Tangan Israel di Suriah dan Mesir

Bagikan artikel ini

Penulis: Dina Y. Sulaeman, research associate Global Future Institute (GFI)

Pada hari Rabu, hanya beberapa jam setelah pembunuhan massal ratusan orang Suriah dengan senjata kimia,  Menteri Militer [karena tidak cocok diterjemahkan jadi ‘Menteri Pertahanan’, mereka tidak bertahan tapi menjajah]Israel, Moshe Yaalon, mengklaim bahwa dia tahu siapa pelaku pembunuhan massal itu: pemerintah Suriah.

Para pemimpin dunia lainnya, termasuk President AS, Barack Obama, tidak tergesa-gesa memberi penilaian. Mereka ‘hanya’ mengimbau PBB untuk menyelidiki. Banyak ahli, termasuk Frank Gardner dari BBC, mantan inspektur senjata PBB  Rolf Ekeus, dan ahli senjata kimia Swedia, Ake Sellstrom, menertawakan atau meragukan tuduhan bahwa Presiden Suriah, Assad, akan melancarkan serangan senjata kimia pada saat bersamaan dengan keberadaan para penyelidik PBB di Suriah. Sementara itu, Perdana Menteri Rusia, menyebut bahwa serangan senjata kimia itu sebagai ‘provokasi yang sudah direncanakan sebelumnya’

Tapi, Direncanakan Oleh Siapa?

Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu bertanya pula: bagaimana mungkin Israel langsung tahu siapa pelaku serangan senjata kimia itu?

Selama ini, para pemimpin Israel memang memiliki kemampuan yang ‘mengagumkan’ dalam urusan ‘meramal’. Kapan saja ada kejadian serangan teror besar yang mengubah sejarah, orang Israel langsung tahu, siapa pelakunya. Belum lagi asap mereda, mereka sudah berdiri dan mengatakan kepada dunia apa yang sedang terjadi dan menyediakan ‘naskah’ kepada dunia supaya bereaksi sebagaimana yang mereka inginkan.

Misalnya saja, dalam kasus terror di gedung WTC (peristiwa 9-11). Jurnalis Christopher Bollyn mengatakan, “Hanya dalam hitungan menit setelah pesawat menabrak gedung WTC pada 9/11, Ehud Barak (pendiri dan pemimpin satuan operasi militer rahasia Israel, the Sayeret Matkal) berada di London, di studio BBC, siap menyediakan penjelasan yang ‘masuk akal’ (dan politis) kepada dunia. Barak, yang sebenarnya merupakan arsitek 9/11, justru orang pertama yang menyebutkan ‘Perang Melawan Terorisme’ dan seruan intervensi AS di Afghanistan Timur Tengah.”

Dan seperti Ehud Barak beberapa menit setelah 9/11, Moshe Yaalon berdiri hanya beberapa jam setelah tragedi pembantaian dengan senjata kimia; dan menyampaikan narasi yang terlihat sudah disiapkan.

Fox News (Channel Televisi AS) Menyebarkan ‘Naskah’ Israel:

“Di Suriah, rezim telah menggunakan senjata kimia dan ini bukanlah pertama kalinya,” Menteri Militer Israel, Yaalon, mengatakan kepada koresponden kami di Israel. “Ini adalah perjuangan hidup-mati antara rezim Alawi yang minoritas melawan oposisi Muslim Sunni yang terdiri dari beberapa faksi berbeda, sebagian anggota Ikhwanul Muslimin, sebagian lagi anggota al-Qaeda. Kami tidak melihat perang ini akan berakhir, bahkan jatuhnya Al Assad tidak akan menyelesaikan konflik ini, konflik berdarah akan terjadi dalam waktu yang lama,” menteri Yaalon menambahkan.  “Kita bisa melihat ‘ledakan’ berikutnya, dengan Alawi yang mengontrol sebelah barat, wilayah pantai, dan koridor menuju Damaskus – dan warga Kurdi dan Sunni mengontrol timur dan utara.”

Ceramah Yaalon itu bukan analisis. Ini sebuah program aksi. Inilah yang diinginkan Israel untuk terjadi. Argumen dari pernyataan ini adalah sbb.

Pertama, Israeli menghendaki agar dunia mau saja menelan tuduhan bahwa pemerintah Suriah cukup gila untuk melancarkan serangan senjata kimia bertepatan dengan datangnya para penyelidik PBB. Mereka ingin dunia mempercayai bahwa pemerintah Assad, setelah semua keberhasilan besarnya akhir-akhir ini dalam menangani para pemberontak, berani menanggung resiko dan melakukan pembantaian senjata kimia. Tujuan Israel adalah agar dunia menyetujui intervensi militer Barat di Suriah.

Kedua, Israeli ingin dunia melihat konflik Suriah sebagai pertarungan tanpa akhir antara Sunni dan Alawi. Kata-kata Yaalon “tidak melihat akhir dari perang ini” bermakna Israel tidak ingin perang berakhir. Bahkan mereka akan melakukan apa saja agar perang terus berlangsung, termasuk dengan melancarkan serangan ‘false-flag’ (bendera palsu) seperti pembantaian dengan senjata kimia. Tujuan Israel pun sudah terlihat dari pernyataan Yaalon, yaitu penghancuran Suriah, “Kita bisa melihat ‘ledakan’ berikutnya, dengan Alawi yang mengontrol sebelah barat, wilayah pantai, dan koridor menuju Damaskus – dan warga Kurdi dan Sunni mengontrol timur dan utara.

