Tewasnya Pakar Nuklir Iran Mohsen Fakhrizadeh Berpotensi Memantik Instabilitas Politik Timur-Tengah

Bagikan artikel ini

IRNS3422

Pasca revolusi Iran yang terjadi ada tahun 1979, tercatat hubungan antara Iran dengan Amerika Serikat dan Israel tidak lagi harmonis seperti sebelum jatuhnya rezim Pahlevi. Berbagai sanksi yang diberikan kepada Iran, menjadikan negara para mullah ini terus berjuang untuk menjadi negara yang mandiri, seraya  mengembangkan Sumberdaya Manusia maupun  pengelolaan Sumberdaya Alam yang mereka miliki sebagai landasan membangun negara-bangsa yang mandiri.

Salah satu sektor yang yang selalu jadi isu yang digulirkan oleh AS maupun Israel maupun Amerika untuk menyerang Iran adalah program pengembangan nuklir.  Seperti diterapkannya sanksi ekonomi dan embargo terhadap Iran, yang mana  menurut AS maupun Israel, Iran selain secara terencana mengembangkan program senjata nuklir, juga sedang mengembangkan senjata pemusnah massal atau yang kita kenal dengan Weapon of Mass Destruction.

Meskipun  Badan Energi Atom Internasional (IAEA) sudah melakukan inspeksi terhadap Iran, namun hingga saat ini belum ada pernyataan secara resmi yang dikeluarkan oleh IAEA bahwa Iran telah melakukan  penyalahgunaan program pembangunan tenaga nuklir untuk membuat persenjataan nuklir.  Namun demikian AS tetap bersikukuh untuk terus memberikan sanksi terhadap Iran.

Kalau menelisik sejarah hubungan AS-Iran, sejak dekade 1970an AS memang mulai khawatir dengan pengembangan program nuklir Iran yang diyakini bakal menjelma jadi pengembangan senjata nuklir. Meskipun Iran berulangkali menegaskan bahwa pengembangan pengayaan uranium hanya ditujukan untuk kebutuhan masyarakat sipil.

Pembentukan opini publik bahwa Iran sedang mengembangkan senjata nuklir sebenarnya berakar pada lengsernya Syah Reza Pahlevi dari tampuk kekuasaan dan berakhirnya tahta kerajaan Iran menjadi Republik Islam Iran yang di bawah kepemimpinan Ayatullah Khomeini pada 1979. Maka, orientasi politik luar negeri AS yang pada era Syah Reza Pahlevi begitu mendukung program nuklir Iran, sontak pada era pasca Revolusi Iran, AS menentang keras program nuklir Iran.

Q&A: Ex-Mossad Chiefs Discuss the Iranian Threat

Bahkan pada 2000, pada masa akhir jabatan Presiden Bill Clinton, pemerintahan AS  mengesahkan UU berisi sanksi bagi negara manapun yang dipandang akan membantu pengembangan program nuklir Iran. Pada tahun 2001 menyusul terjadinya pengeboman gedung WTC dan Pengaton pada September 2001, Presiden George W Bush menggolongkan Iran bersama-sama dengan Korea Utara dan Irak yang waktu itu masih berada dalam kekuasaan Presiden Saddam Hussein, sebagai the Evil Foces alias Kekuatan Setan.

Namun menariknya, pada era pemerintahan Obama, dan ketika Hassan Rouhani menjabat presiden Iran, terjadi sebuah terobosan diplomatik yang cukup signifikan antara kedua negara. Pada 2015 setelah melalui perundingan yang cukup alot, kedua negara tercapai kesepatan antara Iran dan beberapa negara adikuasa yang dikenal dengan sebuta P5+1(AS, Inggris, Prancis, Cina,Rusia dan Jerman).

Yang mana pada intinya Iran setuju untuk membatasi program nuklirnya, dan sebagai imbalannya, sanksi ekonomi terhadap Iran dicabut. Dan status Iran sebagai negara yang termasuk pendukung terorisme juga dihapus dari daftar. Sayangnya, di era Donald Trump, kesepakatan Iran-AS tersebut dibatalkan secara sepihak. Sehingga hubungan kedua negara meruncing kembali hingga sekarang.

