Kronologis Kasus Pelecehan Seksual, Pelecehan Profesi dan Tindak Kekerasan di Maluku Tenggara Barat (MTB) – Bagian 1

Bagikan artikel ini

Eka Hindra, Peneliti Independen

Saya adalah peneliti independen khusus soal “ianfu”, perempuan-perempuan yang mengalami kekerasan seksual militer Jepang di Indonesia 1942-1945. Saya mulai terlibat soal ini sejak tahun 1999-sekarang dengan bekerja sama dengan Dr. Koichi Kimura (Indonesianis dan ahli teologi dari Universitas Seinan Gakuin dan Universitas Fukuoka di Fukuoka, Jepang) dan seniman dan penulis Jo Cowtree dari New York City, Amerika Serikat.

Berbagai wilayah di Indonesia yang sudah diteliti antara lain Jawa Barat (Bogor, Sukabumi, Bandung, Cimahi, Sumedang),Jawa Tengah (Yogyakarta, Salatiga, Banyubiru, Ambarawa, Kopeng, Semarang, Solo, Karang Pandan, Magelang, Tamanggung, Purwodadi), Jawa Timur (Surabaya, Blitar, Malang), Bali, Kalimantan Timur (Balikpapan, Samarinda, Sanga-sanga, Tenggarong), Kalimantan Barat (Pontianak), Kalimantan Selatan (Banjarmasin), Sulawesi Selatan (Makasar, Enrekang, Tana Toraja), Sumatera Utara (Pematang Siantar), Nusa Tenggara Barat (Bima), Maluku (pulau Buru) dan negara-negara di kawasan Asia Pasifik antara lain Filipina (Manila), Cina (Shanghai), Korea Selatan (Seoul, Kwangju), Jepang (Tokyo, Nagano, Kumamoto, Nagasaki, Fukuoka, Osaka, Nagoya, Kagoshima) Dan Amerika Serikat (New York City, New Haven, Ithaca, Massacussets)

Selain melakukan penelitian untuk mengangkat sejarah “ianfu” Indonesia ditingkat nasional dan internasional, juga aktif dalam melakukan advokasi diberbagai forum internasional seperti Asian Solidarity (Indonesia, Jepang, Australia, New Zealand, Korea Selatan, Cina, Timor Leste, Kanada, Malaysia, Filipina) dan ISCR-Internasional (Indonesia, Jepang, Hongkong, Cina, Korea Utara, Korea Selatan, Belanda, Amerika Serikat) untuk memecahkan soal “ianfu” secara politik melalui RUU IANFU yang sudah berada di parlemen Jepang. RUU IANFU tersebut sudah diperjuangkan oleh partai oposisi (partai Sosial Demokrat, partai Sosialis, partai Komunis) di Jepang sejak tahun 2001. Melalui undang-undang ini para korban “ianfu” diseluruh Asia Pasifik dapat dipulihkan hak asasinya serta memperoleh uang kompensasi sebagai veteran perang.

Sejak tahun 2009 saya merupakan patner independen Kementrian Sosial RI untuk membantu memberikan informasi keberadaan “ianfu” diseluruh Indonesia agar diprioritaskan masuk ke program ASLUT (Asistensi Sosial Lanjut Usia Terlantar) untuk mendapatkan santuan uang sebesar 300 rb/bulan seumur hidupnya. Hal ini bermula ketika bulan Januari 2009 saya diminta sebagai peneliti terlibat bersama seorang jurnalis senior Indonesia Peter Rohi dan Tim Reaksi Cepat (TRC) yang diketuai Bapak Nahar dari Kementrian Sosial RI, Dinas Sosial provisi Maluku dan Dinas Sosial Kabupaten Buru Utara melakukan pelacakan “ianfu” yang masih hidup di pulau Buru. Dari ekspedisi ini tim berhasil menemukan empat “ianfu” yang masih hidup yang bernama Nya Sengker, Muka Lomi, Ma Wa dan Nya Senti (2012 sudah meninggal semua).

Saya sudah menerbitkan dua buah buku yang berjudul Momoye; Mereka Memanggilku bersama Dr. Koichi Kimura (Erlangga, 2007), Breaking Silent in Japan Politic dalam Japanese Militarism its War Crime in Pacific Region(Gobal Future Institute, 2011) dan akan segera terbit Nona Jawa; Dibalik Rekrutmen Perempuan-perempuan Indonesia oleh militer Jepang 1942-1945 bersama Jo Cowtree. Serta menulis artikel-artikel di majalah dengan tema tulisan seputar penjajahan Jepang di Indonesia 1942-1945.

