Catatan Kecil Kaum Hawkish di Amerika

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Pemerhati Masalah Internasional

Aksi global Amerika Serikat (AS) yang menempatkan dirinya sebagai “polisi dunia” dengan berbagai kiprahnya, sesungguhnya diarsiteki segelintir individu berpaham neo-konservatif (neokons) yang memiliki karakter hawkish. Konservatisme ialah kepercayaan pada nilai-nilai konvensional yang secara tradisional telah mengakar dalam masyarakat. Ia dikenalkan oleh Michael Harrington dekade 1970-an. Di AS, nilai konservatif yang mengakar kuat ialah KEBEBASAN. Akan tetapi, pemikiran konservatisme kini tak cuma berkutat soal kebebasan saja, ia meluas menjadi “suatu gerakan” di segala aspek dengan berbagai warna dan bentuk. Sedang hawkish sendiri adalah karakter dimana kekerasan dan agresivitas sebagai sikap utama dalam mencapai tujuan politik.

Jumlah kaum hawkish di AS relatif kecil, tetapi tidak menghalangi tekad dan cita-citanya. Mengapa demikian, karena pengaruhnya begitu dominan mewarnai peradaban dunia. Betapa tidak, mereka menempati pos-pos penting hampir pada semua jalur pengambil kebijakan di negeri superpower. Misalnya di Deplu, Dephan, National Security Council, di Kongres, NGO, dan terutama di media-media.

Pengaruh kuat itu disebabkan ia memiliki interkoneksitas jaringan hampir di semua lini dan bekerja sinergis menuju kekuasaan. Artinya, kaum ini mampu menutup jalur-jalur bagi kelompok lain yang juga hendak menuju “pintu” pengambil kebijakan tertinggi. Pada gilirannya, siapapun yang duduk di kursi kebijakan tertinggi (Presiden AS), niscaya terkungkung oleh kelompok neokons agar senantiasa menyetujui kepentingannya dan saran-saran yang berkarakter hawkish.

Mereka menyetir siapapun presiden AS, terutama terlihat jelas di era George W Bush, kaum hawkish benar-benar berperan besar. Mereka menguasai pemerintah, menggagas pemikiran dan strategi NGO, membentuk opini global via berbagai media dan seterusnya. Dan betapa menakjubkan bahwa energi luar biasa dari kelompok ini dilakukan demi pengabdian dan pelayanannya terhadap Yahudi serta membela Israel.

Tindakan neokons berpijak dari pemikiran filsuf politik Leo Strauss (1899-1973) imigran Yahudi-Jerman, Leon Trotsky (1879-1940) ilmuwan Uni Soviet penganut Yahudi, dan lain-lainnya. Mereka raja filsafat dari gerakan neokons yang mempunyai tujuan menyebarkan demokrasi liberal ke seluruh dunia. Sasarannya ialah agar sistem liberalisme menjadi nilai global serta dianut masyarakat dunia. Itulah cita-citanya.

Selain kedua sosok diatas, kini bercokol sebagai penerus beberapa orang seperti Francis Fukuyama, Irving Kristol, Robert Kagan dan William Kristol, dan Samuel P. Huntington (?). Mereka itu “lokomotif” neokons yang sangat berpengaruh mewarnai kiprah kaum hawkish dimanapun. Bertahannya paham, aliran dan pemikiran neokons sampai saat ini, selain didukung individu-individu hebat, ambisius dan berpengaruh meski tersebar di berbagai bidang garapan, juga karena disatukan oleh semangat sama yaitu misi Yahudi dan pro-Israel.

Makanya, sampai kapanpun AS atau negara-negara lainya, selama dikelilingi kaum hawkish niscaya akan meluaskan agresi militernya ke seluruh dunia dengan berbagai dalih. Ia bakal datang mencabik-cabik tatanan sosial dan budaya negeri yang  “ditarget”-nya. Sasarannya adalah negara-negara dunia ketiga tetapi kaya akan sumberdaya alam (minyak, emas dan gas alam) terutama negara mayoritas muslim, oleh karena konflik antara Barat dan Islam adalah permanent confliq sebagaimana yang dihembuskan oleh man power-nya yakni Samuel P. Huntington. Apakah itu bagian dari strategi hawkish melalui teori penyesatan? Entahlah. Termasuk diterbitkan pre-emtive strike (serangan dini) meski doktrin itu dikibarkan oleh Dick Cheney namun konseptor sejatinya ialah Huntington sebagaimana dalam bukunya Clash of Civilization (benturan peradaban).

