Antara Swing Voter dan Kredo Geopolitik

Bagikan artikel ini

Refresing Geopolitik

Siapa menyangka, jika aksi bela Islam yang kemudian disebut Aksi 212 di Jakarta mengakibatkan swing voter (beralihnya suara) dari Hillary Clinton ke Dönald Trump dalam pemilihan presiden 2016 di Amerika (AS) tempo lalu. Kenapa begitu, tatkala publik Barat khususnya warga AS menyaksikan Aksi 212 dengan jumlah jutaan massa protes dipicu oleh isu sentimen agama, publik AS selain takjub, heran, betapa massa sebesar itu bisa berlangsung secara damai lagi tertib. Tetapi mereka juga cemas dan khawatir. Kenapa? Ya. Karena isu sentimen memang tidak hidup-berkembang di AS karena faktor sekularisme tumbuh subur, tidak ada kosa pribumi (mayoritas imigran), juga pada era Bush Jr dahulu, Islam Phobia sebagai isu ditiup secara kencang menjadi sesuatu yang sangat menakutkan bagi warga Paman Sam. Termasuk berdirinya departemen (baru) Homeland Security juga karena faktor isu tersebut.

Nah, kendati Aksi 212 berjalan tertib dan damai, lagi-lagi isu Islam phobia —jualan Trump saat kampanye— akhirnya justru “laku keras” di masa minggu tenang, pemilihan presiden.

Tak boleh dipungkiri, bahwa aksi damai di Jakarta menimbulkan gelombang swing voter ke Trump. Ini sangat fenomenal. Padahal secara survey dan polling sebelum Aksi 212, suara Hillary jauh meninggalkan perolehan suara Trump.

Akhirnya timbul framing media bahwa kemenangan Trump atas Hillary ialah “hasil kerja” hacker asal Rusia yang mencuri suara Hillary, sehingga berkembang olok-olok bahwa Trump adalah presiden produk hacker. Akan tetapi, banyak warga AS meyakini bahwa kemenangan Trump memang murni akibat swing voter yang dipicu aksi damai (212) dan isu Islam Phobia yang dijual oleh Trump saat kampanye.

Inilah bukti, bahwa kejadian nun jauh di sana, selain terhubung juga mampu mempengaruhi baik implikasi negatif di satu sisi, atau kontribusi positif pada sisi lain di belahan bumi lain. Dan fenomena ini semakin menebalkan kredo geopolitik: “Bahwa konflik lokal adalah bagian dari konflik global”.

End

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com