Saat ini saya sedang melakukan penuntasan penelitian “Mataoli Project” mengenai “ianfu” di seluruh Indonesia sejak 2009 (mulai Jawa-Maluku), untuk itulah saya akhirnya memutuskan mengunjungi ke Maluku Tenggara Barat (MTB) dan Maluku Barat Daya (MBD) setelah mendapatkan informasi adanya “ianfu” di Tanimbar Selatan yang bernama Rosa dan di Babar Timur yang bernama Dominggas.

Sebelum saya menginjakan kaki di Maluku Tenggara Barat untuk melakukan pelacakan terhadap korban “ianfu”, saya melakukan pencarian informasi mengenai wilayah Maluku Tenggara Barat terutama di Tanimbar Selatan dan Maluku Barat Daya di Babar Timur dimana saya akan mulai mencari beradaan para “ianfu” tersebut. Kemudian melalui email di facebook saya mulai mencari kontak orang-orang yang berasal dari Maluku Tenggara Barat. Lalu saya mendapatkan satu nama yaitu sdr.Patrick Malindir yang pernah tinggal di Saumlaki pada tanggal 16 Desember 2011. Empat bulan kemudian saya memperoleh balasan dari sdr.Patrick Malindi yang bersedia membantu saya memberikan info yang saya butuhkan. Melalui sdr.Patrick Malindir saya mendapat informasi setibanya di Saumlaki untuk bertemu dengan bapak Etus Ranolat (tinggal di desa Sifnana) untuk memperoleh informasi yang lebih jelas lagi mengenai situasi Tanimbar Selatan dan jalur transportasi ke pulau Babar, Maluku Barat Daya.

Pada bulan maret saya memperoleh nomor kontak telepon genggam salah satu staf Dinas Sosial Maluku Tenggara Barat yang bernama bapak Gerardus Fasak dari bapak Nahar, Direktur Kesejahteraan Sosial Anak dari Kementrian Sosial RI. Menurut Bapak Nahar, bapak Gerardus Fasak merupakan orang Dinas Sosial di Maluku Tenggara Barat yang bekerja untuk program ASLUT. Sejak saat itu saya intensif melakukan kontak baik hubungan komunikasi telepon maupun pesan pendek (sms) dengan bapak Gerardus Fasak untuk melacak keberadaan kedua mama tersebut.

Dalam perkembangannya saya memperoleh informasi dari bapak Gerardus Fasak yang mulai membantu saya melacak keberadaan mama Rosa ternyata masih hidup, tinggal di desa Kabiarat. Sedangkan mama Dominggas tidak diketahui kepastian keberadaannya karena lokasi desa Emplawas yang sangat jauh dari wilayah Maluku Tenggata Barat. Melalu informasi ini saya mencari informasi ke Kementrian Sosal RI melalui bapak Herusutopo yang bekerja di bagian Direktorat Pelayanan Lanjut Usia merekomendasikan untuk menghubungi bapak Wawan Darmawan untuk memperoleh data berupa daftar lansia penerima ASLUT seluruh wilayah Maluku (data ASLUT Maluku terlampir). Sehingga melalui data ini saya bisa mengecek kelengkapan informasi nama mama Rosa ternyata bernama Rosalina Fenanlampir dari desa Kabiarat.

Untuk memastikan bahwa memang informasi yang saya dapat sesuai dengan orang yang saya cari, sekitar bulan Juni saya mengirim buku tulisan saya yang berjudul Momoye; Mereka Memanggilku dan dua foto mama Rosa dan mama Dominggas ukuran 10R kepada bapak Gerardus Fasak dengan alamat kantor Sosnaketrans Kabupaten Maluku Tenggara Barat.

Menjelang keberangkatan saya pada bulan Juli ke Saumlaki, saya memperoleh informasi yang menggembirakan dari sdr.Patrick Malindi bahwa bapak Etus Ranolat ternyata mengenal baik anak laki-laki dari mama Rosalina Fenanlampir. Saya juga dipersilahkan untuk dapat tinggal di kediaman mama Rosalina Fenanlampir untuk memudahkan proses wawancara. Namun demikian ada kabar buruk bahwa mama Rosalina Fenanlampir baru saja terkena serangan stroke. Saya sempat merasa khawatir apakah dengan kondisi demikian saya bisa melakukan wawancara dengannya. Tetapi saya tetap berfikiran positif dan tetap bertekad untuk datang ke Maluku Tenggara Barat. Tanggal 21 Juli saya mengirim pesan pendek (sms) kepada bapak Gerardus Fasak bahwa tanggal 25 Juli pk. 09.00 wit saya akan tiba di Saumlaki.

