Taiwan, “Tumbal” AS untuk Hadapi Gelombang Pasang China?

Bagikan artikel ini

Taiwan, sebuah negara di Asia Timur, semakin menemukan dirinya berada di tengah-tengah perebutan kekuasaan dua negara adidaya AS dan China yang kian menunjukkan kebangkitannya di kawasan, demikian kata Tony Cartalucci dalam sebuah artikelnya di globalresearch.ca.

Taiwan yang diakui oleh PBB berada di bawah kebijakan Satu China dinilai melakukan pembangkangan terhadap China melalui jaringan lingkaran pro-kemerdekaan Taiwan yang banyak mendapatkan dukungan finansial dan politik dari Washington. Taiwan, demingan demikian, telah menjadi titik perselisihan antara Beijing dan Washington selama beberapa dekade terakhir.

Contoh terbaru dari titik perselisihan itu adalah keterlibatan National Endowment for Democracy. Juga sebagaimana dilaporkan Taipei Times dalam salah satu artikelnya, “Dua LSM pro-demokrasi yang berbasis di Washington akan mendirikan kantor di Taipei”

Dalam artikel itu dikatakan bahwa “Dua organisasi non-pemerintah (LSM) yang berbasis di Washington, Institut Demokrasi Nasional untuk Urusan Internasional (NDI) dan Institut Republik Internasional (IRI), akan mendirikan kantor di Taiwan setelah mereka mendapat sanksi dari Beijing tahun lalu.

Kedua lembaga tersebut, bersama dengan US National Endowment for Democracy (NED), Freedom House dan Human Rights Watch diberi sanksi tahun lalu karena lantang mendukung aktivis demokrasi Hong Kong dan juga menjadi bagian dari reaksi balas dendam China terhadap Presiden AS Donald Trump yang menandatangani Undang-Undang Hak Asasi Manusia dan Demokrasi Hong Kong AS.

Tentu saja NED AS tidak hanya “berbicara untuk mendukung” kelompok oposisi Hong Kong – tetapi merupakan saluran utama yang melaluinya pendanaan pemerintah AS diberikan kepada kelompok-kelompok oposisi tersebut.

Tujuan di balik ekspansi NED AS di Taiwan kian terang menyusul komentar presiden IRI Daniel Twining bahwa pihaknya akan bekerja dengan sejumlah mitra untuk menyoroti demokrasi yang berjalan tertatih-tatih di Taiwan, “memperkuat jaringan aktor demokrasi Asia dan membangun ketahanan terhadap pengaruh negara otoriter yang jahat di kawasan… Saat PKC [Partai Komunis China] menjadi lebih agresif dalam melanggar tatanan berbasis aturan global, sekarang saatnya bagi semua negara demokrasi… untuk berinvestasi dalam memperkuat hubungan dengan Taiwan.”

Dengan kata lain, langkah NED AS di Taiwan dimaksudkan untuk berkontribusi pada kampanye Washington yang lebih luas untuk mengepung dan menahan tidak hanya China tetapi juga memicu kerusuhan yang didanai AS yang menargetkan sekutu regional terdekat China.

Gerakan kemerdekaan di Taiwan telah mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari apa yang disebut “Aliansi Teh Susu” – sebuah front persatuan dari kelompok oposisi yang didanai AS dari seluruh wilayah yang mencoba untuk memaksa pemerintah mereka masing-masing ke dalam sikap konfrontatif terhadap Beijing. Baru-baru ini, termasuk oposisi di Hong Kong dan protes anti-pemerintah di Thailand.

Ketika AS jelas mengandalkan investasi besar dalam “soft power” serta campur tangan politik AS di seluruh wilayah, China JUSTRU malah berfokus pada hubungan ekonomi yang didukung oleh prinsip-prinsip non-campur tangan.

Maka tidaklah mengherankan bahwa kawasan Asia lebih memberikan respon positif terhadap strategi China yang lebih mengedepankan prinsip-prinsip non-campiur tangan dari strategi AS yang cenderung sebaliknya.

Masa Depan Taiwan Tidak Bisa Dihindari

AS dan juga media-media Barat turut mewarnai framing media global dengan terus mem-blow up narasi-narasi invasi China yang akan datang ke Taiwan. Narasi ini juga digunakan untuk membenarkan penjualan senjata AS kepada militer Taiwan termasuk kesepakatan senjata baru-baru ini senilai beberapa miliar dolar AS.

Hal ini sebagaimana dimuat dalam Business Insider dalam artikelnya berjudul, “Invasi China ke Taiwan tidak akan mudah, dan 400 rudal anti-kapal yang direncanakan AS untuk dijual ke Taiwan akan membuatnya semakin sulit.”

