Teori geopolitik Alfred T Mahan (1840–1914) tentang “Kekuatan Maritim” mengajarkan, bahwa sea power (kekuatan laut) tidak hanya berimplikasi militer, namun juga memiliki tujuan (geo) ekonomi serta aspek-aspek lain. Berbasis praktek-praktek empiris, terdapat tiga elemen pokok pada “kekuatan laut”,antara lain yaitu: (1) kontrol lalu lintas komersil dan perdagangan internasional; (2) kemampuan operasi tempur Angkatan Laut (AL) dan penggunaan instrumen AL dalam aspek diplomasi; dan ke (3) sebagai penggetar (deterens) dan pengaruh politik di masa damai. Pertanyaan menariknya, “Adakah geliat militer kita terutama TNI-AL menampakkan ketiga hal di atas, atau tidak sama sekali?”
Hal tersebut —konsep sea power— dianggap berbeda dengan land power (kekuatan darat) ataupun air power (kekuatan udara) yang katanya hanya berorientasi militer belaka. Sea power memang tidak terpisah dengan kepentingan (geo) ekonomi sebuah negara bangsa. Meski penulis sebenarnya kurang setuju bila land power dan air power dinilai hanya berorientasi militer semata, karena pada saat-saat dan momentum tertentu keduanya juga berimplikasi terhadap (geo) ekonomi dalam arti luas. Tak boleh tidak. Ketiganya, baik itu kekuatan laut, darat maupun udara hanya sekedar matra atau ‘pintu” daripada sebuah tujuan dan kerapkali bersinergi pada situasi tertentu, artinya ia tidak boleh mengunggulkan salah satu matra saja, sementara lainnya diabaikan. Mutlak harus timbul atau ada harmonisasi secara simultan dengan intensitas berbeda setelah melalui audit lingkungan yang selalu berubah.
Dalam perspektif (perilaku) geopolitik, semuanya memang tergantung dari ruang (space), waktu (time), perjuangan (struggle) dan kondisi sasaran (the people). Tetapi silahkan tunda dulu diskusi soal hal tersebut, kita lanjut tentang sea power. Dan pada akhirnya, doktrin Mahan hingga kini masih dinilai keramat oleh AL Amerika, “Barang siapa menguasai Lautan Hindia, maka akan menjadi kunci dalam percaturan dunia”.
Cina pun tampaknya demikian. Entah meniru pola atau ‘mencuri’ ajaran Mahan, terlihat ia lebih membesarkan kekuatan laut daripada kekuatan matra-matra lainnya. Saat ini saja, The People’s Liberation Army Navy (PLAN) —-sebutan AL Cina— relatif dapat diandalkan. Penelusuran Tim Riset GFI, Jakarta, bahwa PLAN punya 250.000 tentara terdiri atas 35.000 orang pada Coastal Defense Force (Pasukan Pertahanan Lepas Pantai), sedang infantry mariner berjumlah 56.000 personel. Belum lagi 56.000 personel Aviation Naval Air (Pasukan Unit Udara Angkatan Laut), dan lain-lain. Bukan itu saja. Kepemilikan kapal selam oleh PLAN pun cukup fantastis. Ia telah memiliki 100 unit kapal selam dimana sebelumnya hanya 35 unit. Sedang kapal pembawa rudal juga meningkat dari 20 menjadi 100 buah. Luar biasa. Pengembangkan postur angkatan laut Cina memang tidak main-main.
Sekitar dekade 2008-an lalu, anggaran pertahanan sebesar 60 miliar USD dan diprakirakan banyak pihak, bahwa enam – tujuh tahun ke depan akan meningkat dua kali lipat. Sehingga era 2015-an mendatang, Cina diyakini memiliki anggaran militer sekitar 120 miliar USD atau bahkan lebih. Sudah barang tentu, fakta-fakta ini mencemaskan Barat terutama Amerika (AS) dan sekutu, apalagi kelompok negara dan beberapa anasir pemain global yang mempercayai ramalan “The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order”-nya Samuel P Huntington, bahwa akan meletus perang terbuka AS versus Cina dan melibatkan polarisasi baru antara AS + Uni Eropa melawan Cina + Kelompok Negara Islam.
Ketika perayaan ulang tahun PLAN ke-60 yang lalu, ia sengaja pamer kekuatan (show fo force) kepada publik global atas kekuatan AL-nya. Cina mengeluarkan berbagai jenis kapal, seperti kapal selam misalnya, atau kapal penghancur, frigate, dll termasuk kapal yang memiliki fasilitas rumah sakit. Hal ini merupakan bukti bahwa transformasi sea power di Cina berjalan gemilang. Bahkan Negeri Tirai Bambu sudah mulai menitikberatkan modernisasi angkatan lautnya di bidang teknologi dan informasi.
