M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Konsepsi Indo-Pasifik yang digagas oleh Donald Trump (2017), secara geopolitik merupakan pola global yang disebut “creative destruction” (terobosan merusak) akibat fenomena dan/atau masa pasca pematangan —menurunnya hegemoni— skema One Goverment One System (OGOS)-nya Barat di satu sisi, sementara di sisi lain, tumbuh serta berkembangnya —meningkatnya hegemoni— skema One Belt One Road (OBOR)-nya Cina. Ini asumsi awal tulisan ini. Kenapa? Ada dua isu aktual lingkungan strategis sehingga membidani Indo-Pasifik, yaitu geopolitical shift (pergeseran geopolitik) dari Atlantik ke Asia Pasifik dan pergantian power concept (penggunaan kekuatan) dalam geopolitik dari mengkedepankan militer berubah menjadi power ekonomi yang di depan. Artinya apa, barangkali ke depan tidak akan lagi dijumpai peperangan militer secara terbuka antar pihak yang bertikai tetapi perang dagang (trade war) sebagaimana dinyatakan oleh Trump. Dengan kata lain, Indo-Pasifik yang dipersiapkan oleh Trump bersama Sinzo Abe (Jepang) dengan India sebagai ujung tombak ialah sinyal atas peperangan asimetris/nirmiliter antara Cina (dan Rusia) versus Amerika (AS) dan sekutu.
Sejalan dengan power ekonomi yang menggejala, kelak bila terjadi peperangan militer pun —jalan terakhir— diprakirakan terjadi di perairan terutama pada jalur-jalur yang merupakan akses (supply and demand) dari dan/atau menuju pasar.
Inti Indo-Pasifik adalah pengendalian jalur lintasan antara Samudra Pasifik – Lautan Hindia. Pertanyaannya, negara mana yang merupakan lintasan kedua samudera?
Tak boleh dipungkiri, geoposisi (silang) Indonesia berada pada lintasan kedua samudera yang kini tengah diperebutkan dua skema global dimaksud. Artinya, secara takdir geopolitik Indonesia memiliki posisi tawar yang tinggi dalam kancah tersebut. Dan niscaya bakal ada dan menjadi ajang tarik menarik oleh kelompok negara yang berada di balik kedua skema baik OBOR maupun OGOS terhadap Indonesia. Jadi, jangan dikira pilkada serentak 2018 dan pilpres 2019 akan berjalan apa adanya, begitu-begitu saja.
Di mata global, Indonesia terlalu sexy untuk tidak diintervensi. Para elit politik, aparat dan rakyat harus memahami kondisi itu. Kenapa? Ya. Selain kita punya sikap dalam berpolitik agar selaras dengan Kepentingan Nasional RI (KENARI), bukannya sikap yang malah berpihak terhadap Kepentingan Negara Asing (KENARA), juga agar Indonesia tak lagi menjadi sekedar war of theatre atau medan tempur semata.
Jadi ingat sebuah lagu, “.. garuda bukan burung perkutut, sang saka bukan sarung pembalut.. ”
Terima kasih.