Terjebak Skenario Hawkish?

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Pemerhati Masalah Internasional dari Global Future Institute (GFI)

Naiknya Barack Obama menjadi presiden Amerika Serikat (AS) ke-44 merupakan sejarah (baru) bagi dunia, khususnya Dinasti Amerika. Betapa di negeri “rasialis” — dimana superior kulit putih atas warga kulit berwarna begitu extreme, tampilnya minoritas kulit hitam memimpin superpower membuat decak kekaguman siapa saja. Hampir seluruh tatapan mata melihat inagurasi yang menelan milyaran dolar AS di tengah krisis ekonomi negara yang menyeret menjadi krisis global.

Jagad tersihir melihat performance Obama. Janji perubahan masa kampanye diharap segera terealisir untuk keluar dari krisis yang menghantui. Ia adalah sosok harapan yang seolah-olah mampu mengubah segalanya, termasuk kebijakan luar negeri —perang melawan teror— terutama untuk negara-negara muslim yang dicap Barat sebagai sarang teroris.

Salah satu materi pidato Obama pada inagurasi ialah: “.. kita memilih harapan daripada ketakutan, dan menunjuk kesatuan tujuan atas konflik dan kepentingan..” (20/1, 09). Sepenggal kalimat bermakna sangat dalam. Artinya, kedalam, ia mengajak warga AS tetap optimis menghadapi krisis; tatkala keluar, lebih mementingkan perdamaian daripada konflik berkepanjangan. Dengan implementasi, forum-forum dialog adalah terhormat daripada angkat senjata, terutama kalangan Islam (militan) yang diletakkan sebagai ancaman Barat pasca perang dingin (1991).

Belum hilang gema janjinya, ia menambah 30.000-an tentara ke Afghanistan meskipun menarik pasukannya di Iraq. Inilah yang terjadi. Baru sejengkal melangkah Obama mencla-mencle, tidak komit dengan ucapannya. Pertanyaan adalah: mampukah ia memenuhi program sesuai semangat perubahan saat kampanye; bagaimana perubahan yang dijanjikan?

Berbagai pendapat menyebut naiknya Obama dipucuk pimpinan AS adalah menanggung akibat buruk kebijakan pendahulunya. Memang demikian. Namun seberapa besar warisan “sampah”-nya Bush, hanya ia dan Tim (Kabinet)-nya yang memahami.

Yang jelas ketika masih asyik kampanye doeloe, Obama tidak detail memahami tentang kelemahan – kekuatan serta peluang – ancaman dari negeri yang bakal dipimpinnya. Mungkin saja paham, tetapi tidak secara total. Apa yang dijanjikan saat menjual program perubahan hanya berbasis perkiraan data dari “kejauhan” Gedung Putih.

(Mungkin) Obama tidak mengerti bahwa pokok penyebab kehancuran ekonomi AS ternyata bukan subprime mortgage atau skandal Bernand Madoff, tetapi disebabkan budget perang Iraq dan Afghanistan yang teramat besar serta belum kembali (modal) akibat pola politik proteksi yang dijalankan selama ini oleh kapitalisme.

Ia tidak tahu bahwa penarikan militer dari Iraq, telah diprogram jauh sebelumnya akibat kekalahan demi kekalahan diderita tentara AS dan sekutunya. Namun media-media yang dikuasai Barat selalu menutup melalui edit dan counter berita, sementara belum sebarel pun minyak terangkut dari negeri 1001 malam. Inilah puncak kegagalan AS dan sekutu.

Obama (mungkin) baru mengerti bahwa penarikan pasukannya dari Iraq, selain kalah perang juga dalam rangka irit biaya. Dengan kata lain, perang digelar hanya satu tempat (Afghanistan) guna sharing pembiayaan. Ya, agar aliansi negara sekutu AS lebih focus menangani krisis ekonomi masing-masing.

