Timur Tengah dan Kejahatan Industri Pertanian

Bagikan artikel ini

Siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas konflik di Timur Tengah? Ada banyak versi jawaban yang bisa diberikan. Namun, ada hal yang menarik yang baru saya temukan setelah mengikuti kuliah umum Dr. Vandana Shiva di UI pada 18 Agustus 2014, yang disponsori Mantasa dan Yayasan Kehati. Tulisan ini bukan ringkasan isi kuliah tersebut (silahkan menonton videonya di Youtube), melainkan refleksi saya.

Industri pertanian global adalah (salah satu) pihak yang bertanggung jawab atas kemiskinan umat manusia. Kata FAO, hari ini, produksi pangan dunia sebenarnya cukup untuk memberi makan semua orang. Namun karena yang menghasilkan pangan adalah industri, pangan itu dijual di pasar bebas dengan harga tinggi, sehingga banyak orang miskin tak mampu membelinya. Orang yang semula tidak miskin pun jatuh miskin karena mahalnya pangan. Tahun 2013, ada 800 juta orang di seluruh dunia yang kekurangan pangan, termasuk di Indonesia.

Kekurangan bahan pangan berdampak panjang, yaitu penurunan kualitas pertumbuhan fisik dan intelektual anak-anak. Di masa depan, anak-anak yang lemah ini akan menjadi generasi yang lemah dan tidak memiliki daya saing, sehingga tidak mampu mempertahankan negaranya dari agresi ekonomi maupun militer yang dilancarkan negara lain. Siapa yang akan diuntungkan dalam kondisi ini? Jelas negara-negara kaya dan kuat, dan mereka pula yang menguasai industri pertanian global saat ini.

Dalam artikelnya di The Observer, Rami Zurayk menulis bahwa di Mesir, roti dikenal dengan nama aish, yang bermakna “life”. Wilayah bulan sabit yang subur, yang membentang dari sungai Nil hingga sungai Tigris dan Eufrat (diistilahkan Fertile Crescent) adalah tanah yang pertama kali menghasilkan gandum dan kacang-kacangan, dalam sejarah dunia. Namun, kini justru wilayah itulah yang menjadi pengimpor pangan terbesar di dunia. Kecuali Suriah, negara-negara di wilayah itu hanya menghasilkan gandum sangat sedikit, sehingga harus mengimpor.

Penyebabnya adalah karena rezim-rezim di wilayah itu telah dijajah oleh IMF dan Bank Dunia. Mereka memberikan hutang, namun harus dibayar dengan industrialisasi dan liberalisasi pertanian, pengurangan subsidi pertanian. Petani didorong (atau dipaksa) untuk menanam buah-buahan dan sayuran untuk ekspor, dan melepaskan produksi gandum yang sangat penting bagi kecukupan pangan lokal. Yang mendapatkan keuntungan besar dari situasi ini adalah segelintir pengusaha industri pertanian yang berkolusi dengan rezim; dan rezim-rezim di Mesir, Tunisia, dll, didukung oleh AS. Jangan lupakan bahwa ada tiga perusahaan yang mengontrol 90% gandum dunia, Cargill, ADM,dan Bunge yang ketiganya berbasis di AS. Ketika rakyat di Fertile Crescent (kecuali Suriah) tidak mampu lagi memproduksi sendiri gandumnya, sudah tentu para pedagang gandum transional yang mengeruk untung besar.

Krisis pangan pada tahun 2008 menyebabkan naiknya harga pangan dunia dan menimbulkan kerusuhan terjadi di berbagai negara, mulai dari Haiti hingga Mesir. Kemarahan rakyat di berbagai negara yang terdampak krisis pangan pada masa itu bahkan berujung pada penggulingan rezim seperti yang terjadi di Haiti. Pada tahun 2010, protes pada rezim Ben Ali memuncak, disusul aksi demo penggulingan Mubarak di Mesir. Suriah juga bergolak. Namun, dari perspektif pangan, jelas kasusnya sangat berbeda. Terbukti, aksi demo yang mengusung isu demokratisasi di Suriah tak berhasil (karena rakyat Suriah sudah tercukupi pangannya, tidak seperti Tunisia dan Mesir). Lalu, turunlah bala bantuan dari para ‘mujahidin’ yang merasa sedang berperang atas nama Allah dengan mengusung isu Sunni-Syiah.

Intinya, konflik Timteng sangatlah kompleks. Ada banyak faktor penyumbang api, pangan adalah salah satu faktor utamanya. Dan bagaimana Indonesia? Jelas, kebijakan pangan Indonesia yang tidak berdaulat bak menyimpan api dalam sekam.

Kondisi pertanian Indonesia tak jauh berbeda dengan Mesir. Pertanian di Indonesia juga dipaksa oleh IMF, Bank Dunia, WTO untuk berintegrasi dengan pasar dunia. Atas tekanan IMF, Bulog telah dibubarkan sehingga tidak lagi ada perlindungan harga bagi petani. Indonesia pun dilarang menutup pintu impornya, sehingga produksi petani lokal harus bersaing dengan produk impor. Melalui Revolusi Hijau yang dikenalkan ke Indonesia pada masa Orba, petani dipaksa (dengan bantuan kekuatan aparat) untuk menanam padi jenis tertentu yang digenjot dengan pestisida dan pupuk kimia, untuk meningkatkan produksi sebanyak-banyaknya. Hasilnya, pada tahun 1984-1989 Indonesia pernah mencapai swasembada beras. Namun seperti terjadi di negara-negara lain yang melakukan hal serupa, secara perlahan tapi pasti, tanah mengeras dan enggan menghasilkan panen secara maksimal lagi.

Cerita selanjutnya, sudah kita alami bersama. Menurut data BPS, tahun 2013, nilai impor pangan kita mencapai 172,29 Trilyun. Ini berarti meningkat enam kali lipat dibanding tahun 2003. Dan jumlah petani berkurang dari 31,17 juta rumah tangga pada 2003 menjadi 26,13 juta rumah tangga pada 2013. Berarti, ada lima juta petani yang berhenti bertani, berpindah menjadi buruh di pabrik-pabrik. Harga pangan yang tinggi memiskinkan banyak orang, dan yang paling miskin justru para petani.

Konflik di Timteng harus menjadi pelajaran. Pemerintah baru harus segera melakukan kebijakan-kebijakan yang mengembalikan kedaulatan pangan kita. Caranya, antara lain yang terpenting adalah land reform (agar petani memiliki lahan yang luas sehingga proses produksi menjadi efisien), subsidi, dan proteksi. Meski untuk itu, pemerintah dipastikan akan menghadapi penentangan keras dari para kapitalis. (sumber: www.liputanislam.com)

Penulis: Dina Y. Sulaeman, mahasiswa Program Doktor Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com