Skema TPP dan TiSA Daya Rusaknya Melebihi WTO dan NAFTA

Bagikan artikel ini

Amerika Serikat dan Uni Eropa beranggapan setelah berakhirnya perang dingin pada awal 1990-an, hanya ada kutub tunggal (monopolar). Inilah yang mendasari seluruh kebijakan ekonomi-politik  AS dan Uni Eropa untuk menguasai negara-negara di kawasan Asia Pasifik. Maka atas dasar prakarsa mereka, dibentuklah kesepakatan rahasia  beberapa negara untuk menguassai perdagangan global di bawah payung skema Trans-Pacific Partnership (TPP) yang dimotori AS. Sehingga kemudian memecah-belah kekompakan antar negara-negara anggota APEC (Asia Pacific Economic Cooperation) yang beranggotakan 24 negara itu.

Namun pada 2 Juli 2015 lalu, Wikileaks kembali mengungkap beberapa fakta penting mengenai beberapa draft kesepakatan rahasia antarnegara dalam skema Trade in Services Agreement (TiSA) yang dimotori oleh AS dan Uni Eropa. Menurut data yang dirilis oleh Wikileaks, hingga kini ada 23 negara sudah melakukan negosiasi yaitu Australia, Kanada, Chile, Taiwan, Kolombia, Kostarika, Hongkong, Iceland, Israel, Jepang, Liechtenstein, Meksiko Selandia Baru, Norwegia, Swiss, Pakistan, Panama, Uruguay, Paraguay, Peru, Korea Selatan, Turki, Amerika Serikat dan Uni Eropa (mewakili 28 negara, termasuk Inggris).

Dari 17 draf dokumen penting skema TiSA yang saat ini masih dalam negosiasi yang sifatnya rahasia dan tertutup, dokumen tersebut menyiratkan beberapa kesepakatan penting untuk menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan jasa antarnegara.

Wikileaks menulis:
“While the proposed Trans Pacific Partnerhship (TPP) and the Transatlantic Trade and Investment Pact (TTIP) have become well known in recent months, the TiSA is the largest component of the United States strategic neoliberal trade treaty triumvirate. Together, the three treaties form not only a new legal order shaped for transnational corporations, but a new economic grand enclosure, which excludes China and all other BRICS countries.”

Tak pelak lagi TiSA merupakan komponen strategis untuk memainkan skema ekonomi neoliberal AS terhadap berbagai negara. Sehingga tidak berlebihan kiranya jika TiSA dan TPP merupakan sebuah kesepakatan yang tingkatan daya rusaknya melebihi WTO dan NAFTA.

Dalam sebuah laporannya yang berjudul TiSA versus Public ServicesPublic Services International, sebuah organisasi federasi lembaga persatuan pekerja publik internasional yang beranggotakan sekitar 20 juta pekerja publik yang tersebar di 154 negara, antara lain menulis sebagai berikiut:

“Current treaties have developed into constitutional-style documents that tie governments’ hads in many areas only loosely related to trade. These include patent protections for drugs, local government purchasing, foreign investor rights, public services and public interest regulation, which can have consequences in areas such as labour, the environment and Internet Freedom.”

Selain itu, dengan merujuk pada artikel dari Emma Woolacott, kontributor forbes.com, ada dugaan kuat bahwa dalam sebuah klausulnya, setiap negara yang ikut meratifikasi TiSA diwajibkan untuk mengizinkan data base kependudukannya untuk diakses oleh negara, lembaga, perusahaan atau individu negara lain.

Namun, apa agenda tersembunyi dari TiSA kiranya yang jauh lebih penting untuk diungkap. Berdasarkan diskusi terbatas antar beberapa peneliti senior Global Future Institute, tujuan TiSA nampaknya bukan sekadar untuk meliberalisasi perdagangan jasa antarnegara anggota TiSA. Lebih dalam dari itu, sepertinya TiSA bertujuan untuk memaksa negara-negara yang tergabung dalam BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan), maupun negara-negara yang tergabung dalam ASEAN serta beberapa negara berkembang lainnya, agar tunduk dan patuh terhadap aturan yang ditetapkan oleh TiSA.

Hal ini membuktikan bahwa AS dan Uni Eropa memandang dirinya sebagai kutub tunggal dan menafikan keberadaan kekuatan-kekuatan alternatif di luar orbit mereka sebagai kutub tersendiri yang patut diperhitungkan. Sehingga kekuatan-kekuatan baru seperti BRICS dan ASEAN sudah sewajarnya untuk terintegrasi dalam skema TiSA dan TPP.

Apalagi dalam perhitungan negara-negara yang tergabung TiSA, jika total perdagangan jasa antarnegara yang tergabung dalam TSA digabung menjadi satu, maka diperkirakan TiSA akan menguasai dua pertiga GDP global.

Beberapa waktu lalu memang beredar informasi bahwa Cina sedang dirangkul oleh Uni Eropa untuk bersama-sama menguasai perekonomian ASEAN melalui apa yang dinamakan “Europe’s Smart Asian Pivot“. Menurut beberapa data yang berhasil dihimpun tim riset Global Future Institute, Asia sudah menjadi trading partner penting yang mengusai sepertiga perdagangan internasional Uni Eropa. Berarti ini sudah berhasil menyalip tingkat perdagangannnya dengan Amerika Utara. Bahkan perdagangannya dengan Cina saja, sudah mencapai lebih dari 1 juta Euro per hari. Jelaslah ini merupakan catatan yang maha penting.

Namun  belakangan negara-negara yang tergabung dalam BRICS menolak menjadi anggota TiSA. Penolakan negara-negara yang tergabung dalam skema BRICS untuk bergabung dengan TiSA bisa dibaca sebagai sebagai bukti bahwa BRICS sudah menjadi kekuatan keseimbangan baru di medan perekonomian global di luar lingkup pengaruh dan orbit dari TiSA dan TPP yang dimotori AS dan Uni Eropa.

Meski demikian, dipandang dari perspektif untuk kepentingan nasional NKRI, perlu kiranya disadari bahwa dibalik kata indah “Free Trade” dan “More Transparancy” dalam skema TPP: “Deal is not about trade, it is about corporate control.”

Nampaknya memang begitulah adanya. Pertarungan Kepentingan antar Korporasi-Korporasi Global. Maka itu, Indonesia harus punya kontra skema untuk bisa ikut bemain secara aktif di tengah pusaran pertarungan antar korporasi global tersebut.

Karen itu, Indonesia sudah saatnya untuk menyerap inspirasi dari Skema Kerjasama BRICS untuk membangun kekuatan-kekuatan baru sekaligus kekuatan penyeimbang dalam pertarungan global saat ini

Penulis: Hendrajit dan Ferdiansyah Ali, Peneliti Senior Global Future Institute

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com