Tanggal 25 Juli dengan menggunakan pesawat Trigana TGN 425 pk 09.50 wit saya tiba di bandara Saumlaki dijemput oleh bapak Mikael Fenanlampir (anak ketiga dari mama Rosalina Fenanlampir) dengan menggunakan mobil Avanza berwarna biru milik bapak Cornelius Lamere. Bapak Mikael Fenanlampir diutus oleh bapak Etus Ranolat khusus untuk menjemput dan mendampingi saya selama penelitian di Maluku Tenggara  Barat. Dalam perjalanan keluar dari bandara Saumlaki pk 10.00 wit saya menelpon bapak Geradus Fasak untuk meminta waktu bertemu, namun ternyata bapak Gerardus Fasak akan pergi keluar kantor untuk melakukan koordinasi dengan kepala-kepala desa dengan salah satu tujuan masih berupaya mencari mama-mama korban “ianfu” di desa-desa tersebut. Setelah itu saya dan bapak Mikael Fenanlampir mendatangi warung internet (warnet) di daerah BTN, Saumlaki untuk mencetak dokumen surat kesepakatan kerja sebagai ikatan kerja profesional selama penelitian di Maluku tenggara Barat. Surat tersebut ditandatangi pada hari yang sama sebangai bukti dimulainya ikatan kerja profesional.

Kemudian saya menuju rumah ibu Theresia Maria Fabumese di belakang PLN, Saumlaki (kakak pertama bapak Mikael Fenanlampir) untuk menemui mama Rosalina Fenanlampir. Setelah bertemu, alangkah terkejutnya saya bahwa mama Rosa yang saya maksud bukan mama Rosalina Fenanlampir yang sudah berada di depan saya.

Setelah berbicara dengan bapak Mikael Fenanlampir maka diputuskan bahwa dirinya tetap akan berkomitmen untuk tetap menjadi pemandu penelitian saya meskipun ternyata bukan mamanya yang saya cari. Sebelum mencari informasi di tempat lain saya menyempatkan diri untuk datang ke rumah bapak Etus Ranolat, disana saya hanya bertamu dengan ibu Paulina Ranolat karena bapak Etus Ranolat tenyata sedang berada di Ambon untuk urusan kedinasan. Saya hanya memperkenalkan diri dan menyerahkan buku yang saya tulis yang berjudul Momoye; Mereka Memanggilku.

Kemudian bapak Mikael Fenanlampir mengusulkan untuk mencari informasi keberadaan mama Rosa di desa Lauran. Pk 12.00 wit saya berjumpa dengan mama Martha Laratmese dan melakukan wawancara untuk mencari informasi mama-mama korban “ianfu”. Ternyata menurut keterangan mama Martha, mereka sudah meninggal semuanya. Lalu pk 13.00 wit saya dan bapak Mikael melanjutkan perjalanan ke desa Kabiarat untuk mengecek kepada orang-orang tua disana. saat berada di depan lourdes di desa Kabiarat saya malah bertemu dengan bapak Gerardus Fasak, lalu saya dan bapak Mikael Fenanlampir berbicara mengenai mama Rosa yang belum ditemukan. Dalam pembicaraan itu bapak Gerardus Fasak menganjurkan saya supaya pergi ke desa Tumbur.

Pukul 14.00 WIT saya dan bapak Mikeal Fenanlampir melanjutkan perjalanan ke desa Tumbur. Disana mengunjungi Kepala Desa Tumbur bapak Primus Luturyali, lalu bersama-sama mencari informasi ke rumah-rumah penduduk yang masih memiliki anggota keluarga yang berusia lebih dari 80 tahun. Di satu rumah  penduduk ada informasi mama Rosa yang dicari adalah mamanya, yang saat itu tidak berada di rumah, melainkan tinggal di rumah anak yang lain yang bernama Falen Fenanlampir di depan SPBU milik bapak Andre Taborat di Saumlaki. Langsung saya mengecek ke sana, ternyata setelah berjumpa dengan mama tersebut, ia bukan mama Rosa yang saya cari.

Rencana semula saya akan menginap di rumah bapak Mikael Fenanlampir di desa Kabiarat untuk memudahkan proses wawancara dengan mamanya. Namun karena ternyata mamanya bukan saksi sejarah yang saya cari dan berada di Saumlaki. Maka atas kesepakatan saya dan bapak Mikael Fenanlampir  diputuskan saya menerima tawaran bapak Etus Ranolat untuk menginap di rumah keluarganya di desa Sifnana.

