Usman Pelly

Bagikan artikel ini
Kiranya hanya ada dua antropolog luar Jawa yang agak rajin menulis di media nasional, terutama Kompas. Mattulada di bagian timur Pelly di sayap utara. Artikel mereka juga pernah muncul di Prisma.
Mattulada mungkin doktor antropologi pertama dari Sulawesi. Kurang begitu jelas apakah Usman Pelly (lahir 1938) juga yang pertama di Sumatera?
Tapi bahkan dibandingkan antropolog dari Jawa pun Pelly masih lumayan produktif. Doktor lulusan University of Illinois, AS, tahun 1983, itu barangkali hanya “kalah” dari Koentjaraningrat, sang begawan antropologi.
Dalam buku Urbanisasi dan Adaptasi (LP3ES, 1994) ia mengulas dengan cermat kehidupan suku Minangkabau dan Mandailing yang pergi mengadu nasib di kota Medan.
Guru besar antropologi Universitas Sumatera Utara (USU) itu menemukan mayoritas perantau udik itu selain gigih juga cepat beradaptasi dengan lingkungan baru mereka.
Studi Pelly ini, untuk beberapa bagian, boleh disebut kelanjutan dari kajian Muchtar Naim awal tahun 1970-an dalam disertasinya Merantau, Minangkabau Voluntary Migration.
Tentang suku Mandailing terjadi sedikit kontroversi. Sudah sejak tahun 1922 mereka menolak dimasukkan dalam “wilayah Batak” dan karena itu ogah disebut orang Batak.
Sikap mbalelo itu kemudian diikuti suku yang lain. Tahun 1952 giliran Nias menolak dibatakkan diikuti Simalungun tahun 1963 dan Pakpak setahun kemudian.
Mereka beralasan masing-masing suku memiliki perbedaan bahasa yang mencolok, berikut kepercayaan yang dianut.
Hanya tinggal suku Toba dan Karo yang tetap kukuh bertahan dalam teritori Batak dan bangga disebut orang Batak.
Tapi apakah Batak sungguh-sungguh ada?
Menurut kajian Usman Pelly tidak ada satu pun kata Batak ditemukan dalam manuskrip kuno baik dalam khasanah Toba, Angkola, Karo, Pakpak, maupun Simalungun.
Bahkan stempel kerajaan Sisingamangaraja XII, katanya, hanya disebut Ahu Si Raja Toba, bukan Ahu Si Raja Batak.
Perlu riset yang cermat sebelum orang menarik konklusi final. Yang jelas orang sudah terlanjur menyebut kelompok masyarakat di Sumatera Utara itu suku Batak.
Peneliti asing juga menyebut demikian untuk menunjuk lokasi geografis masyarakat yang bermukim di situ.
Tapi hasil kajian yang mengubah pandangan kadang memang sulit diterima publik.
Darawati Utieh, wartawan senior. 
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com