Soetjipto

Bagikan artikel ini
Sungguh jarang seorang yang saban hari berkutat dengan tabel dan angka bisa menjadi penulis yang memikat. Di Indonesia barangkali hanya dua maestro statistik yang sering menulis di media cetak selain Soetjipto Wirosardjono (wafat 2019 dalam usia 81 tahun) ada Andi Hakim Nasution, guru besar statistik dan mantan rektor IPB.
Bedanya Soetjipto punya tarikan nafas lebih panjang dalam hal produktivitas menulis dan lihai mengulas tema kebudayaan, agama, dan politik. Artikelnya mudah ditemui di berbagai media cetak, majalah atau koran. Dari semua kolomnis Tempo ia pastilah salah satu yang kerap tampil di kolom majalah berita itu.
Ia pintar mangolah tulisannya dengan gaya humor yang tajam. Dalam kolom “Kampanye Pancasila” ia memperkenalkan corak kampanye khas Indonesia. Kepada tiga organisasi politik peserta pemilu (PPP, PDI, Golkar) ia menyarankan pada saat kampanye masing-masing orpol memuji-muji lawan mereka dan mendorong pendukung memilih partai saingan mereka.
Dengan begitu tak bakal ada benturan antar suporter yang biasanya menjadi hiasan wajib setelah kampanye. Dengan kampanye Pancasila masing-masing orpol dan pendukung mereka akan merasa senang, tidak ada lagi sindir-sindiran dan hujat-menghujat, juga lemparan batu. Semua berjalan menurut “aturan” Pancasila.
Karena di zaman itu para pejabat berlomba-lomba mengucapkan Pancasila yang mirip mantra itu ia pun menyarankan supaya disediakan ahli statistik untuk mencatat berapa kali Pancasila diucapkan saat mereka berpidato atau temu wicara. Semakin banyak kata sakti itu diucapkan berarti kian awet mereka dalam jabatan.
Dalam sebuah artikel di Kompas tahun 1986 ia memperkenalkan istilah “klobotisme” dalam dunia akademis. Klobotisme merujuk akademisi yang sibuk menyoal masalah di luar kampus dan lupa berkarya apalagi membenahi internal kampus mereka. Mereka menjadi tokoh publik dan rajin berkomentar masalah bangsa dan pemerintahan meski acap hanya asal njeplak — mirip suara kertas klobot (kulit jagung kering) yang diremas dan terdengar berisik.
Lama terpendam tiba-tiba istilah itu nongol lagi tahun 2012. Dalam pidato guru besar Heru Nugroho: Negara, Universitas, dan Banalitas Intelektual, sosiolog UGM lulusan Jerman itu mengungkit kembali gagasan Sutjipto itu. Klobotisme, kata Heru, bagian dari banalisme intelektual yang nampak dari menurunnya kualitas akademik dan komitmen keilmuan.
Kaum klobot senang tampil di televisi dan media cetak, bicara segala hal ihwal bangsa sering tanpa data dan konsep yang jelas. Media pun memberi status “pakar” kepada mereka. Lama-lama sang pakar klobot ditarik menjadi staf ahli menteri dan terlibat dalam pemerintahan. Itu semua, menurut Heru, “tidak menghasilkan apa pun secara akademik selain realisasi hasrat kuasa pragmatis”.
Walaupun birokrat Soetjipto tetap kritis pada pemerintah. “Dia itu berani ambil risiko dan mempertaruhkan jabatannya,” kata Romo Mangun. Lingkaran pergaulanya luas termasuk kalangan aktivis dan oposan. Mungkin itu sebabnya jabatannya tak kunjung naik. Selama puluhan tahun jabatannya mentok hanya deputi kepala BPS (Badan Pusat Statistik) hingga pensiun padahal master statistik lulusan Filipina itu lebih dari pantas menjadi kepala.
Darwati Utieh, wartawan senior. 
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com