Tinggalkan Dolar, Kembali ke Emas!

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institue (GFI)

Sebenarnya ada beberapa tulisan di website Global Future Institute (GFI), Jakarta yang temanya selaras dengan tajuk artikel ini. Dina Y. Sulaeman misalnya, salah satu research associate GFI telah menulis tentang “Ilusi Uang Kertas” di blognya sendiri (http://dinasulaeman.wordpress.com) serta dimuat di GFI. Atau dua catatan saya dulu, judulnya “The Fed dan Dolar AS, Seluk Beluk Dominasinya di Dunia” dan “Hipnotis dan Tsunami Dolar”, keduanya juga dimuat di www.theglobal-review.com. Silahkan dibaca bagi yang belum. Barangkali artikel sederhana kali ini, hanya menebalkan pemahaman kita perihal seluk beluk permainan emas dan uang kertas di dunia, selain itu agar tak terkejut apabila suatu ketika nanti banyak negara serempak meninggalkan US Dollar. Itulah “Tsunami Dollar” kelak. Tak lama lagi.

Mari Tinggalkan Dolar, Kembali Lagi ke Emas!

Sejarah peradaban manusia semenjak 3000-an tahun lalu, sebenarnya menggunakan emas sebagai uang (alat tukar)-nya bahkan hingga usai Perang Dunia II (1939 –1945). Bretton Woods Agreement 1945 merupakan bukti, bahwa negara-negara masih mengaitkan alat tukarnya (uang) dengan emas kendati sudah mulai longgar. Kelonggaran ikatan misalnya “balon pertama” yakni US Dollar ($) mengait 1 Ons emas = 35 US$. Sedangkan “balon kedua”, entah itu rupiah, yen, atau ringgit, maupun mata-mata uang negara lain diikat dengan US Dollar. Nilainya pun bervariasi tergantung “power” masing-masing. Ada yang 1 US Dollar sekian rupiah, 1 US$ = sekian yen, sekian poundsterling dan seterusnya. Itulah substansi perjanjian Bretton Woods tempo doeloe.

Persoalannya muncul ketika sejak 15 Agustus 1971 ikatan “balon pertama” dilepas. Dolar tidak lagi berjamin emas. Inilah titik awal kekacauan. Secara sepihak Amerika Serikat (AS) keluar dari Bretton Woods Agreement (sekitar 28 negara) dengan alasan tidak mampu lagi menjamin dolarnya dengan emas. Dunia terkejut bukan kepalang, namun dolar terlanjur mengglobal bahkan menjadi standar cadangan devisa negara. Pertanyaan nakal pun timbul: Mungkinkah AS mencetak kertas dolarnya tanpa jaminan apa-apa; siapa yang mengkontrol The Fed, si pencetak dolar? Kalau jawabannya iya, maka dugaan telah banyak beredar dolar bodong sejak 1971-an semakin masuk akal. Ujudnya bisa dolar berseri ganda, atau mungkin jaminan fiktif, bahkan juga tanpa jaminan sama sekali. Asal bikin. Cuma seharga ongkos cetaknya!

Ya, sebelum balon pertama dilepas harga 1 Ons emas = 35 US$. Ketika ikatan dilepas (1971) harga emas mulai merangkak 40 US Dollar/Ons. Bayangkan ketika sekarang telah mencapai 1.200 US Dollar/Ons, artinya naik 30 kali selama 40-an tahun. Dan ternyata balon rupiah lebih tinggi terbangnya. Jika sebelum balon dilepas harganya Rp 500,-/Ons, maka silahkan hitung sendiri ketika kini harga emas mencapai Rp 350.000,-/Ons.

Itulah sepintas sejarah emas dan uang kertas di dunia, bukan sekedar hikmah yang mutlak dipetik namun memahani kemana arah balon-balon tersebut akan terbang mungkin lebih bijak dalam rangka kebaikan diri, keluarga, bangsa dan negara di masa mendatang.

Kenyataan empiris kini, uang (kertas) di dunia terus dicetak tetapi tanpa ikatan emas. Ibarat balon isinya hanya “udara atau angin” (angan-angan). Fakta kedua, tak sedikit negara-negara terus menambah utangnya, bahkan utang AS sendiri mencapai 17 triliun US$ lebih. Ketiga, pada rule of thumb (metode berdasar praktek) bahwa setiap kenaikan utang 1 triliun US Dollar, harga emas naik sekitar 125 $/Ons. Keempat, bila ingin berubah seharusnya cara serta sistem pengelolaan pun mesti berubah. Agaknya hal ini yang belum dilakukan sama sekali. Uang kertas tetap dicetak tanpa jaminan emas.

