Suriah dan Hari Toleransi Internasional

Bagikan artikel ini

Penulis: Dina Y Sulaeman, mahasiswa S3 Hubungan Internasional Unpad dan research associate di Global Future Institute (GFI)

Menulis tentang Suriah, seperti menjadi sebuah titik balik buat saya. Awalnya saya tidak menyadari sensitivitas masalah Suriah. Saya menulis analisis apa adanya, sebagaimana juga saya menulis analisis tentang konflik di negeri-negeri lain di Timur Tengah. Hingga tiba-tiba masuk inbox-inbox  di FB dan email-email yang mengata-ngatai saya Syiah, bukan Islam, kafir, ‘percuma berkerudung kalau membela Assad’, saya baru menyadari ada sesuatu yang ‘besar’ dalam konflik Suriah ini. Semakin lama, keanehan semakin muncul: mengapa orang-orang yang selama ini membela Palestina malah berbalik badan dan mendukung penggulingan rezim Assad, yang selama ini justru memberikan pelayanan terbaik di Timteng (menurut UNHCR) kepada para pengungsi Palestina?

Padahal, tesis yang saya bangun sejak awal menulis tentang Suriah adalah bahwa ada Israel dan AS di balik konflik Suriah dan fakta ini semakin hari, semakin terang-benderang. Namun tetap saja banyak orang tak mampu menangkap fakta itu. Sebagian rakyat awam tak mampu menangkap fakta, karena akses informasi yang terbatas. Ketika para ustadz dengan fasih berorasi di masjid-masjid, berkisah tentang ‘kekejaman kaum Syiah membantai kaum Sunni Suriah’, itulah yang mereka percayai. Tapi, sebagian orang tidak mau menangkap fakta, bukan tidak mampu. Misalnya saja, para facebooker dan mereka yang familiar dengan internet.

Seharusnya mereka lebih bisa meneliti, betapa luar biasanya distorsi informasi yang dilakukan media internasional, termasuk media-media berlabel Islam. Perang di Suriah bukan perang Sunni-Syiah. Tapi ada pasukan asing datang dari berbagai negara ke Suriah, bekerjasama dengan segelintir warga Suriah, untuk menggulingkan rezim Assad. Alasan yang mereka kemukakan dalam memerangi Assad adalah karena Assad adalah Syiah. Padahal, tentara Suriah mayoritasnya Sunni; mayoritas warga Suriah pun Sunni. Bom tidak memiliki mata: sehingga yang tewas akibat bom-bom yang diledakkan para pemberontak tentu saja mayoritasnya Sunni.

Ini bukan tentang mazhab. Ini tentang uang dan kekuasaan. Tentu panjang sekali kalau saya jelaskan lagi. Silahkan saja baca di blog ini, di kategori ‘Syria‘, atau yang lebih terstruktur, di buku Prahara Suriah.

Dan karena isunya mazhab, maka konflik Suriah pun dibawa-bawa hingga ke Indonesia. Mereka menggalang dana dengan membangkitkan kebencian. Seharusnya, mereka yang familiar dengan internet meluangkan waktu sedikit untuk mendeteksi foto-foto palsu yang digunakan oleh lembaga-lembaga yang menggalang dana itu.

Salah satunya foto ini:

Syria Care salah satu lembaga yang gencar menyebarluaskan sentimen kebencian terhadap Syiah di Indonesia-Malaysia, dengan memanfaatkan konflik Suriah, dan ujung-ujungnya menggalang dana.

Dan satu-dua menit, luangkan waktu untuk mendownload foto itu, masukkan ke google image, dan Anda akan tahu, itu foto korban kelaparan di Yaman, bukan korban kekejaman Assad seperti yang ditulis Syria Care. Bisa klik di sini. Dan ini bukan satu-satunya foto ‘palsu’. Banyak sekali, bisa klik koleksinya di sini. Situs semacam Syria Care pun bukan satu-satunya, menyedihkan sekali.

Intimidasi sempat membuat saya macet menulis karena tertekan. Tapi suatu hari, datang berita, Syekh Al Buthy, ulama Sunni terkemuka Suriah, syahid dibom oleh teroris. Saat itulah saya bangkit. Dan saya selesaikan buku itu dalam waktu singkat. Di halaman awal buku, saya tuliskan persembahan ‘untuk Asy-Syahid Syaikh Ramadhan Al Buthy’. Bagi saya, beliau adalah simbol perlawanan.

Selain intimidasi verbal via inbox dan email, akhirnya muncullah berita di sebuah situs berita yang mengaku Islam, yang menyebut saya tokoh Syiah. Padahal, tidak ada satupun wartawan dari media itu yang konfirmasi ke saya. Dan, para ikhwan-akhwat yang mengaku paling Islam, menshare ulang berita itu; sambil saling mewasiatkan “hati-hati pada tulisan Dina Sulaeman”. Entah apa yang mereka pelajari di pengajian mereka soal hukum fitnah dan ghibah.

Tapi cobaan masih belum cukup. Sebuah blog menulis ancaman fisik kepada saya, menyerukan agar saya diserang ‘supaya merasakan sakitnya orang-orang Sunni di Suriah’. Tentu saja, orang-orang yang merasa sedang membela Islam dengan penuh semangat men-share ulang tulisan tersebut. Masih belum cukup, di twitter beredar foto sejumlah orang yang dituduh Syiah dan salah satu foto yang dipajang adalah foto saya sekeluarga. Bisa dibayangkan betapa sedihnya hati saya, menyaksikan foto anak-anak saya terpampang di situ; dengan keterangan foto:  “daftar nama-nama dan foto-foto para bajingan pendeta Syiah di Indonesia yang halal dibakar hidup-hidup!!!”