Kurang dari seminggu setelah resmi menjual senjata senilai $ 1,8 miliar ke Taiwan, Departemen Luar Negeri AS memberikan laporan kepada Kongres tentang kemungkinan Penjualan Militer Asing ke Taiwan sebesar $ 2,4 miliar yang mencakup ratusan rudal dan peluncur anti-kapal Harpoon.

Penjualan besar tersebut, jika disetujui oleh Kongres, akan memberi Taiwan 100 Harpoon Coastal Defense Systems (HCDS) dan 400 RGM-84L-4 Harpoon Block II Surface-Launched Missiles, senjata yang sangat mumpuni untuk segala cuaca yang dapat mencari dan mengambil kapal sejauh setengah jalan melintasi Selat Taiwan. Penjualan rudal tambahan tersebut nantinya akan disetujui.

Selain jaringan “soft power” AS di kawasan, Taiwan sekarang berfungsi sebagai pangkalannya, mengingat AS masih kekurangan sarana untuk menghadapi atau menahan pengaruh China – baik dalam hal Taiwan dan wilayah yang lebih luas.

Kebutuhan akan “invasi China” atas wilayah yang telah diakui sebagai bagian dari China oleh PBB dinilai tidak masuk akal, terutama pada level yang paling jelas secara ekonomi di mana China daratan sekarang berdiri sebagai mitra dagang dan investor terbesar Taiwan.

China Daratan telah menjadi kunci pertumbuhan ekonomi Taiwan selama beberapa tahun terakhir dan telah membantu meredakan ketegangan lintas Selat.

Karena hubungan ekonomi Taiwan dengan China daratan, upaya terbaru AS untuk memperkenalkan kembali perpecahan di antara keduanya telah merugikan ekonomi Taiwan. Pemerintah yang memenuhi keinginan Washington untuk membatasi investasi daratan dan menentang keputusan Beijing mengenai wilayah China telah memutus aliran masuk ekonomi Taiwan – dan bahkan Barat yang lebih luas – tidak dapat mengkompensasinya.

Peninjauan terhadap investasi dan perdagangan asing Taiwan selama dua dekade terakhir menunjukkan tren yang jelas dan tidak dapat dihindari terkait masa depan Taiwan. Yaitu adanya tren yang ditandai dengan menyusutnya peran Barat dalam bidang ekonomi Taiwan dan digantikan oleh peningkatan tren China daratan, yang secara nyata berdampak pada Taiwan secara geopolitik.

Dua puluh tahun yang lalu hanya 4% dari ekspor Taiwan menuju ke China daratan sementara 18% menuju ke Amerika Serikat. Saat ini, 34% ekspor Taiwan menuju ke China versus 10% ke Amerika Serikat. Impor Taiwan mencerminkan pergeseran kekuatan ekonomi yang serupa. Baik kebangkitan ekonomi China dan kedekatannya dengan Taiwan berarti bahwa tren ini akan terus berlanjut.

Upaya AS untuk membangun gerakan kemerdekaan Taiwan dimaksudkan untuk dengan sengaja mengganggu tren ini – dan hal itu dilakukan bukan dengan memberi Taiwan alternatif ekonomi tetapi malah memancing wilayah itu ke dalam pertikaian politik dan bahkan militer dengan China daratan dan sekutu regionalnya. Ini dilakukan secara khusus dengan mengorbankan hubungan ekonomi Taiwan dengan keduanya.

Sama seperti Australia dan lainnya yang ditarik ke dalam kebijakan luar negeri anti-China Washington – sikap seperti itu tidak berkelanjutan. Selama ini China dapat menghindari provokasi dan konflik dan terus menawarkan manfaat kemakmuran ekonomi dan perdamaian sebagai alternatif dari strategi ketegangan Washington. Sementara gaya hegemoni Indo-Pasifik Washington terus melemah dan berdampak pada kepentingan negara-negara pendukungnya di kawasan. Hal ini tentu akan menjadi pintu masuk bagi negara-negara lain yang tertarik pada arsitektur kawasan yang lebih konstruktif.

Mungkin dalam skala yang lebih luas, proses serupa dapat terjadi di Amerika Serikat sendiri – di mana lingkaran kekuasaan saat ini yang mengejar kebijakan luar negeri yang kontraproduktif telah digantikan oleh kebijakan yang memiliki visi yang lebih konstruktif tentang peran Amerika tidak hanya di Asia tetapi di seluruh dunia.

Sudarto Murtaufiq, peneliti senior Global Futute Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com