Teringat Beethoven

Bagikan artikel ini

Adakah yang lebih miris dari seorang pelukis yang tak bisa melihat lukisannya, atau seorang komponis yang tak bisa mendengar gubahannya. Di sepanjang hidupnya Beethoven sibuk bergulat melawan keterbatasan fisiknya itu.

Ya, perlahan-lahan komponis ini mendengar suara teman bicaranya, kicau burung, ketukan pada daun pintu apartemennya, nada-nada musiknya yang dimainkan orkes simfoni setempat itu semakin menjauh dan redup. Semakin sayup, bahkan kemudian hilang samasekali.

Di kepalanya ada memori yang kuat tentang semua itu. Di depan matanya benda-benda itu bergerak, bergesek, bersinggungan, tanpa menghasilkan bunyi apa pun yang bisa ditangkap telinganya. Luwig van Beethoven, hidupnya seperti perjalanan musim gugur menuju musim dingin.

Menginjak usia 30 tahun, ia pernah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya yang tragis, seraya menuliskan surat perpisahan yang mengharu-biru untuk menjelaskan mengapa ia menempuh jalan pintas itu. Entah apa yang mengubah pikirannya, ia kemudian meninggalkan pikiran kelam itu, lantas memprokamasikan tekadnya untuk hidup secara penuh. Sehidup-hidupnya.

Kemudian lahirlah karya besar seperti Simfoni no 9 dalam D minor yang mengobarkan semangat perubahan. Bagian ke empat –dari bagian ke empat simfoni ini– dibuka dengan suasana mendung, suasana mencekam yang dibangun oleh barisan pemain alat-alat gesek berat: bas, kontrabas dan cello. Mungkin alat gesek tersebut dianggap sanggup mewakili perasaan-perasaan kelam dengan tepat.

Symphony no 9 in D minor samasekali tidak terdengar seperti “Moonlight Sonata”, karyanya yang lirih dan melankolis. Suasana berubah total tatkala klarinet dan flute, ditambah lagi simbal mulai membawakan musik yang berbeda: melodi yang riang, dalam nada-nada mayor yang lincah.

Hari yang mendung telah berganti cerah. Hari kebebasan, persamaaan dan persaudaraan umat manusia telah datang. Semua instrumen bangkit memainkan nada-nada meriah tersebut. Pada puncaknya kelompok paduan suara bergabung menyanyikan Ode to Joy, terjemahan An die Freude, puisi karya penyair Jerman abad 18 Friedrich Schiller dalam melodi yang riang itu. Puisi yang berbicara tentang pembebasan segenap manusia.

Beethoven, hidupnya tidak seperti pendahulunya WA Mozart yang ditinggalkan para pengagumnya menjelang akhir hayatnya. Ludwig van Beethoven tetap mendapat tempat istimewa di hati warga kota Wina waktu itu. Mereka merasakan kematian Beethoven pada 1827 sebagai kehilangan besar. Dua puluh ribu warga berdiri di pinggir jalan, menundukkan kepala manakala kereta kuda yang membawa peti jenazah komponis itu bergerak ke peristirahatan terakhirnya.

Idrus Shahab, wartawan senior, pernah bekerja di majalah Editor

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com