Dari fakta-fakta di atas diyakini, sepertinya “balon-balon” tadi tidak akan turun atau balik lagi ke ikatan seperti dekade sebelum 1971-an dulu, justru kebalikannya. Dengan kata lain, ia bakal makin menjauh bahkan menghilang entah kemana. Tampaknya hal ini dicermati oleh Bank for Internasional Settlement (BIS), sehingga secara diam-diam memasukkan emas sebagai alat tukar (swap).

Permainan Emas dan Nixon Shock

Dalam buku Gold Wars: The Battle Against Sound Money As Seen From Swiss Perspective (2001) karya Ferdinan Lips (1931-2005), banker Swis yang paham seluk beluk permainan emas dunia, dinyatakan bahwa perang terhadap emas dimulai tahun 1933 ketika Presiden AS, Franklin D. Roselvelt menyita emas-emas —kalau tidak boleh dikatakan merampok— yang dimiliki warganya. Kemudian seenaknya menaikkan harga dari 20.67 US$/Ons menjadi 35 US Dollar/Ons. Dan agaknya “perang” tersebut semakin menjadi-jadi sejak perjanjian Bretton Woods (1971) dicampakkan, kecuali Swiss. Agaknya Swiss merupakan satu-satunya negara yang tetap setia dan bertahan mengikat mata uangnya dengan emas. Hingga pada tahun 1992, Swiss Franc —mata uang Swiss— terkuat di dunia. Bahkan dulu dianggap surga bagi masyarakat internasional yang ingin mengamankan aset-asetnya di Swiss. Tetapi ketika tahun itu pula (1992), Swiss menjadi anggota International Moneter Funding(IMF), ia pun harus melepas ikatan emas mata uangnya. Apaboleh buat, sebagai anggota harus tunduk dengan aturan yang di antaranya melarang anggota IMF mengkaitkan mata uangnya dengan emas. Pertanyaan menarik timbul: Mengapa bank-bank sentral dunia dengan koordinasi IMF justru memerangi emas?

Menurut Lips, emas merupakan barometer standar yang dengan mudah dapat mendeteksi jika terjadi kesalahan dalam sistem keuangan. Sudah barang tentu, para otoritas keuangan dunia tidak suka apabila kesalahan-kesalahannya mudah dibaca publik melalui harga emas. Lips memberi contoh kejadian 1960-an di AS. Awal kesalahan sistem keuangan terbaca dengan naiknya harga emas dari 35 US Dollar menjadi 40 US$.  Situasi tambah memburuk ketika Paman Sam terjerumus dalam Perang Vietnam yang tak pernah dimenangkan meskipun telah dikirim “Rambo” dan “Kolonel Bradock” (hanya dalam filem layar lebar). Puncaknya memang 1971-an ketika sistem keuangan AS tidak bisa dikendalikan, justru ia melepas ikatan US Dollar dengan emas.

Detik-detik menegangkan di atas, direkam oleh Ferdinand Lips sebagai pelaku langsung. Dimana tanggal 10 Agustus 1971 sekelompok banker dan ekonom berkumpul membicarakan krisis moneter di AS, termasuk diantaranya adalah Paul Volker yang saat itu menjabat Under-Secretary of The Treasury for Monetry Affairs. Ada dua opsi. Pertama agar menaikkan suku bunga, kedua naikkan harga emas. Akan tetapi Volker tidak mengambil salah satu dari opsi tersebut bahkan mengambil solusi tak diduga yakni meninggalkan emas dari referensi mata uang US$. Tatkala keputusan tersebut diumumkan Presiden Nixon maka goncanglah dunia! Peristiwa itu dikenang orang dengan istilah Nixon Shock 1971.

Episode berikutnya, dengan bantuan pemerintah-pemerintah di dunia, perang terhadap emas era 1990-an memasuki fase destructive, karena bank-bank sentral justru menjual atau meminjamkan emasnya guna menghancurkan harga emas itu sendiri. Inilah ungkapan Lips. Ia pun akhirnya meninggal secara tidak wajar (2005) karena dianggap banyak tahu tentang seluk beluk permainan emas.

Kenapa Ekonomi Tumbuh tapi Rakyat Tak Sejahtera?

