LEBENSRAUM, ini bahasa Jerman, yang berarti habitat. Atau, secara harfiah berarti ruang hidup atau living space. Penyebaran kapitalisme global oleh Amerika Serikat, misalnya, disebut Lebensraum Amerika—dikritik banyak pihak karena dianggap sebagai bentuk imperialisme ekonomi dan budaya.
Ada empat dimensi dalam konsepsi geopolitik, yakni RUANG, FRONTIER, POLITIK KEKUATAN dan KEAMANAN NEGARA DAN BANGSA. Isu-isu terkait empat konsepsi geopolitik inilah yang belakangan kian seksi di mata publik.
Bagi negara imperialis, RUANG sebagai inti geopolitik akan selalu diupayakan terjadi perluasan. Selalu ada upaya-upaya untuk memperluas wilayah pengaruh tiap bangsa, hingga melampaui teritori kedaulatan negaranya. Negara sebagai suatu kesatuan antara tanah dan rakyatnya, sebagaimana diterjemahkan oleh Frederich Ratsel, merupakan organisasi yang terus tumbuh dan diupayakan mengalami perubahan FRONTIER secara dinamis.
Berangkat dari ajaran Ratzel itu, muncul hipotesis, “Berlakunya otonomi daerah di Indonesia pada era reformasi ini, secara riil jelas mengurangi ‘wilayah pengaruh’ pusat terhadap daerah. Bahkan, ada yang menyatakan bahwa otda itu sejatinya penghalusan konsep federal yang dulu pernah diterapkan di Indonesia namun kemudian ditolak dan dibatalkan melalui Dekrit Presiden Kembali ke UUD 1945.” Di sinilah aspek POLITIK KEKUATAN berbicara.
Pertanyaannya, “Apakah terpecahnya Indonesia diawali dari model otda, yakni negara kesatuan yang menerapkan otonomi daerah? Bukankah penerapan TEORI LEBENSRAUM tanpa kekuatan militer (KEAMANAN) sebenarnya adalah smart power?”
Kuncinya adalah faktor keyakinan (confidence). “Percaya diri.” Pertanyaannya sederhana, “Bagaimana negara atau individu akan maju dan meraih kejayaannya jika dalam keseharian tak punya keyakinan dan rasa percaya diri?” Entah dalam hal apa saja. Dalam praktik empiris, di mata global — kita hampir tidak memiliki keyakinan terutama bila ditinjau dari elemen dinamis Ketahanan Nasional yang meliputi aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan (ipoleksosbudhankam) atau sering disebut pancagatra. Dalam hal ideologi misalnya, kita terombang-ambing gelombang globalisasi sehingga ‘pasrah’ (atau pura-pura memasrahkan diri), kemudian mengakomodir bahkan menelan bulat-bulat demokrasi ala Barat dan nilai-nilai asing yang belum terbukti keampuhannya pada perjalanan bangsa ini. Inilah “jalan pintas” segenap anak bangsa yang dikira bisa cepat sampai ke tujuan tetapi dalam praktiknya justru kian menggiring bangsa ini pada keterpurukan, mengapa? Intinya: “Tidak punya keyakinan terhadap pakem dan pola sendiri guna meraih kejayaannya!”
Nilai-nilai asing semacam liberalisme, HAM, dan lain-lain gilirannya menjadi ‘senjata sakti’ beberapa komunitas guna memaksakan kehendak di muka umum meski tata caranya menabrak etika, amoral bahkan melanggar kepentingan bersama. Kebebasan yang bertanggung jawab pada Demokrasi Pancasila malah dianggap riak-riak belaka, seakan-akan di atas namun hakikinya menjadi mainan arus kuat (Demokrasi ala Barat), si ombak besar. Kenapa semua itu bisa terjadi? Lagi-lagi: “Karena kita tidak memiliki keyakinan atau rasa percaya baik selaku diri dan bangsa!”
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)