Telah Teridentifikasi sebagai “Ianfu” di Maluku

Bagikan artikel ini

Eka Hindra, Peneliti Independen

Eka Hindrati, penulis, peneliti independen sistem perbudakan seksual militer Jepang, berdasarkan hasil penelitiannya pada tanggal 25 Juli-24 Agustus 2012 1942-1945, di Tanimbar dan sekitarnya (Pulau Selaru) serta Pulau Babar (Maluku Barat Daya) telah menemukan dua orang mama yang berhasil teridentifikasian sebagai “ianfu” yang bernama Rofina Batfian usia 84 tahun dari Desa Sangliat Krawain dan Aloysia Ratuain 84 tahun dari Desa Wowonda. Selain kedua mama tersebut, juga direkomendasikan dua mama lain yang sudah terindentifikasikan korban kekerasan seksual Badak Hitam (tentara Indonesia yang berasal dari Sumatera dan Jawa yang pernah ditugaskan di Tanimbar tahun 1948). Mereka bernama Mama Rosa Delima Fenanlampir 78 tahun dari Desa Kabiarat (dalam keadaan sakit stroke dan tidak bisa berjalan lagi) dan Martha Laratmase 74 tahun dari dari Desa Lauran mengalami kekerasan seksual (perkosaan) setelah mendapat hipnotis dari mereka.

Berikut pemaparan lengkap dari Eka Hindra.

Kisah Rofina Batfian

Sekitar tahun 1944 ketika Rofina berusia 15 tahun, ia hamil oleh pacarnya yang satu desa dengannya. Pada saat itu Kepala Desa Sangliat ingin memisahkan mereka dengan maksud ingin menjodohkan pacarnya Rofina untuk keponakannya dari desa sebelah. Alasan ini dipakai kepala desa untuk mengirim Rofina ke rumah panjang (Ianjo—bordil militer Jepang) yang berada di Saumlaki, tepatnya di Desa Olilit. Tindakan ini dilakukan kepala desa untuk menyelamatkan keponakannya dari rumah panjang. Akhirnya dengan beberapa perempuan yang sebaya dikawal serdadu Jepang menuju ke Saumlaki dengan berjalan kaki sehari semalam. Tiba di rumah panjang, Rofina diperiksa kesehatannya, kemudian diketahui kalau dirinya sudah hamil sekitar 3 bulan. Meski demikian Rofina tetap ditahan 1 malam di rumah panjang. Disana ia diperkosa oleh serdadu Jepang yang bernama Yamanishi. Keesokan harinya ia diperbolehkan pulang ke desanya. Tidak lama setelah tiba di desanya bayi yang dikandung oleh Rofina mengalami keguguran.

 

Kisah Aloysia Ratuain

Sekitar tahun 1944, militer Jepang memasuki Desa Wowonda.Ketika Jepang sudah perintahkan kepala desa untuk mengumpulkan laki-laki dan perempuan yang berusia belasan tahun untuk berkumpul bernyanyi dan menyanyi di tangsi militer Jepang yang letaknya tidak jauh dari desa Wowonda. Aloysia dan beberapa kawan perempuan yang datang kesana secara diam-diam memperoleh informasi rahasia dari sepupunya yang bekerja untuk menjahit pakaian tentara Jepang di sana untuk memintanya cepat pergi setelah acara usai karena bahaya bagi mereka. Ia dan teman-temannya mengikuti saran sepupu itu. Begitu acara usai bersama keempat kawan perempuannya, Aloysia berlari cepat meninggalkan tangsi Jepang.    Aloysia yang berumur 15 tahun diperintahkan oleh kepala desanya untuk kumpul. Kejadian ini membuat pihak Jepang kehilangan kesempatan untuk memperoleh perempuan muda dari Desa Wowonda untuk dipaksa tinggal di rumah panjang sebagai “Ianfu”.