Memasuki awal 2020, hubungan ketiga negara ini semakin memanas ketika AS membunuh Qasem Soleimani, komandan pasukan khusus Iran Al-Quds dan salah perwira tinggi  Iran yang cukup disegani. Tak hanya sampai di situ, pada 27 November lalu terjadi aksi teror di kota Absard, Damavand, salah satu kota di sekitar Tehran yang menyebabkan tewasnya seorang ilmuwan nuklir Iran yang dijuluki oleh media sebagai “Bapak Bom Nuklir Iran”, yakni Mohsen Fakhrizadeh yang merupakan Kepala Organisasi Riset dan Inovasi Kementerian Pertahanan Iran.

Mohsen Fakhrizadeh lahir pada tahun 1957, ia merupakan salah satu tokoh berpengaruh dalam teknologi rudal Iran, sehingga namanya bersama empat warga Iran lainnya masuk didalam daftar 500 orang paling berpengaruh dunia versi media AS.

Baca: The FP Power Map

Iran menuding Israel sebagai dalang dari teror ini. Karena pada tahun 2018, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sempat mengatakan bahwa ia mengidentifikasi Fakhrizedeh sebagai kepala ilmuwan dalam program pembuatan senjata nuklir, dan memperingatkan agar “mengingat nama itu”.

Eskalasi konflik yang semakin memanas antara ketiga negara ini akan memperburuk situasi regional. Sebab seturut dengan perkembangan tadi, beberapa negara di Timur Tengah yang tergabung dalam negara-negara kerjasama teluk seperti Yordania, Kuwait, Bahrain, Qatar, Arab Saudi, UEA, dan Oman yang selama ini beraliansi dengan Amerika diperkirakan akan segera membangun kerjasama dengan Israel, dan bahkan menyediakan negaranya sebagai pangkalan militer AS.

Sementara di sisi lainnya, Iran selain semakin mengembangkan sistem pertahanan dan kesiagaan militernya, juga bakal menggalang kekuatan militer dengan agen prox-nya di beberapa negara Timur-Tengah  seperti Houthi di Yaman, Hashd al Shabi di Irak, Hamas di Palestina, dan Hizbullah di Lebanon.

Sehingga apabila terjadi perang terbuka antara Iran dengan AS dan Israel, maka dengan sendirinya akan menyeret negara-negara aliansi US maupun negara-negara proxy Iran ke dalam perang tersebut. Bisa dibayangkan betapa gentingnya kawasan Timur-Tengah dan Teluk Parsi.

Jika dilihat dari memburuknya hubungan antara Iran dengan AS dan Iran, rasanya mustahil untuk pulih kembali dalam waktu dekat. Ada beberapa factor penyebab.  Pertama, Iran menutup ruang diplomasi dengan Amerika Serikat maupun Israel. Kedua, Iran merupakan ancaman serius bagi kepentingan AS di  kawasan Timur-Tengah, serta dipandang sebagai ancaman terhadap eksistensi kedaulatan Israel.

Sebagaimana dikemukakan oleh Yossi Cohen, petinggi Mossad pada tahun 2017 bahwa Selama selama pemerintahan Iran masih dalam kekuasaan para mullah buah dari Revolusi Islam Iran 1979,  maka dengan atau tanpa perjanjian nuklir, Iran akan terus dipandang sebagai  ancaman utama bagi keamanan Israel.

Ketika Iran dan Israel sama-sama memandang satu-sama lain sebagai ancaman utama, dan pemihakan AS tanpa syarat pada Israel dalam setiap konflik di Timur-Tengah, maka baik Iran maupun AS-Israel akan menyeret sekutu mereka masing-masing untuk terjun ke kancah konflik berskala luas di Timur-Tengah. Belum lagi Arab Saudi yang juga memandang Iran sebagai pesaing utama dalam berebut pengaruh di Timur-Tengah.

Baca: Mossad chief: Iran is main threat to Israel with or without nuclear deal

Husni Mubarak Raharusun, mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial-Politik, program studi Hubungan Internasional, Universitas Nasional, Jakarta.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com