Tak boleh dipungkiri, bahwa pengembangan dan pembesaran PLAN kemungkinan besar dilatar-belakangi selain kian memanasnya suhu politik di Laut Cina antara Paman Mao sendiri melawan beberapa negara di sekitar perairannya dengan tajuk ‘sengketa perbatasan’ — akan tetapi yang utama ialah penguatan “String of Pearls”.Inilah strategi handal Cina di perairan dalam rangka mengamankan energy security (ketahanan dan jaminan pasokan energi) termasuk mengawal hilir mudik ekspor-impornya di berbagai negara melalui perairan (Lihat gambar String of Pearls).
Retorika menggelitik muncul, “Sudahkah geostrategi Indonesia mengantisipasi trendpolitik global di perairan tersebut?” Ya. Retorika ini mugkin cuma CERMIN BERSAMA agar kita jangan gaduh (sendiri) di tataran hilir, sementara persoalan POKOK bangsa justru diabaikan. Lihatlah, panggung politik terlihat glamour namun tak punya makna apa-apa bagi Kepentingan Nasional RI. Para elit masih sibuk serta gaduh pada tataran hilir belaka. Atau kegaduhan itu cuma penyesatan bagi rakyat karena ada hidden agenda lain yang ingin diloloskan?
Hentikan segera “skenario-skenario tandingan”! Stop pagelaran-pagelaran politik bertema “Gatot Koco Kembar”! Rakyat butuh keamanan, kenyamanan, dan kepastian-kepastian. Atau jangan-jangan, kita —tanpa sadar—- telah “hanyut” dalam geostrategi asing yang sengaja dicipta untuk melemahkan republik ini dari sisi internal, sedang sebagian anak bangsa dan elit politik justru menari-nari mengikuti irama gendang yang ditabuh oleh asing?
Agaknya, pembangunan sistem pertahanan keamanan (sishankam) kita kurang berbasis ancaman nyata dan ancaman potensial yang selaras dengan kecenderungan dan perkembangan geopolitik global. Sishankam selama ini hanya bertumpu pada tugas pokok dengan penguatan matra tertentu. Kita gagal mengingat, bahwa sudah sekian dekade sebagian wilayah udara ‘direbut’ oleh Singapore —para elit adem ayem saja— atau illegal fishing kian semarak, penyelundupan dan pencurian pasir berlanjut secara masif dan sistematis, serta berbagai kejadian lain merobek martabat bangsa dan menggerus nilai-nilai kedaulatan negara. Pertanyaan lagi, “Sudahkah negeri ini memiliki sistem pengawasan terhadap ALKI pasca satelit palapa dijual; apakah kita punya pola pengamanan perairan, ataupun pertahanan lepas pantai, pemantauan selat, dll guna mengamankan ALKI?”
Jika merujuk keterpaduan antara sea power dan land power misalnya, seyogyanya harus bercokol batalyon-batalyon kavaleri ataupun arteleri di Bakauheni dan Merak guna mengawasi pintu masuk di ALKI I (Selat Sunda), demikian pula di Selat Lombok dan selat-selat lain yang terlintasi oleh ALKI. Mungkin perlu digagas pengawasan dan sistem pengamanan laut lain melalui pemanfaatan air power di setiap ALKI. Itulah sinergitas kematraan.
Poros Maritim Dunia (Tol Laut) sejatinya merupakan implementasi sea power dalam lingkup terbatas, ia akan menjadi program super dahsyat di kawasan Asia Pasifik bila bangsa ini telah meraih dan menggenggam dulu TRISAKTI-nya Bung Karno (berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan bermartabat dalam berkebudayaan), atau paling minimal —bila ‘mendesak’ di bangun Tol Laut— terlebih dulu Indonesia harus memiliki pola pengamanan (dan pengawasan) yang handal, profesional, sinergi, dan canggih terhadap titik-titik strategis di wilayah perairan. Kenapa demikian, bahwa Tol Laut cenderung bahkan mungkin berpotensi menimbulkan ‘bencana geopolitik’ bagi negara ini jika pembangunan infrastruktur, sistem keamanan laut, dll diserahkan kepada asing sebagaimana usul Susi Pujiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan RI. Bila semua dilimpahkan ke asing, niscaya sistem dan mekanisme di pelabuhan-pelabuhan dalam kendali mereka. Kapal-kapal kita akan menjadi tamu di negeri sendiri. Kapan boleh merapat atau tidak, tergantung si pemegang sistem. Ketika Bu Susi hendak memberi kewenangan pemberantasan illegal fishing kepada Paman Sam, bukankah itu bermakna bahwa prosedur dan mekanisme pengamanan laut pun di bawah kontrol asing pula?
Lengkaplah sudah, jika pembangunan infrastruktur (dan otomatis sistemnya) diserahkan kepada asing termasuk proses penegakkan hukumnya, maka tinggal menunggu waktu kapan perairan NKRI yang kaya sumberdaya ini diakuisisi.
Sebagaimana isyarat di prolog tulisan ini, bahwa program dan kebijakan yang berdimensi strategis, namun tidak dibarengi pengetahuan tentang anatomi permasalahan, tanpa basis mendalam soal geopolitik, dan tidak ada kajian tentang mana kebutuhan (agenda) prioritas bangsa, justru kebijakan tadi malah menimbulkan masalah baru yang lebih besar dan kompleks. Pada akhirnya pemerintah justru menjadi bagian dari masalah, bukan bagian solusi bangsanya.
