The New King Maker dan Alternatif Skenario 2024

Bagikan artikel ini
Obrolan di Warung Kopi
Selain Pak Jokowi dan Bu Mega dianggap King/Queen Maker, itu jelas, Jokowi selaku Presiden dan Megawati selaku ketua umum the ruling party. Dalam perjalanan, sepertinya Surya Paloh (SP) ‘ternobatkan’ pula sebagai The New King Maker dalam dinamika politik (menuju) 2024.
Nah, ‘penobatan’ SP selaku King Maker cukup menarik. Memang tidak ujug-ujug, karena ada proses yang cukup spektakuler. Namun, bukan semata-mata pencapreskan Anies yang konon ‘antitesa’-nya Jokowi, sedang selama ini ia duduk di lingkar (koalisi) istana. Muncul beberapa konsekuensi serta risiko. Beberapa kader senior NasDem undur diri, atau terpaan isu reshuffle kabinet bagi tiga menterinya; bukan pula faktor keberanian tampil beda di antara partai koalisi istana. Tetapi, prakarsa SP dalam jalinan antarpartai, manuver ke elit-elit lainnya, bahkan geliat lintas koalisi yang membuat peta politik total berubah. Publik tercengang atas manuvernya. Apa boleh buat. Perkembangan politik memang fluktuatif lagi sulit ditebak. Maka bagi khalayak awam, mereka sering tersesat tatkala mengikuti jejak langkah para elit politik.
Sebelum SP dipanggil istana, ia sudah bertemu dengan LBP. Terus (romantisme) ke Golkar, hari ini menguatkan derap Koalisi Perubahan karena PKS dan Demokrat sudah satu suara soal pilihan capres. Entah esok apalagi.
PDI-P dan Gerindra masih dalam penjajakkan. Bukan apa, seandainya ke Gerindra pun — publik akan memaklumi, karena dulu satu sumber (Golkar). Namun, tatkala SP hendak ke PDI-P, maka perhatian publik menyoroti ‘zig-zag‘-nya SP yang cenderung tak lazim. Nonmainstream.
Tampaknya, ajian ‘sekali layar terkembang, surut kami berpantang’ cukup menggelegar di genggam SP. Pertanyaannya adalah, kemana ajian tadi akan berpantang serta berlabuh; berpantang membatalkan pencapresan Anies, atau berlabuh kembali di KIB dan istana? Lagi-lagi, di titik ini para follower kerap kehilangan jejak.
Tak boleh dipungkiri, zig-zag SP meninggalkan kesan kuat bahwa Prabowo sebagai capres dianggap masa lalu, kenapa? Ada persepsi berkembang bahwa pendukung Prabowo di pilpres 2019 telah berpaling ke Anies. Apapun alasannya. Khalayak tidak mau tahu. Dua kandidat di-branding mencuat: Anies dan Ganjar. Memang. Selain kedua calon di atas plus Prabowo, belum terlihat kandidat lainnya. Meski jika head to head melawan Prabowo, belum tentu Ganjar atau Anies yang unggul. Namun kontruksi politik hari ini, sepertinya mengarah ke Ganjar di koalisi, serta Anies pada pihak ‘oposisi’.
Di 2024 nanti, peran cawapres tidak sekadar pemanis. Kandidat cawapres tidak kalah urgen. Ia harus jadi pendulang suara baru terutama kaum milenial, emak-emak, dan khususnya umat mayoritas. Itu idealnya. Dan tak pelak, apabila keliru memilih cawapres bisa kontra produktif, para pemilih terutama pemula bisa lari menjauh.
Isu menguat, Ganjar akan dipasangkan dengan Erick pada 2024. Ini arus besar lagi kuat. Di mata oligarki, pasangan tersebut diyakini akan melanjutkan program Jokowi yang belum tuntas. Itu awal agenda besar. Makanya gambar Erick ada dimana-mana. Selain terpampang di hampir semua bandara, tik-tok dan gerai lainnya, ia juga diNU-NU-kan guna menarik suara muslim.
Cawapresnya Anies pun —bila ia lepas dari ‘jerat’ Formula E— nantinya bukan berasal dari PKS atau Demokrat. Kudu sosok yang mampu mendulang sumber (suara) lain.
Adanya upaya menyatukan Anies dengan Khofifah, disinyalir hanya untuk memecah suara Prabowo bila muncul tiga pasangan calon. Tak lain, agenda Pemilu 2024 memang ‘melanjutkan infrastruktur Jokowi’. Asumsi ini, apakah berarti Ganjar dan Anies mudah diatur, dan Prabowo agak susah diatur?
Yang menarik, hingga kini capres PDI-P masih belum disampaikan ke publik kendati sudah di saku Bu Mega. Entah kenapa. Disinyalir ‘jurus mabuk’ SP telah mengubah skenario 2024. Para elit kembali menghitung dan berhitung ulang.
Plan A (Jokowi tiga periode) contohnya, sekarang bubar ketika terbit Keputusan MK yang menganulir pencawapresan Jokowi pada 2024. Mustahil. Dan gelaran Pemilu 2024 itu hanya sekadar Plan C —alternatif terakhir— dengan catatan: ‘kandidat pilihan oligarki pasti menang’.
Ketika manuver NasDem via pencapresan Anies menjungkirbalikkan skenario 2024. Plan B sebagai skenario harus diwaspadai, apa itu? Yaitu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Ya. Penundaan Pemilu dapat dilaksanakan lewat Perppu dengan pertimbangan kegentingan memaksa atau ‘dipaksakan’. Meski bakal timbul gejolak, kemungkinan hanya bersifat elitis seperti Perppu Cipta Kerja. Tetapi, perpanjangan masa jabatan presiden bakal mengalami deadlock. Macet. Mengapa? Perppu tak kuat untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Tidak ada dalam konstitusi. Yang berhak dan berwenang adalah Ketetapan/Tap MPR. Namun bukan Tap MPR versi UUD NRI 1945 alias UUD 2002. Sebab, MPR kini sudah berubah menjadi Lembaga Tinggi selevel BPK, MA, DPA dan lainnya. Tap MPR dimaksud —yang bisa memperpanjang jabatan presiden— adalah produk MPR selaku Lembaga Tertinggi karena bersifat regeling atau mengatur.
Sekali lagi, jika Plan B yang akan digelar, kemungkinan akan diterbitkan Dekrit Presiden untuk kembali ke UUD 1945 Naskah Asli (sebelum amandemen) guna mengembalikan status MPR sebagai Lembaga Tertinggi, puncak piramida dalam konstitusi.
Inilah hasil obrolan di warung kopi. Tak ada maksud menggurui siapapun terutama para pihak yang berkompeten. Hanya sekadar sharing gagasan dan wawasan. Tak lebih.
End
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com