Masya Allah, laa hawlaa walaa quwwata illa billah. Inilah potret Indonesia hari ini. Ideologi wahabi radikal dari Timur Tengah ternyata sudah sedemikian menyebar di kalangan muslim Indonesia. Entah apa jadinya negeri ini bila semua ini dibiarkan.

Tapi, di sinilah titik balik itu: saya jadi tahu rasanya jadi ‘korban’. Saya kini jadi tahu secara empiris, apa yang dirasakan oleh mereka-mereka yang selama ini diusir, ditindas, didiskriminasi, dan bahkan dibunuh atas nama agama. Saya kembali mampu untuk tegar dan terus menulis, no matter what. Allah-lah yang akan menjaga saya, bukan siapa-siapa.

Dan karena itu pulalah saya sangat terharu saat hadir di acara “Bandung Lautan Damai” yang memperingati Hari Toleransi Internasional (16 November 2013), di Museum Mandalawangsit Siliwangi, Bandung. Dalam acara itu ditampilkan pertunjukan musik, teater, dan orasi budaya, serta peluncuran buku bertajuk #Dialog100.

Saat seorang anak yang tampil dalam kelompok teater Praxis berteriak,  “Kami tidak punya masa depan! Makas depan kami dirampas oleh orang-orang yang mengatasnamakan Tuhan!” mata saya terasa panas menahan tetesan air mata. Teringat pada nasib anak-anak yang terusir dari tanah kelahiran karena berbagai konflik. IDMC (The Internal Displacement Monitoring Centre) mencatat ada 180.000 orang Indonesia yang berstatus IDP. Mereka antara lain berada di Aceh, Makasar, Bima, Maluku, Flores, Poso, Papua, dan Madura. Sebagian konflik karena perseteruan etnis, sebagiannya karena agama. Inilah yang dimaksud sang pemain teater: atas nama Tuhan, sebagian orang merasa berhak menuduh sebagian yang lain sesat, berhak mengusir, bahkan membakar rumah-rumah mereka. Sayangnya, pemerintah yang seharusnya menjadi pengayom masyarakat, malah diam, atau ikut terlibat.

Koordinator Bandung Lautan Damai, Wawan Gunawan, dalam acara tersebut menyampaikan beberapa hal penting:

  1. “Jangan mengaku orang Indonesia, bila kita menginjak-injak kebhinnekaan”.
  2. “Toleransi bukan berarti memaksa mawar menjadi melati, atau sebaliknya. Dalam toleransi, mawar tetap menjadi mawar dan melati tetap menjadi melati, mereka tumbuh berdampingan dan sama-sama memberikan keindahannya.”

Buku yang diluncurkan oleh Bandung Lautan Damai adalah buku berjudul #Dialog100, yang berisi 100 kisah dari 100 penulis yang bertema toleransi beragama dan persahabatan lintas-iman. Menurut kang Wawan, orang-orang bisa berubah pandangan seringkali bukan karena bacaan berat (atau mempelajari filosofi berat-berat soal kehidupan) tapi karena pertemuan, interaksi, dan membaca kisah-kisah yang ringan. Karena itu, di buku ini dimuat 100 kisah pribadi yang ringan, tapi menyentuh hati. Saya juga mendapat kehormatan untuk menyumbangkan tulisan di buku ini. Dan dalam acara peluncuran, editor buku, Rio Tuasikal membacakan kutipan tulisan saya, diiringi oleh permainan biola dan gitar yang sangat lembut. Saya jadi terharu mendengar apa yang saya tulis sendiri:

Sebagian dari teman-teman kuliah saya sepertinya baru melihat jilbab. Berkali-kali mereka bertanya dengan nada prihatin, “Kamu tidak kepanasan?” Tapi, saat angin bertiup kencang, seorang teman perempuan atheis secara refleks merangkul bahu saya untuk menjaga agar jilbab saya tidak terbang. Saat itulah saya menyadari, bahwa dunia ini warna-warni dan semua warna bisa saling berdampingan bagai pelangi. Bahwa it’s OK to be different. Berteman tidak berarti harus mengikuti gaya hidup sang teman. Biarlah aku dengan gayaku, kamu dengan gayamu. Dan kita berjalan bersama. Tidak ada masalah kan?

Rio tak membacakan lanjutan tulisan saya… “Tapi kenyataannya, tidak selalu semanis cerita saya ini. Bertahun-tahun berlalu, saya akhirnya menekuni studi Hubungan Internasional dan aktif menulis artikel, makalah, dan buku tentang konflik Timur Tengah. Saya pun ‘berurusan’ dengan bom dan pembunuhan yang mengatasnamakan agama… “ dst.

Miris memang. Mengapa begitu banyak manusia yang tega mengancam, mengintimidasi, bahkan membunuh tapi mengaku sedang membawa firman Tuhan?

Semoga, diperingatinya Hari Toleransi Internasional ini membawa perbaikan bagi dunia;  mengetuk hati kita semua; menyadarkan kita semua, bahwa kita adalah sama-sama manusia. Luka yang kita rasakan, sama sakitnya dengan luka yang dirasakan orang lain.

Ini cover buku Dialog 100, pemesanan bisa klik langsung web untukharmoni.com

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com