Selang beberapa saat kemudian Jepang membuat acara serupa di Desa Wowonda. Terpaksa kepala desa mengumpulkan kembali muda-mudi dilapangan desa untuk bernyanyi dan menari bersama disaksikan tiga orang personil militer Jepang. Satu hari setelah acara tersebut beberapa perempuan yang terpilih dipanggil melalui surat yang ditujukan untuk kepala desa agar nama-nama perempuan yang tercantum di daftar tersebut datang ke rumah panjang yang lokasinya tidak jauh dari Desa Wowonda. Aloysia termasuk perempuan yang ada didaftar tersebut. Ia diam-diam menghubungi keempat kawan yang namanya tercantum dalam daftar tersebut untuk diam-diam pergi dari Desa Wowonda untuk menyelamatkan diri. Atas persetujuan orang tua masing-masing mereka bersembunyi di salama sebuah goa buatan alam tidak jauh dari Desa Wowonda. Ini berkat pertolongan salah satu keluarga temannya yang memiliki ladang di goa tersebut.Selama tiga bulan mereka bersembunyi di dalam goa dari tangkapan militer Jepang. Disana mereka hidup menderita dengan makan dan tidur seadaanya di dalam goa. Bahkan selama itu juga mereka tidak pernag berganti pakaian. Tahun 1945 Jepang kalah mereka baru kembali ke Desa Wowonda dalam keadaan yang sangat mengenaskan karena harus hidup dalam goa yang gelap gulita.

Kisah Martha Laratmase

Pada tahun 1948 datang pasukan TNI gabungan yang bernama badak hiitam. Mereka berasal dari Sumatera dan Jawa memasuki desa Lauran di Tanimbar Selatan. Di sana mereka membuat kamp di pinggir pantai yang lokasinya berada di depan desa Lauran. Beberapa hari kemudian, komandan badak hitam memerintahkan kepala desa untuk mengumpulkan perempuan-perempuan muda yang berusia sekitar 15-18 tahun untuk bernyanyi di alun-alun. Salah satu dari mereka adalah Martha Laratmase. Sementera mereka bernyanyi, diam-diam salah satu personil dari badak hitam melakukan pengamatan fisik terhadap mereka yang berwajah cantik. Setelah acara tersebut selesai mereka pulang ke rumah masing-masing.

Beberapa hari kemudian Martha dan keempat temannya pergi ke Saumlaki untuk menjahit sebagai persiapan natal. Tiba di tempat tukang jahit mereka didatangi sekelompok personil badak hitam yang sudah sejak awal mengikuti mereka. Disini terjadi serangan hipnotis oleh personil badak hitam yang mengakibatkan mereka tidak sadarkan diri.  Saat Martha sadar, dirinya sudah berada di dalam kamar personil badak hitam yang bernama Amir. Martha tidak mengetahui bagaimana ia bisa sampai disana dan juga apa yang terjadi dengan dirinya yang berada dalam satu tempat tidur dengan Amir.

Kemudian Martha meminta Amir untuk mengantarkan dirinya pulang ke rumah orang tuanya di Lauran. Tiba di sana keluarganya malah marah kepada Martha dengan memukulinya sampai ia tidak sadarkan diri selama 1,5 jam. Tindakan kekerasan ini dianggap keluarga sebagai hukuman terhadap Martha yang dianggap melakukan tindakan zina yang sangat memalukan keluarga.

Sesudah peristiwa tersebut Martha mendapat penghinaan dari orang-orang di desanya sebagai perempuan ang sudah tidak perawan lagi. Sehingga menyulitkan dirinya untuk bergaul secara normal seperti sediakala. Untuk menghindari malu keluarga serta kejaran personil badak hitam ia dilarikan keluarganya ke desa Alusi sampai badak hitam meninggalkan Tanimbar Selatan tahun 1949.

Saumlaki, 18 September 2012

Eka Hindrati (www.ianfuindonesia.webs.com)

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com