Penghancuran Suriah akan menjadi titik kulminasi dari proyek Israel sejak beberapa dekade lalu, yaitu ‘Rencana Oded Yinon’ yang ingin mem-Balkanisasi Timur Tengah. Sejak tahun 1970-an, para ahli strategi Israel telah berencana untuk memecah negara-negara Timur Tengah menjadi negara-negara mungil berdasarkan etnis dan sekte (mazhab).

Rencana Oded Yinon kemudian pada tahun 1996 diadopsi menjadi Rencana ‘Clean Break’ (Pemecahan dengan rapi) Netanyahu. Untuk mencapai tujuan penghancuran negara-negara tetangga Israel, tim Netanyahu, yang dipimpin oleh Richard Perle, yang dijuluki “Pangeran Kegelapan” mendesain jebakan untuk AS agar melakukan pekerjaan kotor Israel. Pada September 2000, Perle, Wolfowitz, dan tokoh Zionist yang tergabung dalam Project for a New American Century (PNAC) menyerukan adanya ‘new Pearl Harbor.’ Setahun kemudian, pada 11 September 2001 (9/11), ‘Pearl Harbor baru’ menjadi kenyataan. Tujuan mereka adalah melancarkan perang tanpa akhir antara AS melawan musuh-musuh Israel.

Dan sejak itulah, kita melihat Perang Melawan Terorisme yang tak kunjung usai. Israel dan kaki-tangannya, Amerika, telah menghancurkan Irak, Libya, dan Sudan. Sekarang, mereka sedang menargetkan Suriah dan Mesir, dua negara yang  wilayahnya ingin dicuri Israel, demi mewujudkan ‘Israel Raya’ yang membentang dari Nil hingga Sungai Furat (Irak).

Tak lama sebelum operasi ‘bendera palsu’ (false-flag) berupa serangan senjata kimia di Suriah, Israeli telah mendalangi kudeta fasis di Mesir. Jenderal al-Sisi, seorang tentara yang sepanjang karirnya telah menjadi pion Israel, selama berhari-hari sebelum dan selama kudeta, menelpon ‘majikan’ Israelnya.

Sebagaimana di Suriah, tujuan Israel di Mesir adalah “tidak melihat akhir dari perang.”  Inilah mengapa Israel meyakinkan al-Sisi untuk membebaskan diktator-kriminal, Hosni Mubarak. Langkah ini diperkirakan akan membangkitkan kemarahan rakyat Mesir dan dengan demikian, pembantaian yang dilakukan rezim al-Sisi pun akan terus berlangsung.

Rakyat Suriah dan Mesir harus berjuang agar tidak jatuh ke dalam jebakan Israel ini.

Dan dunia harus mengenali bahwa semua ‘serangan teror’ terbesar dan paling spektakuler sepanjang sejarah yang dituduhkan kepada Arab dan Muslim (musuh Israel) – mulai dari the Lavon Affair, hingga the USS Liberty, hingga the Achille Lauro dan pembajakan Entebbe, hingga pengeboman di London dan Buenos Aires, hingga 9/11 dan operasi-operasi lanjutan di Bali, Madrid, London, Mumbai dan tempat-tempat lainnya- adalah operasi ‘bendera palsu’ yang disponsori Israel. []
Catatan Dina:
– Operasi ‘bendera palsu’ Israel artinya, dilakukan oleh sekelompok orang tertentu, namun sebenarnya dalangnya adalah Israel. Karena itu, kita lihat misalnya, aksi bom Bali, memang dilakukan oleh Amrozi dan timnya, tapi dalam hal ini, mereka adalah pion yang tanpa sadar dimainkan dalam operasi bendera palsu ini. Amrozi sendiri dalam pengakuannya, heran, mengapa bom yang diledakkannya sedemikian besar ledakannya. Dia merasa berjihad (dan entah siapa yang mendoktrinnya, bahwa meledakkan bom adalah jihad), namun dia tidak sadar, ada pihak lain yang ‘menyetirnya’. Pihak lain itulah yang menaruh bom mikronuklir (C4) yang hanya dimiliki oleh Israel, Amerika, Inggris, atau Australia.

– Di Mesir, Al Sisi memang pion Zionis (seperti ditulis Dr. Barret), tapi tidak membuat IM sebagai pihak yang protagonis (benar). IM justru sama seperti Amrozi, merasa sedang berjihad, tetapi sebenarnya sedang menari bersama genderang lawan. IM Suriah mengira mereka sedang habis-habisan berjihad, padahal sesungguhnya sedang melaksanakan rencana Israel untuk memecah belah Suriah. IM Mesir pun bersekutu dengan IM Suriah dalam mengobarkan perang saudara di Suriah. Kini, IM Mesir sedang menjalani ‘takdir’ sebagai korban, mereka dibunuh atau ditangkap tentara. Seharusnya, situasi ini membuat para simpatisan IM (khususnya di Indonesia) sadar, siapa sebenarnya yang menjadi musuh mereka.

– Mungkin ada yang menilai tulisan Dr Barret adalah teori konspirasi belaka (untuk mendiskreditkan analisis anti-Israel, dalam dunia akademis memang disebarluaskan paham bahwa segala sesuatu yang menyebutkan adanya Israel sebagai ‘dalang’ adalah teori konspirasi yang tidak bermutu).  Namun bahwa lobby Israel telah sedemikian mencekam AS dan berhasil membuat AS melakukan langkah-langkah yang justru berlawanan dengan kepentingan nasionalnya sendiri sudah dianalisis dalam paper karya dua pakar Hubungan Internasional dari Chicago University, Prof Mearsheimer dan Walt. Bisa download di sini.
(Diterjemahkan dan diberi ulasan oleh Dina Y. Sulaeman, research associate Global Future Institute, dari artikel Syria chemical mayhem: Another Israeli false-flag? karya Dr. Kevin Barret)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com