Invasi militer AS dan sekutunya di Iraq ialah bukti implementasi pre-emtive strike, karena sesungguhnya bukan terjadi perang disana, melainkan dehumanisasi rakyat oleh militer AS. Tuduhan bahwa Iraq menyimpan senjata pemusnah massal ternyata tidak terbukti. Itulah skenario besar tak pernah terkuak. Senjata massal hanya dalih. Betapa piawai para hawkish menguasai media. Mata dunia dibuat buta, nurani global ibarat tersihir diam, meskipun —sedikit atau banyak— mereka bisa merasakan sendiri kezaliman, kepongahan dan keserakahannya dimana-mana. Tetapi hampir negara adidaya lainnya diam seribu bahasa karena turut pula mencicipi melalui aliansi dan sharing saham di negeri jajahan.  Itulah kelicikan neokons. Betapa canggih memainkan skenario di balik layar adikuasa melalui atraksi biadab, namun tata caranya seolah-olah beradab.

Ya, implementasi hegemoni AS ujungnya selalu invasi militer kepada negara target. Awal skenario, biasanya dimulai dari tahapan infiltrasi intelijen yang merasuk di berbagai dimensi, terutama pada kantong-kantong sosial berbasis militan. Tahap berikutnya ialah eksploitasi dan adu domba antar umat, atau sesama umat, terutama umat agama mayoritas di suatu negara. Kemudian menebar isu, pengaburan ajaran agama, dan sebagainya. Membentuk serta menggalang opini publik baik lingkup nasional, regional maupun global. Membuat cap dan stigma buruk kepada negara atau golongan yang dianggapnya pembangkang agar dimusuhi lingkungan, sebaliknya menciptakan stigma “kebaikan dan keunggulan paham” yang akan ditebar.

Selain senjata pemusnah massal, isu aktual AS kini masalah program nuklir dan terorisme. Itulah stigma yang bakal melekat kepada kelompok dan negara yang tak patuh atas hegemoni kekuasannya. Tersirat tujuan agar benak masyarakat dunia menarik kesimpulan bahwa teroris itu identik dengan Islam. Dan Islam adalah agama teroris. Luar biasa kelicikan kaum ini, secara perlahan namun pasti, opini global digiring “menelan” stigma tersebut.

Tahapan tak kalah penting ialah proses cuci otak kepada calon-calon intelektual dan para ilmuwan “terperangkap” yang mengabdi, menjadi agennya. Biasanya para agen tersebut digunakan AS untuk mengobrak-abrik negaranya sendiri. Ya, ia menciptakan “pelacuran” kaum intelektual dan menyediakan space penghianatan kepada bangsa dan negaranya.

Demikian pola perspektif hegemoni AS, dimana negara target dilemahkan “dari sisi internal” justru dari negara itu sendiri via agen-agennya melalui isue penegakkan HAM, demokratisasi, pengaburan agama, dan seterusnya. Telah banyak contoh negara di berbagai belahan dunia. Apakah termasuk Indonesia? Sebaiknya kita tepis doeloe pertanyaan itu, agar catatan kecil ini dilanjutkan.

Di setiap invasinya, AS selalu melibatkan tentara dalam jumlah besar serta didukung senjata tempur dan teknologi canggih.  Kemunculannya di medan pertempuran senantiasa show of force selain untuk “menakut-nakuti” jajaran negara dan kelompok yang dianggapnya pembangkang, sekaligus dipergunakan sebagai promosi teknologi senjata dan peralatan tempurnya kepada dunia.

Demikian catatan singkat yang saya pungut di banyak media, tentang apa dan siapa sesungguhnya kaum hawkish berpaham neokons, dimana selama ini asyik bermain remot di balik layar adikuasa. Tak banyak orang paham kiprahnya, tetapi banyak sudah yang menelan dan merasakan hasil olah pemikirannya. Itulah yang kini terjadi. Entah sampai kapan. Terimakasih.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com