Kemudian bapak Mikael Fenanlampir mengusulkan untuk kami pergi ke desa Olilit Baru untuk menemui Kepala Desa bapak Frans Salembun yang dikenal mengetahui sejarah penjajahan Jepang di Tanimbar. Keberadaan mama Rosa tetap belum ditemukan, keterangan yang didapat hanya lokasi ex rumah panjang dan goa-goa Jepang yang berada di kawasan Olilit. Dari sana, saya meneruskan perjalanan ke desa Olilit Lama untuk bertemu dengan Kepala Soa dan seorang tete yang berusia 91 tahun. Namun informasi mengenai keberadaan mama Rosa masih belum ada titik terang.

Tanggal 26 juli, pk 10.30 wit saya mengunjungi desa Wowonda untuk bertemu dengan Simon Fenanlampir untuk mencari informasi mengenai mama Rofina dan mama lain yang telah berusia diatas 80 tahun. Sekitar pk 13.30 wit tidak sengaja bapak Mikeal Fenanlampir menemukan mama Aloysia Ratuain yang ternyata salah satu mama yang lolos dari rumah panjang karena bersembunyi selama 3 bulan di dalam goa bersama empat orang temannya sampai Jepang dikalahkan sekutu. Melalui pembicaraan dengan mama Aloysia diketahui bahwa mama Rosa yang saya cari itu adalah bekas teman Sekolah Rakyat (SR) di desa Ilngei yang berasal dari desa Kabiarat, namun kini telah pindah di desa Bomaki.

Lalu pk 15.00 wit  perjalanan dilanjutkan ke desa Bomaki, oleh karena bapak Mikael Fenanlampir memiliki banyak kenalan di sini, kami sempat mengecek lima rumah yang memiliki anggota keluarga nenek yang diduga berusia 80 tahun ke atas. Namun demikian belum ada titik terang soal keberadaan mama Rosa. Sampai akhirnya saya bertemu dengan bapak Aloi Laiyan yang merekomendasikan untuk bertemu dengan tete Willem Timpelabuan yang pernah menjadi jongos tentara Jepang di Wayakit dan Weisor. Secara kebetulan salah satu cucu menanti tete Willem pernah melihat mama Rosa yang dicari berada di desa Sangliat Krawain. Pk 18.00 wit saya dan bapak Mikael menuju Sangliat Krawain untuk segera memastikan keberadaan mama Rosa. Tiba disana  ternyata memang berjumpa dengan mama Rosa yang saya cari, ternyata bernama Rofina Batfian yang merupakan mertua dari sekretaris desa Sangliat Krawain bapak Norbentus Unawekla.

Tanggal 27 Juli, pk 11.00 wit wawancara dengan mama Rofina Batfian di desa Sangliat Krawain.

Tanggal 28 Juli, pk 09.30 wit  mendatangi bapak Frans Salembun untuk wawancara ternyata dalam keadaan sakit.  Lalu pk 10.00 wit mendatangi desa Olilit Lama di pertuanan Oryoin untuk melihat ex terowongan dan steleng militer Jepang.

Tanggal 29 Juli, pk 11.00 wit  ke desa Bomaki wawancara dengan tete Willem Timpelabuan.

Tanggal 30 Juli, pk 10.00 wit  ke desa Olilit Baru, wawancara dengan Bapak Frans Salembun.

Tanggal 02-08 Agustus, pk 21.00 wit saya berangkat sendiri naik kapal Pelni Pangrango menuju Tepa, pulau Babar, Kabupaten Maluku Barat Daya.

Saya tiba di pelabuhan Saumlaki setelah perjalanan dari Tepa, Maluku Barat Daya pada pk 01.00 wit dengan menggunakan kapal Pelni Pengrango. Saat itu saya dijemput oleh bapak Mikael Fenanlampir. Sekitar pk 01.30 wit kami makan malam disalah satu warung makan di pelabuhan. Selama 30 menit kami berada disana. Pada kesempatan itu bapak Mikael Fenanlampir menyampaikan kabar dari bapak Etus Ranolat yang menyatakan bahwa saya tidak bisa lagi menginap di rumahnya di desa Sifnana, mengingat kondisi ibu Paulina Ranolat sakit dan ibu Yenny Engelberta Ranolat (anak pertama bapak Etus Ranolat) hamil tua sekitar 9 bulan, sehingga pihak keluarga bapak Etus Ranolat khawatir tidak dapat melayani saya sebagai tamu dengan baik. Sebelumnya saya menginap di rumah keluarga bapak Etus Ranolat tanggal 25 Juli-2 Agustus. Dengan demikian saya disarankan oleh bapak Etus Ranolat untuk menginap di penginapana sepulang dari perjalanan ke Tepa. Pada waktu itu saya tidak keberatan dengan keputusan yang mendadak ini. Saya sebagai peneliti, sudah terbiasa dalam kondisi lapangan yang tidak terduga. Sehingga saya menyatakan tidak keberatan kepada bapak Mikael Fenanlampir untuk menginap di hotel. Namun ternyata bapak Mikael Fenanlampir merasa tidak tega kepada saya, sebagai perempuan ditempat yang asing untuk meninggalkan saya di hotel pada jam yang larut tersebut.

