Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Walikota Solo Joko Widodo akhirnya angkat bicara ihwal rencana pembangunan apartemen Solo Paragon. Melalui sebuah artikel di harian Solo Pos. Joko Widodo secara eksplisit menegaskan bahwa pembangunan apartemen Solo Paragon harus dilihat sebagai isyarat Kota Solo yang bersahabat dengan modernitas, investasi(yang tentunya adalah modal asing) seiring dengan semakin tumbuhnya lapisan kelas menengah dan gaya hidup metropolitan. Selain manfaatnya dari segi penyerapan tenaga kerja.
Begitulah kira-kira intisari tulisan Walikota Solo berkaitan rencana pembangunan Solo Paragon. Namun pernyataan Walikota Solo tersebut sadar atau tidak telah mengungkap persoalan laten di balik kontroversi Solo Paragon, yaitu betapa arus globalisasi telah semakin merembes tidak saja di kota-kota besar metropolitasn seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya. Bahkan kota kecil seperti Solo pun tak luput dari arus globalisasi dan pengaruh budaya barat yang kian menguat. Termasuk dalam gaya hidup.
Dan Walikota Solo meski dalam konteks membela kebijakan yang diambil dalam rangka memberi izin mendirikan bangunan kepada Solo Paragon, namun secara jelas dan gamblang seakan membernarkan bahwa dibangunnya sebuah apartemen Solo Paragon karena dorongan untuk melayani gaya hidup segmen kelas menengah kota yang diklaim oleh Walikota Solo semakin tumbuh subur dewasa ini.
Yang luput dari pandangan Walikota Solo adalah, apakah kelas menengah berikut gaya hidup kebarat-baratan yang serba ekslusif dan individualistis tersebut memang mencerminkan jatidiri warga masyarakat Solo?
Sayang sekali jawabannya adalah tidak. Karena sampai detik ini, warga masyarakat Solo masih guyub dan menghargagai semangat kebersamaan yang cukup tinggi. Lantas, lapisan warga Solo yang mana yang hendak dilayani gaya hidupnya melalui dibangunnya apartemen Solo Paragon?
Dalam penilaian penulis, bukan saja warga Solo tidak butuh apartemen megah dan mentereng ala Solo Paragon. Bahkan masyarakat yang bukan dari Solo pun rasa-rasanya tidak mencari apartemen macam itu ketika bertandang ke kota Solo baik untuk urusan bisnis maupun sekadar untuk berlibur atau berwisata.
Mereka yang berasal dari kota-kota lain di luar Solo, justru mencari penginapan atau tempat-tempat wisata yang mencerminkan ciri khas dan mengandung nilai-nilai kesejarahan yang tinggi dari kota Solo.
Karena itu pernyataan Walikota Solo tersebut justru kontradiktif dengan uraian beliau pada bagian lain dari tulisannya bahwa Kota Solo sebagai kota budaya hendaknya harus dilestarikan. Dan bahkan bisa-bisanya mengutip budayawan sohor DR Kuntowijoyo bahwa kota masa depan adalah kota masa lalu.
Namun semangat dari slogan tersebut hampir tidak terlihat dalam butir-butir pemikiran Walikota Solo. Pernyataannya kontradiktif satu sama lain. Pada satu sisi bermaksud melestarikan tradisi dan ciri khas budaya Solo. Namun pada bagian lain dengan tanpa rasa bersalah mengakui bahwa pembangunan apartemen Paragon tidak bisa dielakkan mengingat pentingnya Solo yang bersabat dengan invetasi dan gaya hidup kelas menengah kota yang tak ada sangkut-pautnya dengan kedekatan emosional maupun historis dengan kota Solo.
Alhasil, Solo sebagai kota budaya hanya slogan kosong belaka. Karena semangat Solo sebagai kota Budaya telah diplintir oleh sang Walikota itu sendiri dengan dalih bahwa untuk menjaga dan mempertahankan karakterisitik kota Solo secara kultural, mustahil bagi Solo untuk menitikberatkan diri hanya pada satu sisi. Tanpa menjelaskan apa yang dimaksud dengan pembangunan yang menekankan satu sisi tersebut.
Apakah Walikota Solo hendak mengatakan bahwa dibangunnya apartemen Solo Paragon bisa hidup berdampingan secara selaras dengan bangunan bersejarah dan tempat-tempat yang mengandung nilai budaya jawa yang sudah hidup berabad-abad?
Ada baiknya Walikota Solo Joko Widodo merenungkan kembali petuah Ronggo Warsito, pujangga Keraton Solo yang berujar: Sekarang zaman Edan, jika tidak ikut-ikutan edan tidak akan mendapat apa-apa. Namun di atas itu semua, sebaiknya tetap sadar,mawas diri dan waspada terhadap berbagai godaan dunia.
Selamat bekerja Pak Wali, masih belum terlambat untuk mengoreksi kesalahan dan kekhilafan yang pernah dibuat sebagai pejabat publik. Mohon Maaf Lahir dan Batin.