Sistem Kepolisian di Amerika itu Rapuh dan Rentan Gejolak

Bagikan artikel ini

Sebuah Diskusi Kecil

Terlepas ada latar konflik politik di internal Amerika (AS) antara Trump versus “Non-Trump” (non-state actor) bahwa setelah kejadian George Floyd di Minneapolis viral, lalu menimbulkan demonstrasi, kerusuhan dan penjarahan massal di hampir semua negara bagian. Nah, diskusi kali ini bertopik model dan sistem kepolisihan AS yang terkesan diskriminatif lagi rasis.

Mengingat luasnya materi di satu sisi, sementara dihadapkan minimnya referensi di sisi lain, maka titik-berat diskusi berfokus pada isu Floyd dan dampaknya yang meluas serta mengglobal.

Pertanyaannya, “Kenapa isu Floyd berlarut serta menimbulkan solidaritas lintas ras bahkan lintas negara sehingga kesiapan kepolisian AS terlihat gagap dan kedodoran?”

Inilah pointers diskusi di Forum Sanyata Coffee:

Pertama, bahwa sikap rasis dan diskriminatif para polisi di AS sesungguhnya diciptakan oleh sistem kepolisian itu sendiri. Indikasinya apa? Ya. Indikasinya terendus melalui tiga sub-sistem yang tanpa disadari telah menciptakan rasisme dan sikap diskriminatif. Antara lain:

(1) AS menganut model pemolisian fragmented, bukan nation police. Sehingga fakta ini kerap menimbulkan ego sektoral dalam praktik operasional di lapangan jika menangani perkara yang sifatnya lintas negara (bagian). Dalam hal ini, kendala dalam sinergisitas merupakan keniscayaan;

(2) tidak ada piranti anti-rasis —baik uji psikologi maupun tes kejiwaan— dalam mekanisme pembinaan. Entah rekrutmen, contohnya, atau penempatan, maupun pendidikan dan seterusnya. Kenapa? Meski police brutality kerap kali terjadi namun tetap saja berulang dan berulang. Artinya, isu police brutality tidak dijadikan preseden buruk, atau rujukan model dan instrumen perekrutan, penempatan, dan/atau proses pembelajaran bagi kepolisian di AS;

(3) pemolisian fragmented ternyata tidak hanya di level negara bagian, tetapi juga ter-fragmentasi hingga di level kota;

Kedua, tidak ada model pembinaan secara berjenjang sehingga tindakan di lapangan tidak seragam. Hal ini memunculkan ide dibentuk Asosiasi Kepala Polisi dan digiatkan pertemuan berkala di antara kepala polisi —semacam Gelar Operasional di Polri— guna sharing informasi, tukar pengalaman dan/atau menukar tata kelola kepolisian. Model ini tengah dikembangkan di level global.

Ketiga, tidak dikembangkannya proactive policing (pemolisian proaktif) di AS karena cenderung mendewakan kecanggihan peralatan dan teknologi;

Di PTIK, Jakarta, ada asumsi berkembang bahwa sistem masyarakat akan mempengaruhi sistem negara; sistem negara akan mempengaruhi sistem pemerintahan, sistem pemerintahan akan mempengaruhi sistem kepolisian; dan ujung dari asumsi dimaksud ialah bahwa sistem di masyarakat niscaya berpengaruh pada sistem kepolisian.

Pada gilirannya, asumsi di atas mengerucut menjadi sebuah kredo: “Bahwa kehadiran polisi di tengah masyarakat tak bisa digantikan oleh alat secanggih apapun.” Nah, hal inilah yang tidak ada dalam instrumental Kepolisian AS yang mengagungkan peralatan modern dan kecanggihan teknologi.

Apakah rasisme dan sikap diskriminatif polisi AS bermula dari rasisme yang hampir melingkupi masyarakat terutama mayoritas (kulit putih) terhadap kulit hitam dan warga kulit berwarna?

Iya, tidak salah. Meski perlu penelitian secara detail dan jujur, sebab asumsi di atas baru tahap hipotesa. Akan tetapi, asumsi tadi sebenarnya selaras dengan teori sosiologi hukum bahwa hubungan masyarakat dan polisi itu ibarat ikan dan air (Satjipto Raharjo). Keduanya bersifat timbal balik dan saling mempengaruhi. Pada masyarakat yang berwatak keras, misalnya, polisinya pasti juga keras; atau di masyarakat yang lembut maka polisinya cenderung lemah lembut; pada masyarakat rasisme maka polisinya cenderung bersikap rasis, demikian seterusnya.

Pertanyaan selidik muncul, “Seandainya Trump yang rasis tidak lagi berkuasa, apakah peristiwa beraroma rasisme tidak akan berulang di kepolisian AS?”

Tidak juga. Rasisme di AS memiliki sejarah kelam dan panjang. Akibatnya sikap rasisme hampir melekat pada mayoritas masyarakat AS. Bahwa sikap dan kebijakan Trump yang cenderung rasis sebenarnya cuma menebalkan dan/atau pemantik semata.

Dapatkah mengubah sikap rasisme kepolisian di AS menjadi humanis, proaktif dan adil?

Bisa. Tetapi mutlak harus membongkar secara radikal sistem kepolisian baik struktural, instrumental maupun kultural. Jadi bukan cuma reformasi kepolisian, tetapi perlu revolusi sistem kepolisian. Menjebol sistem yang ada, kemudian mengganti dengan sistem baru yang humanis, adil dan proaktif. Memang akan memakan waktu relatif lama mengingat rasisme itu sendiri adalah bagian sejarah masa lalu yang kelam di Negeri Paman Sam.

Demikian butir-butir diskusi di Sanyata Coffee. Tak ada maksud menggurui siapapun terutama para pakar dan pihak yang berkompeten, hanya sekedar sharing pengetahuan untuk kemanfaatan bersama. Kritik, saran dan masukan diperlukan agar pointers diskusi semakin mendekati kebenaran.

Terima kasih

***) Pointers kecil diskusi di Sanyata Coffee pimpinan Romeo10: “We Create the Future Leaders”.

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com