Adalah Benard Lietaer, seorang peneliti dari Center of Sustainable Resources – University of California at Barkeley dalam buku bertajuk The Future of Money: Creating New Wealth, Work and a Wiser World (2001), menulis berbagai fenomena pencarian-pencarian terhadap mata uang baru di dunia oleh sebab kekecewaan masyarakat terhadap sistem uang akhir-akhir ini. Ia menyatakan bahwa sistem keuangan dunia tidak ubahnya “Kasino Raksasa” yang digerakkan secara spekulatif. Betapa 100 kali/per hari total transaksi di bursa saham di seluruh dunia, ternyata hanya 2% terkait dengan transaksi barang dan jasa di sektor riil, sedangkan 98%-nya hanya transaksi spekulatif.

Hasil penelitian Benard selaras dengan pendapat Ibnu Taimayyah, seharusnya negara mencetak uang hanya sebesar transaksi barang dan jasa yang dibutuhkan oleh rakyat di suatu negara. Merujuk asumsi Benard di atas, terkait dengan kenyataan yang kini terjadi bahwa sesungguhnya hanya 2% saja (uang) yang diperlukan dunia. Memang terlalu idealis. Akan tetapi dampak dari besarnya porsi uang di transaksi spekulatif dibanding sektor riil, maka nilai uang menjadi rentan terhadap ulah-ulah spekulan.

Ketika porsi terbesar uang tidak untuk menggerakkan transaksi riil, tetapi dalam praktek sehari-hari pemerintah justru sibuk menjaga nilai uang ketimbang menggerakkan sektor riil.  Inilah yang kini berlangsung. Lapangan kerja tidak tersedia, kemakmuran sulit terwujud, kata Benard, dunia menjadi tidak bijak karena mengharap “durian runtuh” dari hasil spekulasi daripada kerja yang benar-benar riil.

Dari uraian di atas terjawab sudah, kenapa meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 6,3% namun tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan rakyat? Agaknya ini biang keladi. Jawaban utamanya singkat saja, yakni selain pertumbuhan ekonomi dipacu oleh sektor non riil (spekulatif), juga pertumbuhan hanya digerakkan oleh segelintir orang pemilik modal terutama yang bermain di dalam transaksi spekulatif (pasar modal).

Akhirnya ketika Bank Indonesia (BI) melakukan intervensi pasar dengan gelontoran dana triliunan rupiah sebab melemahnya rupiah di pasar modal, tak berlebihan jika menyebut kebijakan BI ibarat “membuang garam di laut”, oleh karena tidak berdampak langsung bagi kesejahteraan rakyat. Ini sering terjadi. Seandainya hardcash sebanyak itu digunakan untuk memberdayakan sektor-sektor riil di masyarakat mungkin lebih bijak, karena selain bisa mencipta lapangan kerja dan lainnya terutama bagi bangsa ini adalah melepaskan diri dari perangkap asing dengan berbagai “jerat-jerat”-nya. Seperti jerat utang misalnya, atau jerat impor kedelai, singkong, ikan, beras, jagung dan lain-lain. Hasilnya akan lebih nyata terlihat bagi sistem kesejahteraan rakyat.

Dalam diskusi terbatas di forum Kepentingan Nasional RI (KENARI) pimpinan Dirgo D. Purbo, selalu ditekankan agar transaksi apapun di republik ini terutama raw material hasil dari bumi Indonesia menggunakan RUPIAH, bukan mata uang lainnya. Niscaya tanpa gelontoran BI diyakini rupiah akan menguat dengan sendirinya tanpa intervensi karena ia dicari pelaku usaha baik dalam maupun luar negeri. Simpel. Teorinya sederhana tapi silahkan buktikan bagi segenap elit dan pengambil kebijakan di republik ini. Itulah salah satu ujud kepentingan nasional RI dalam bidang keuangan yang mutlak ditegakkan!

Ketika masyarakat kecewa atas sistem keuangan kini, menurut Benard, dunia lalu mencari ujud “uang-uang baru”. Beberapa kalangan swasta pun menerbitkan berbagai bentuk, seperti Frequent Flyers Miles misalnya, ia dikeluarkan industri penerbangan, atau Reward Points oleh perbankan dan telekomunikasi, kemudian Vouchers diterbitkan para retailers, juga Credit Balance oleh transaksi barter dan lain-lain. Mungkin yang paling representatif adalah Backed Currencies (BC). Ya, BC merupakan alat tukar yang nilainya dijamin langsung oleh barang dan jasa, diantaranya ialah emas. Ia menjadi primadona. Uang masa depan, kata Benard seharusnya bisa mendatangkan kemakmuran, bisa mencipta lapangan kerja dan dapat membuat dunia bijaksana. Uang tidak sekedar menjadi harta yang ditumpuk namun  benar-benar mendatangkan kemakmuran bukan pada golongan yang kaya saja.

