Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)
Setiap pentas atau panggung apapun — dimanapun, lazimnya ada tiga unsur sentral bermain di pagelaran. Unsur tersebut terdiri atas wayang, dalang dan penanggap. Istilah lain penanggap sering disebut pemilik hajatan. Inilah pakem (politik) nusantara, bahkan mungkin juga telah menjadi pakem politik global. Jadi hal tersebut bukan lagi wacana, tidak lagi disebut teori, asumsi, dll akan tetapi telah menjadi pola. Ya. Pola merupakan keniscayaan, hal-hal yang semestinya berlaku.
Sekali lagi: “Wayang – Dalang – Pemilik Hajat”. Maka kelogisan rumus dinamikanya ialah, wayang akan tergantung dalang, sedang dalang terserah maunya pemilik hajatan. “Pak Dalang, saya ingin temanya ‘mogo botongo’ saja, jangan judul atau tema-tema lainnya!”, pinta si penanggap, “Nggih, Pak!” “Piro, Pak?”. “Terserah bapak deh, asal saya bisa hidup!”, jawab Dalang mesam-mesem.
Dan agaknya dinamika Pemilu 2014 di republik tercinta ini tak lepas dari remote (kemauan) sang pemilik hajatan. Entah sengaja atau kebetulan, sampul majalah Tempo tertanggal 7 -13 April 2014 mengisyaratkan hal tersebut. Silahkan saudara-saudara simak secara cermat sampul dimaksud (lihat gambar). Maksudnya agar selaku anak bangsa tidak larut dalam tarian gendang si dalang, apalagi cuma tiupan seruling si wayang. Syukur-syukur atas seizin Tuhan, bangsa ini mampu memahami skema penanggap kemudian menguak siapa sesungguhnya pemilik hajat atas gaduh politik di Tanah Air, lalu bersama-sama kita melawan secara gegap gempita. Kenapa demikian, sebab tercium aroma bahwa ada skenario di atas skenario, terdapat skema di dalam skema itu sendiri.
Pemilu kali ini memang unik, selain tidak ada incumbent, hasil Pemilu Legeslatif (Pileg) tak mampu memunculkan partai pemenang secara mutlak (mayoritas), juga hiruk-pikuk koalisi partai politik hanya melahirkan dua capres/cawapres yang bakal head to head dalam Pemilu Presiden (Pilpres) nanti.
Sementara geliat politik menuju pungut suara Pilpres 9 Juli 2014, ada episode janggal berupa pelanggaran hukum (korupsi) yang melibatkan capres ataupun cawapres masing-masing kubu. Jokowi misalnya, ia tengah dibidik Kejagung atas dugaan korupsi Bus TransJakarta, sementara Hatta Rajasa diincar KPK untuk kasus dugaan korupsi KRL, termasuk dugaan korupsi daging impor. Luar biasa.
Pertanyaannya sederhana: Jika kemenangan tipis diraih oleh salah satu pasangan capres, atau mungkin salah satu capres/wapres, atau bahkan kedua-duanya terganjal kasus korupsi, apakah Pilpres bakal ditunda atau gagal? Jawabannya pun sederhana: ‘Selamat Datang Asia Spring di Bumi Pertiwi!”
Terimakasih