Verboden Voor Honden En Inlanders

Bagikan artikel ini

Membaca Titik Krusial Kudeta Konstitusi 1999-2002

Amandemen/perubahan UUD 1945 yang paling brutal —katakanlah, itu ‘kudeta konstitusi’— menurut hemat penulis, berlangsung pada 3 (tiga) titik/area krusial dalam konstitusi. Ketiga area dimaksud kini berjalan simultan dengan intensitas berbeda, karena sah tertulis di UUD NRI 1945 Produk Amandemen (1999-2002).

Adapun tiga titik krusial tersebut antara lain:

Pertama, diturunkan status MPR dari Lembaga Tertinggi Negara menjadi Lembaga Tinggi setingkat DPR, MK, BPK, Presiden dan lain-lain. Tersirat, itulah momen terhapusnya atau hilangnya Kedaulatan Rakyat digantikan oleh Kedaulatan Partai Politik (Parpol) vide Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945.

Kenapa demikian?

Sebab, MPR dulu penjelmaan rakyat, bisa membuat GBHN, memilih bahkan memberhentikan Presiden dst; kini tidak lagi memiliki kewenangan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Sekarang, Presiden dicalonkan oleh Parpol dan gabungan Parpol. Unsur lain tidak berwenang. Itu tersurat pada UUD Produk Amandemen. Padahal, yang merebut kemerdekaan tempo doeloe ialah rakyat, bukan siapa-siapa. Apalagi Parpol.

Pasca-amandemen UUD Naskah Asli, timbul tren perpolitikan di tanah air:

Tren ke-1. Parpol merupakan pemilik saham satu-satunya di republik. Maka konsekuensi logisnya terjadi ‘politisasi’ nyaris di semua lini kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara teori, bila ‘politisasi’ diletak pada puncak segitiga sama kaki, maka dua kakinya adalah; 1) komersialisasi pihak kawan, 2) kriminalisasi terhadap oposisi (IN, 2002).

Komersialisasi pihak kawan, contohnya, ia dapat projek, atau diberi jabatan, previlege dan lain-lain; sedang kriminalisasi justru kebalikannya. Dicari-cari kesalahan bisnisnya, kalau perlu dimatikan, atau di-“KPK”-kan kiprah masa lalunya, dan lain-lain.

Tren ke-2. Kewenangan Presiden menjadi sangat besar lagi luas. Dan rakyat cq MPR tidak lagi berdaulat. Terbitnya Ketetapan/TAP MPR cuma joint session. Hanya untuk seremonial dan administratif, TAP MPR kini tak lagi bersifat regeling atau mengatur seperti sebelum amandemen. Apabila Presiden melakukan pelanggaran, proses pemakzulannya (Pasal 7A) menelan waktu lama dan cenderung mbulet. Apalagi, bila Parlemen dan MK dalam ‘genggam’ rezim kekuasaan, niscaya semua upaya pemakzulan berujung niskala. Buang-buang waktu percuma.

Titik Krusial Kedua, adanya perubahan —lebih tepat, penggantian— Pasal 6 Ayat (1) tentang Presiden ialah orang asli Indonesia diubah menjadi Presiden adalah warga negara Indonesia.

Artinya apa?

Kelak, Indonesia akan dipimpin oleh warga negara keturunan. Entah keturunan Libanon, ataupun China, Arab, Jerman, atau keturunan Afrika dan seterusnya. Ini bukan sikap rasisme dan unjuk sentimen. Tidak sama sekali. Indonesia bukanlah negara imigran seperti Australia, Amerika, atau Singapura, dimana penduduk asli justru terpinggirkan. Indonesia itu Negara Bangsa (Nation State). Bangsa yang membentuk negara. Negara merupakan sarana rakyat meraih tujuannya yakni Keadilan sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Salah satu ciri Negara Bangsa, bahwa unsur penduduk asli lebih dominan dan mayoritas daripada kaum (imigran) pendatang.

Namun hari ini, tidak sedikit orang Indonesia asli —pribumi— menjadi Absentee of Lord. “Tuan Tanah yang tidak berpijak di tanahnya sendiri”. Bisa jadi, nanti justru menjadi jongos di negeri sendiri. Bahkan, bisa lebih nista lagi sebagaimana pernah terjadi di era penjajahan Belanda: “Verboden voor honden en inlanders“. Anjing dan pribumi dilarang masuk!

Titik Krusial Ketiga, ditambahkannya Ayat (4) dan (5) pada Pasal 33 UUD NRI 1945 Produk Amandemen (1999-2002). Bahwa ayat tambahan tadi, selain menganulir Ayat (3)-nya UUD Naskah Asli, juga menjadi pintu masuk bagi swasta dan/atau pihak asing memonopoli hajat hidup orang banyak, menguasai kekayaan alam, meliberalisasi sektor ekonomi dan perdagangan. Inilah survival of the fittest, kata Charles Darwin. Negara tidak hadir, karena dogmanya siapa kuat dia dapat. Free fight liberalism. Kebebasan tidak terkendali sehingga terjadi eksploitasi kaum (ekonomi) lemah. Yang kaya semakin kaya, yang miskin bertambah miskin. Ini dibuktikan oleh Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Set Wapres RI, 2019, bahwa 1% orang Indonesia menguasai 50% aset nasional. Buset. Jadi, sisa 50% aset nasional lain jadi rebutan 99% penduduk? Sekali lagi, buset!

Pun demikian sewaktu Kunjungan Kerja Ketua DPD RI, LaNyalla Mattalitti, ke 34 provinsi dan 300-an kabupaten/kota kurun waktu 2021-2023, meskipun ada pembangunan infrastruktur di satu sisi, tetapi pada sisi lain — masih ditemukan hal-hal fundamental di daerah yakni ketidakadilan dan kemiskinan struktural. Sungguh miris. Kemiskinan struktural lho, bukan kemiskinan natural ataupun kultural. Bahasa vulgar kemiskinan struktural ialah orang/rakyat menjadi miskin akibat kebijakan, alias ‘dimiskinkan’ oleh kebijakan. Retorika menggelitik muncul, “Bagaimana negara bakal sejahtera, sedang kebijakannya justru memiskinkan rakyat?”.

Demikianlah bacaan tentang kebrutalan Kudeta Konstitusi terhadap UUD 1945 rumusan the Founding Fathers, terutama di tiga area krusial di atas.

Catatan ini bukanlah kebenaran, apalagi bermaksud pembenaran. Tidak. Kami sangat menyadari, bahwa sesuatu yang dikatakan benar itu bergerak menurut sifat dan tuntutan zaman. Maka perubahan itu keniscayaan. Tan kena tinambak srana. Akan tetapi, selain daripada itu bahwa ‘kebenaran’ masih belum bisa dikatakan benar secara mutlak, sebab kebenaran hakiki bersumber dari Dia, Tuhan Yang Mahabenar (dengan segala firmanNya).

Marhaban Ya Ramadhan!

M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com