Obama tak mengira bahwa NATO dan ISAF yang selama ini patuh dan taat, sekarang tidak lagi segaris dengan AS. Ya, tidak sesolid doeloe lagi. Tiap negara sibuk menyelamatkan diri dari krisis ekonomi. Persoalannya ialah: kepada siapa lagi bakal meminta bantuan, sedangkan mereka merupakan aliansi negara kaya yang kini sibuk mengatasi krisis ekonomi negerinya. Itulah fakta dan data yang tidak dipahami Tim Obama sebelumnya.

Ia juga tidak menduga bahwa sudah banyak (mungkin) dolar “bodong” dicetak era Bush tanpa jaminan (atau jaminan fiktif) beredar ke seluruh penjuru dunia. Kalau boleh dikatakan, bahwa sisa hegemoni Barat tinggal di media, sehingga kehancuran demi kehancuran negara serta militer AS dan sekutu tak menyebar secara vulgar. Ya, dunia media masih dikuasai kaum Yahudi, para man power (tenaga ahli) yang memainkan peran dibalik setiap kebijakan strategis di dunia.

Obama tak mengira bahwa presiden di AS ternyata seperti “boneka”. Sekedar menjalankan program dari kelompok di sekelilingnya, yakni kaum hawkish dengan berbagai merek, seperti American – Israel Public Affair Committee (AIPAC), penasehat ahli, neo-konservatif,  kelompok fremasonry dan sebagainya. Hawkish ialah karakter dimana kekerasan ditempatkan sebagai sikap utama dalam meraih tujuan. Maka para Menteri dan pembuat kebijakan Gedung Putih berasal dari inner circle itu-itu saja. Bagaimana bisa berubah? Tersirat jelas, manakala Obama hendak melenceng dari ketetapan yang diprogram, niscaya bakal bernasib seperti pendahulunya William Mc Kinley, Jeff Kennedy dan James Garfield. Terbunuh di masa jabatan!

Ia tidak mengira bahwa kemenangannya atas John McCain dalam pemilihan presiden, (mungkin) “rekayasa” para hawkish. Mereka sengaja memberikan kepada minoritas. Biar publik global takjub atas demokrasi di AS. Alasan pokok kenapa, sebab siapapun pengganti Bush tidak bakalan mampu memperbaiki ekonomi AS yang terlanjur porak-poranda. Mereka lebih paham kondisi ekonomi negaranya. Tetapi juga sebagai ajang pameran “citra demokrasi”. Tersirat  tujuan, agar sistem demokrasi liberal dianggap patut dan layak menjadi nilai global. Contohlah Amerika!

Skenario lanjutan yang tengah dijalankan kaum hawkish ialah: bahwa kulit berwarna dijadikan tumbal sekaligus kambing hitam atas kehancuran ekonomi negara, bahkan krisis dunia. Guna terwujud stigma global: lihatlah! Jika negara dikendalikan kulit hitam, ekonomi Amerika justru babak-belur. Tatanan global semakin hancur. Cukup sekali saja golongan kulit berwarna tampil di panggung kepresidenan AS. Itulah (mungkin) skenario hawkish bagi Obama.

Persoalannya: Obama adalah sosok presiden terpilih secara demokratis. Ya, ada genggam amanah rakyat di pundaknya. Janji perubahan, visi dan misi serta idealisme yang telah disuarakan semasa kampanye, apakah tetap sekedar harapan dan cita-cita; atau ia mesti “menabrak” sistem (Yahudi atau hawkish) di sekelilingnya yang nota bene adalah para pembantunya? Beranikah ia menentang kebijakan hawkish?  Itu yang sedang ditunggu. Tergantung Obama. Inilah saatnya mengubah AS bahkan memberi warna kepada dunia. Kesempatan itu kini ada dan tidak bakal terulang lagi. Apapun resikonya! Atau terus membiarkan tergulung ombak hawkish dengan kapitalismenya yang kini cenderung bangkrut? Kita tunggu langkah-langkahnya!

Sementara dari kejauhan sana, lamat-lamat kudengar gemuruh orang bertepuk tangan, tatkala ada sosok yang mengatakan : “Thaks for the bakso, the nasi goreng, emping, the krupuks! Semuanya enak!”. Ya, ya, ya! Emas, minyak dan gas alam Indonesia bagi AS memang enak tenaaaaaan! Duh, Gusti ..

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com