Dengan sangat sopan, bapak Mikael Fenanlampir menawarkan kepada saya untuk sementara ini menginap di rumahnya di desa Kabiarat. Mendengar tawaran tersebut saya tidak langsung menyetujui, melainkan memastikan dulu jangan sampai kebaikan hati bapak Mikael Fenanlampir akan membawa kesulitan karena lokasi rumah bapak Mikael Fenanlampir di desa. Setelah bapak Mikael Fenanlampir menyatakan bahwa tidak ada persoal apa-apa, maka saya setuju untuk sementara tinggal di desa Kabiarat tanggal 8-10 Agustus sebelum berangkat ke pulau Selaru.

Tanggal 10 Agustus, pk 13.00 wit  saya dan bapak Mikael Fenanlampir naik kapal kayu menuju pulau Selaru, di desa Lingat, menginap di rumah sekretaris desa bapak Nikodemus Rangkoratat. Saya mengunjungi ex steleng-steleng Jepang dan menghadiri 100 tahun peringatan injil masuk desa Lingat.

Tanggal 16 agustus, pk 08.00 wit, saya dan bapak Mikael Fenanlampir kembali ke Saumlaki, saya memperoleh kesaksian dari beberapa orang bahwa sdri.Bernadetha Fenyapwain  melakukan pengecekan keberadaan saya dan bapak Mikael Fenanlampir. Mereka antara lain :

Tanggal 10 Agustus, pk 19.00 wit sdri.Bernadetha Fenyapwain mendatangi rumah bapak Etus Ranolat, tempat saya menginap di desa Sifnana. Melalui kesaksian ibu Paulina Ranolat (istri bapak Etus Ranolat) yang bertemu sdri.Bernadetha Fenyapwain bertanya keberadaan saya dan bapak Mikael Fenanlampir.Sdri.Bernadetha Fanyapwain menyatakan kepada ibu Paulina Ranolat bahwa, ia berboncengan motor dengan kawannya yang bernama Min Kundre  melihat saya dan bapak Mikael Fenanlampir pk 11.30 wit. Ia bermaksud mencegat saya karena berboncengan motor bapak Mikael Fenanlampir dengan “gaya duduk laki-laki” (pada waktu itu saya memakai atasan jaket berwarna hijau dan celana jeans dengan membawa ransel kecil dan tas kamera), kami bermaksud mengadakan perjalanan ke pulau Selaru (desa Lingat).

a. Tanggal 12 Agustus, sdri.Bernadetha Fenyapwain mendatangi rumah ibu Yohana Jempormase di Saumlaki (kakak kedua bapak  Mikael Fenanlampir) untuk mengecek keberadaann saya dan bapak Mikael Fenanlampir.

b. Tanggal 13 Agustus, sdri.Bernadetha Fenyapwain menghubungi telepon genggam ibu Theresia Maria Fabumase (kakak nomor satu bapak Mikael Fenanlampir) yang tinggal di Adaut. Saat itu Ryan Fabumase cucu ibu Theresia Maria Fabumase yang menjawab telepon yang menyatakan bahwa bapak Mikael Fenanlampir tidak berada di Adaut.

Kembali dari pulau Selaru, bapak Mikael Fenanlampir masih menawari saya untuk menginap di desa Kabiarat tanggal 17-19 Agustus, karena masih akan mengadakan perjalanan ke desa Sangliat Krawain.

Tanggal 18 Agustus, mengunjungi goa-goa Jepang di Mamuat Dalam, desa Kabiarat.

Saumlaki, 18 September 2012

Eka Hindrati

)* www.ianfuindonesia.webs.com

)* Associate Global Future Institute (GFI)

(Bersambung Ke Bagian 2)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com