan Jepang. Namun indikasi kebangkitan kembali militer Jepang sudah harus dilihat dalam kerangka kebijakan revisi kebijakan pertahanan Jepang secara menyeluruh.

Apakah rencana perubahan interpretasi pasal 9 UUD Jepang bidang pertahanan ini merupakan tindak lanjut dari rekomendasi panel para ahli? Nampaknya memang seperti itu. Sebab panel para ahli ersebut bahkan sudah sampai pada kata sepakat bahwa panduan pertahanan Jepang di era Perang Dingin sudah kadaluwarsa alias ketinggalan zaman.

Menurut pandangan panel para ahli, untuk menghadapi semakin meningkatnya ancaman dari Semenanjung Korea dan Selat Taiwan, Jepang sudah saatnya besiap dan bersiaga untuk menghadapi segala kemungkinan yang terjadi. Rekomendasi ini bisa diartikan sebagai desakan untuk merubah postur pertahanan Jepang yang tadinya defensif dan cenderung pasifis, menjadi postur pertahanan yang agresif dan bila perlu, kembali ekspansif seperti pada masa Perang Dunia Kedua.

Nampaknya, apa yang digagas dan dimatangkan pada 2010 lalu, merupakan benih-benih yang ditanam oleh kalangan garis keras pro bangkitnya kembali militerisme Jepang, dan perwujudannya terbukti 5 tahun kemudian. Dan yang terpenting, untuk kali ini Amerika Serikat justru memberi dukungan sepenuhnya.

Pada 27 April 2015, Jepang dan AS menandatangani kerjasama keamanan baru yang menempatkan Jepang pada posisi yang legih agresif dalam pergolakan keamanan global sebagai pendukung AS. Sebagai imbalannya AS memberikan dukungan politik dan keamanan yang lebih kuat kepada Jepang.

Perjanjian bilateral AS-Jepang ini jelas hal yang cukup serius mengingat penandatanganan dilakukan antara Menteri luar Negeri John Kerry dan Menteri Luar Negeri Jepang Fumio Kishida, dengan menggunakan momentum lawatan Perdana Menteri Abe ke Washington. Apalagi dalam pernyataannya, Menlu Kerry menegaskan bahwa ukungan AS kepada keamanan Jepang adalah sebagai “sangat kuat”, termasuk dalam hal pertikaian wilayah dengan negara tetangga (Cina).

Apakah ini penandatanganan kerjasama keamanan baru AS-Jepang merupakan isyarat bahwa pemerintahan Shinzo Abe memang sungguh-sungguh bermaksud memberi tafsir baru terhadap konstitusi Jepang khususnya pasal 9? Nampaknya memang demikianlah adanya.

Sementara konstitusi pasal 9 secara tegas membatasi peran dan kekuatan militer Jepang semata sebagai alat pertahanan bela diri semata, arah dari kerjasama keamanan baru AS-Jepang tersebut justru secara de fakto akan mengubah orientasi militer Jepang untuk lebih aktif (baca: Agresif) terlibat dalam konflik-konflik bersenjata di luar negeri. Sehingga akan menciptakan prakondisi ke arah revisi pasal 9 konstitusi Jepang.

Sejak Perang Dunia Kedua berakhir, Jepang memang praktis telah menjadi sekutu Amerika dan negara pasifis. Karena konstitusi Jepang melarang adanya angkatan bersenjata di negaranya, maka Jepang praktis mengandalkan Amerika Serikat untuk pertahanan dan penangkalan nuklirnya. Tak heran jika hingga kini tercatat ada sekitar 47 ribu tentara Amerika Serikat ditempatkan di Jepang.

Dari sini saja, wajar jika kita bercuriga bahwa adanya tren ke arah penguatan kembali angkatan bersenjata Jepang juga atas dukungan diam diam dari Amerika. Dengan kata lain, adanya pola ancaman baru di kawasan Asia Pasifik, khususnya dengan menguatnya kekuatan angkatan bersenjata Cina di kawasan Asia Pasifik akhir-akhir ini, maka Amerika saat ini justru menjadi pihak pendorong utama untuk mengaktifkan kembali kekuatan angkatan bersenjata Jepang secara maksimal, termasuk izin kepemilikan persenjataan nukir yang sepenuhnya berada dalam kendali angkatan bersenjata Jepang.

Adanya ancaman militer yang semakin nyata dari Korea Utara dan khususnya bangkitnya kekuatan angkatan laut Cina, nampaknya mendorong Amerika untuk memotori adanya revisi kebijakan pertahanan Jepang yang semakin agresif dan ekspansif di masa depan. Bahkan sebuah dokumen yang berhasil diakses oleh harian terkemuka Jepang Yomiuri Shimbun, berdasarkan kesepakatan strategis Washington-Tokyo, disepakati bahwa kapal-kapal Amerika yang membawa senjata nuklir, dibolehkan masuk ke pelabuhan Jepang.

Lagi-lagi ini mengindikasikan bahwa jauh-jauh hari sudah ada suatu rekomendasi panel para ahli untuk merevisi kebijakan pertahanan Jepang, yang sejatinya hanya untuk melegalisasikan persekutuan Amerika-Jepang yang sudah berlangsung selama ini. Beberapa indikasi yang mengisyaratkan adanya dukungan Amerika terhadap gagasan revisi kebijakan pertahanan Jepang, secara jelas sudah terlihat melalui kiprah panel para ahli sejak 2010.

Hal ini secara kuat membuktikan bahwa adanya gerakan merevisi kebijakan pertahanan Jepang yang sudah berlangsung sejak 2010 hingga sekarang ini, nampaknya sejalan dengan agenda strategis Amerika Serikat untuk membendung pengaruh yang semakin kuat dari Cina dan Korea Utara di kawasan Asia Pasifik.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com