Perairan Indonesia yang telah memiliki PAGAR sesuai Deklarasi Djuanda 1957, UNCLOS 1982, UU 6/1996, dan PP 36/2002, dengan sendirinya akan tercabik-cabik dari sisi internal justru seizin “tuan rumah”-nya sendiri. Alangah ironis! Hal inilah yang diibaratkan oleh Dr Y Paonganan memberi akses ‘kamar pribadi’ di rumah dan pekarangan kepada maling, nanti istri kita pun akan dicuri.
Selanjutnya, manakala mencermati posisi silang Indonesia, kemudian menyatukan abstraksi posisi tadi dengan mapping pangkalan militer (milik AS) yang bercokol hampir di setiap ujung-ujung (geo) persilangan dan sekitarnya —- lalu dibarengi cermatan jeli atas perilaku geopolitik Barat yang cenderung ofensif, mungkin sudah bisa diterka kemana muara motivasi politik AS terhadap Indonesia. Masih ingat statement Nixon? Penulis Amerika, Charlie Illingworth, menyatakan: “Presiden AS Richard Nixon (1969-1974) menginginkan kekayaan alam Indonesia diperas sampai kering. Indonesia, ibarat sebuah real estate terbesar di dunia, tak boleh jatuh ke tangan Uni Sovyet atau China.” Pertanyaannya, bukankah perilaku (geopolitik) merupakan cermin dari motivasi yang ingin diraih? Sesungguhnya, kita telah dijadikan TARGET oleh Paman Sam sejak doeloe!
Perlu disimak bersama, bahwa inti gerakan Poros Maritim Dunia ialah melintang secara horizontal dari Timut ke Barat, dan sebaliknya — dimana hal tersebut senafas dengan usulan ALKI IV yang dahulu pernah digagas oleh Paman Sam dan Australia, namun ditolak Indonesia karena disinyalir akan mengacak-acak pagar perairan NKRI tercinta. Kenapa? ALKI I, II, dan III bersifat vertikal dari Selatan ke Utara atau sebaliknya, maka seandainya dulu disetujui ALKI IV minimal akan ada tiga key point(titik temu) dimana kapal-kapal asing yang seharusnya cuma melintas (dengan cepat) malah diberi peluang untuk melakukan meeting di ALKI atas nama rendezvous (pertemuan di laut – bahasa Prancis), konsolidasi, dll dalam pekarangan (perairan) kita sendiri. Bukan itu saja. Secara filosofi, hakiki lintasan pada ALKI I – III itu bermula dari luar NKRI dan berakhir di luar NKRI — tanpa boleh berhenti sama sekali kecuali force majeure (darurat), sedangkan filosofi lintasan Tol Laut justru berawal dari dalam NKRI menuju/dan berakhir di dalam NKRI lagi. Istilahnya berputar-putar di lingkar dalam. Belum lagi akan banyak key point atau titik pertemuan justru di dalam perairan Indonesia. Inilah yang perlu disadari bersama, dan barangkali inilah penyebab kegelisahan Y Paonganan, pakar kelautan Indonesia.
Ya. Kajian ini memang belum dapat disebut kebenaran, dan tak ada secuilpun niatan membenarkan diri. Sama sekali tidak. Sangat terbuka untuk kritik dan saran demi kesempurnaan esensi catatan ini. Tak ada maksud dan tujuan apapun di benak penulis selain mimpi kejayaan bangsa dan negara menjadi nyata di Abad XXI ini. Kenapa demikian, betapa ramalan leluhur tidak pernah berhenti mengusik mimpiku di setiap malam, bahwa kejayaan Nusantara niscaya terulang setiap tujuh abad. Abad VII disebut Nusantara I masa Sriwijaya; Abad XIV dinamai Nusantara II zaman Majapahit; dan Abad XXI adalah Nusantara III — itulah era INDONESIA JAYA. Lalu, kapan?
Bangkitlah bangsaku!
Tulisan ini lanjutan dua artikel sebelumnya yang berjudul: 1) Membaca Poros Maritim Dunia dan Posisi Silang dari Perspektif Geopolitk, dan yang ke 2) Hakekat Geopolitik, Geostrategi dan Geoekonomi di website The Global Review.
Bahan bacaan:
—- Menuju Ketahanan Nasional bidang Pertahanan, Energi dan Pangan, The Global Review, The Journal of International Studies, Edisi VI, Nopember 2014. ————————————
—- ‘Sea Power’ dan Poros Maritim, Suryo Wibisono, OPINI, Kedaulatan Rakyat, 26 Nopember 2014.—–
—- Lemhanas: 50 Persen Perdagangan Dunia Lewat Perairan Indonesia, http://hariansib.co/mobile/?open=content&id=13659——
—– Menjadi Poros Maritim Dunia, Mampukah Kita? http://news.detik.com/read/2014/11/12/174430/2746580/103/menjadi-poros-maritim-dunia-mampukah-kita?nd772204btr ——
Penulis: M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)