IMF: Tinggalkan US Dollar!

Manakala dulu IMF menyeru agar dunia meninggalkan US Dollar (Republika, 2/3/2010), publik global sempat ternganga. Fenomena ini cukup valid karena dinyatakan oleh Dominique Strauss-Kahn, Direktur IMF saat itu. Ini sangat menarik karena dulu, salah satu alasan (tersirat) AS menyerbu Irak (2003) dengan berbagai dalih karena Saddam Husein berniat mengubah cadangan devisa termasuk semua transaksi minyak dari US Dollar diganti Euro. Atau kenapa AS dan sekutunya NATO membombardir Libya sebab Gaddafi hendak mengganti transaksi minyak di negaranya dari dolar ke uang emas (dinar), dan lain-lainnya. Agaknya Paman Sam akan meradang jika ada negara-negara di dunia mempersoalkan “dolar”-nya dalam transaksi apapun terutama minyak. Pertanyaan yang timbul adalah: Apa hidden agenda dibalik statement direktur IMF dahulu; mengapa baru diwacanakan dan apa rencana uang pengganti US Dollar kelak?

Walaupun akhirnya Dominique Kahn, dijerat hukum akibat pelecehan sexual dengan Piroska Nagy, staf senior di IMF, tapi yang menarik justru IMF menyelidiki direkturnya sendiri dengan menyewa kantor hukum Morgan, Lewis & Bockius LLP. Persoalan apakah “jerat hukum” tersebut sengaja diciptakan terkait statement kontroversial Dominique guna “membunuh” karirnya, tidak akan dibahas dalam tulisan ini.

Pernyataan Dominique sempat menimbulkan berbagai spekulasi dan kajian-kajian berbagai pihak. Beberapa analisa pun muncul di permukaan. Salah satunya ialah dugaan bahwa para petinggi IMF menyadari kalau US Dollar tidak akan survive dalam waktu lama, sehingga perlu dimunculkan wacana tersebut. Semacam test case. Tampaknya mereka ingin memperbaiki sejarah kegagalan pertama IMF sewaktu Nixon Shock tempo doeloe. Pertanyaan berikutnya, mengapa ia berbaik hati dengan memberi isyarat bahwa US Dollar akan gagal lagi?

Jujur saja, ketika terjadi Nixon Shock dahulu pengganti rujukan IMF juga hanya sebatas aturan hukum saja, misalnya dari Bretton Woods Agreement 1945 menjadi Article of Agreement of IMF yang ditandatangani Desember 1971 di Smithsonian Institute. Dan dari lokasi penanda-tangananan saja telah dapat ditebak, siapa dibelakang aturan ini dan untuk kepentingan siapa program-program dibuat. Pada intinya ia masih ingin (tetap) memimpin dunia dengan aturan-aturannya.

Selanjutnya pertanyaan tentang apa pengganti US Dollar nantinya terungkap dari pernyataan Dominique, bahwa pengganti sebagai reserve currency adalah similar to but distinctly different from the IMF’s yakni Special Drawing Rights (SDR). Ya, SDR adalah reserve asset yang dicipta oleh IMF tahun 1969. Awalnya nilai 1 SDR setara dengan 0.888671 gram emas yang saat itu bernilai 1 US Dollar.  Setelah Nixon Shock, SDR yang tadinya setara emas berganti dengan sekeranjang mata uang kuat dunia. Untuk saat ini isi keranjang tersebut terdiri dari US$, poundsterling, euro dan yen.

Dan apabila kelak US Dollar diganti dengan SDR kendati dengan bentuk terbaru sekalipun tetap tidak dapat menjadi reserve asset yang sesungguhnya, sebab nilainya juga mengalami keruntuhan sebagaimana sekeranjang mata uang kertas lain yang digunakan menghitung nilainya. Mengakhir artikel sederhana ini, sebagai himbauan yang tepat ialah: Selagi sempat maka segera tinggalkan dolar, kembalilah ke emas!

Demikian adanya, demikianlah sebaiknya. Terimakasih

* Dari berbagai sumber dan link serta diskusi-diskusi terbatas di Forum KENARI dan Global Future Institute, Jakarta)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com