Soal TPI, Mbak Tutut Menang Atas Harrytanoe Soedibyo

Bagikan artikel ini

Otjih Sewandarijatun, peneliti senior di Lembaga Analisa Politik dan Demokrasi (LAPD), Jakarta. Alumnus Universitas Udayana, Bali

Sebenarnya kurang terungkap bagaimana latar belakang pertentangan antara mbak Tutut melawan Harry Tanoesoedibyo dalam masalah stasiun televisi yang dahulu bernama Televisi Pendidikan Indonesia (TPI) kemudian ketika dapat dikuasai Harry Tanoe  berubah menjadi MNC. Masalah tersebut disengketakan mulai dari Pengadilan Negeri dimenangkan mbak Tutut, naik banding ke Pengadilan Tinggi dimenangkan  oleh Harry Tanoesoedibyo, lalu naik ketingat kasasi dimenangkan mbak Tutut.

Meskipun menang pada tingkat kasasi, namun mungkin sebagai bisnis woman yang tidak professional dibidang penyiaran kemenangan mbak Tutut juga merupakan tantangan bisnis yang tidak ringan bagi mbak Tutut apabila TPI akan dibangun kembali.

Kita bisa membayangkan kemenangan mbak Tutut merebut kembali Stasiun Televisi TPI, akan memerlukan pemikiran dan kerja keras untuk memungkinkan TPI bangkit kembali. Yang tentu penting adalah jangan sampai mbak Tutut jatuh ke tangan orang-orang yang sekedar cari untung.

Oktober lalu, Mahkamah Agung sudah menegaskan bahwa kubu Hary Tanoesoedibjo selaku CEO PT Media Nusantara Citra (MNC) harus mengembalikan MNC TV ke tangan Siti Hardijanti Rukmana atau yang akrab disapa Mbak Tutut. Namun, saat itu MA belum mengeluarkan amar putusan kasasi yang diajukan oleh kubu Mbak Tutut. Amar keputusan MA itu akhirnya dikeluarkan kemarin, Selasa (17/12). Mahkamah Agung membatalkan dan menyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum atas segala perikatan yang timbul dan juga segala akibat hukum dari keputusan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPS-LB) tanggal 18 Maret 2005 dan akta nomor 16 dan 17 tertanggal 18 Maret 2005. Keputusan RUPS-LB tanggal 19 Oktober 2005 sebagaimana tertuang dalam akta nomor 128 tertanggal 19 Oktober 2005 juga dinyatakan tidak sah. Termasuk hasil Keputusan RUPS LB pada 23 Desember 2005. Dalam amar putusannya, MA menghukum PT Berkah Karya Bersama untuk mengembalikan PT Cipta Televisi Pendidikan Indonesia kepada Mbak Tutut. “Menghukum para tergugat untuk tunduk dan patuh pada putusan ini,” putus ketua majelis I Made Tara dengan anggota Prof Dr Takdir Rahmadi dan Soltoni Mohdally seperti dikutip merdeka.com dari laman resmi MA, Rabu (18/12).

Keluarnya amar putusan ini mempertegas kemenangan Mbak Tutut atas Hary Tanoe. “Mengadili, mengabulkan permohonan kasasi para pemohon kasasi,” tulis I Made Tara selaku ketua majelis. MA juga membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta pada 20 April 2012 yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) tertanggal 14 April 2011.

Ajak TPI Atasi Information Warfare

TPI bersama TVRI adalah stasiun televisi yang pernah berdiri membawa suara Pemerintah dalam rangka sosialisasi program-program pembangunan nasional ataupun dalam memastikan tercapai atau terjaganya kepentingan nasional dalam berbagai bidang.

Oleh karena itu, kemenangan mbak Tutut atas Harry Tanoesoedibyo dalam masalah TPI perlu disyukuri, karena TPI akan melanjutkan falsafah pembentukannya dahulu, yakni menjadikan Indonesia maju seluruhnya dan seutuhnya, bukan hanya fisiknya tetapi juga falsafah hidupnya dan ilmu pengetahuannya.

Beberapa kepentingan Pemerintah jelas sangat memerlukan alat komunikasi untuk sosialisasinya, misalnya soal-soal ketahanan nasional, upaya  pemantapan  Pancasila,  upaya-upaya deradikalisasi sikap, dan soal-soal kebangsaan lainnya. Tidak kecil artinya juga adalah  sejarah kebangsaan Indonesia, dan tampaknya TPI dibawah mbak Tutut akan mau menjalankannya dibandingkan TV swasta yang lain, walaupun beberapa TV swasta bekerjasama dengan instansi pemerintah membentuk beragam film dokumenter, namun sepertinya masih harus mengeluarkan dana yang cukup mahal oleh instansi pemerintah tersebut, padahal persoalan sosialisasi kebangsaan dan persoalan bagaimana bangsa ini menghadapi information warfare ke depan, seharusnya menjadi tugas bersama stakeholders bangsa, termasuk lembaga penyiaran swasta (LPS).

Apalagi banyak masalah pendidikan kebangsaan yang selama  era reformasi telah berkembang dengan salah arah dan kebablasan, bahkan memunculkan sejumlah permasalahan di Pusat dan Daerah termasuk membuka peluang hidup suburnya ideologi-ideologi terlarang dan ideologi transnasional, sehingga disana sini rasa kebangsaan terasa menurun kadarnya, harus kita perbaiki dan kita luruskan kembali. Oleh karena itu, karena di era Orde Baru, mbak Tutut dengan TPI-nya seringkali menjadi “corong pemerintah” dalam sosialisasi kebijakannya, maka diharapkan mbak Tutut dengan sikap kenegarawannya juga akan bersedia mengemban tugas seperti di era Orde Baru melalui kemenangan “merebut kembali” TPI-nya. Untuk itu, mbak Tutut sebaiknya jangan dibiarkan kebingungan sendiri oleh pihak pemerintah, yang salah-salah bisa salah langkah.

Ada baiknya kita yang mengenal keluarga almarhum mantan Presiden Soeharto perlu mengulurkan tangan membantu apabila mbak Tutut memerlukan, yang nota bene bersahabat dengan mbak  Tutut dalam membina kembali TPI tidak ada salahnya. Kita mengetahui almarhum mantan Presiden Soeharto dan keluarganya, sehingga kita tahu bagaimana bisa berkomunikasi dan bekerjasama dengan mereka, tanpa mengakibatkan sesuatu ekses. Kita tidak usah takut berkomunikasi dengan keluarga almarhum mantan Presiden Soeharto, karena mereka bukan musuh-musuh bangsa Indonesia. Ada baiknya, kalangan stakeholder di bidang komunikasi massa menjajaki dan mendalami kemungkinan ini.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com