VUCA dalam Perspektif Geopolitik

Bagikan artikel ini

Hakikat VUCA di Era 4.0 ialah “revolusi senyap” yang menerjang berbagai lini kehidupan hampir di semua sektor, barangkali, jika berbeda dalam implementasi hanya soal intesitas perubahan. Ada yang radikal, misalnya, atau separuh radikal, gradual, ada pula yang tidak berubah sesuai maqom masing-masing. “Segala sesuatu bisa berubah kecuali perubahan itu sendiri,” itu password VUCA.

Password di atas, mirip mantra sakti Herakleitos, “Segala sesuatu berubah, tidak ada yang tetap. Satu-satunya yang tetap hanyalah perubahan itu sendiri” (540 SM – 480 SM).

Akan tetapi, apabila jeli mencermati, poin VUCA sepertinya ialah penggiringan publik pada agenda tertentu terutama perubahan budaya offline ke online bahkan dapat menjadi digitalisasi peradaban.

Jadi, kemana VUCA kelak akan berlabuh? Memang perlu kajian lebih dalam. Di beberapa diskusi oleh Forum Sanyata Coffee, muncul asumsi bahwa muara VUCA adalah perubahan fiat money (uang kertas) menjadi crypto currency (uang digital). Namun masih perlu kajian lebih tajam lagi atas asumsi tersebut.

Ya. Bagi manajemen tak adaptif, VUCA ibarat hantu menakutkan; bagi marketing tak fleksibel, gejolak pasar pasti sulit dikendalikan; bagi leadership tak inspiratif, VUCA bisa membuatnya kedodoran. Betapa tidak. Raksasa sekelas Nokia, Blackberry, Sony Ericsson dan lain-lain pun kolaps. Tidak cuma itu, beberapa aneka profesi pun terpuruk kemudian lenyap perlahan.

Dunia bisnis, misalnya, dimana selama ini mendewakan kredo efektif dan efisien — sekarang ambyar. Porak-poranda. Ibarat pandemi, VUCA semacam “virus” bagi sektor yang tidak ber-imun tinggi terhadap perubahan. Ia menjelma sebagai sarana alam menyeleksi entitas siapa berhak hidup, berkembang, menyusut atau punah. Teringat teori kuno Charles Darwin, intinya — orang hebat bukanlah manusia cerdas atau kuat, tetapi orang yang mampu beradaptasi terhadap perubahan.

“Ruh”-nya VUCA ialah teknologi terutama IT yang berbasis internet.

Menurut Toynbee, VUCA dianggap peradaban bergerak. Adapun urutan gerak yakni permulaan – pertumbuhan – kerusakan – pembubaran dan mati. Silahkan analogi pada sektor-sektor yang mulai terseok, meredup dan punah. Itu tahap perubahan ala Toynbee.

Bila VUCA dianggap tesis, kontra-VUCA sebenarnya sudah ada, misalnya, volatility (bergejolak) dihadapi dengan vision (sikap visioner); uncertainty (ketidakpastian) dihadang dengan understanding (pemahaman situasi); atau complexity (kompleksitas) dijawab dengan clarity (kejelasan); dan ambiguitas (ketidakjelasan) dikontra dengan agility (kelincahan) dan seterusnya. Itulah antitesis VUCA ala Bob Johansen dari Institute for the Future di Silicon Valley. Intinya, VUCA harus dilawan dengan VUCA pula. Boleh saja. Karena dunia akademis memberi ruang diskusi (kebenaran ilmu) melalui dialektika ala Freiderich Hegel (1770 – 1831) yaitu: tesis-antitesis-sintesis.

Lantas, bagaimana geopolitik memandang fenomena VUCA?

Secara umum, objek geopolitik adalah organisme yang hidup, berkembang, menyusut dan mati. Apapun organisme bisa menjadi objek, namun lebih khusus — core business geopolitik ialah negara (dan bangsa). Entah ia sebagai objek atau negara selaku subjek.

Ratzel mengajarkan, hanya bangsa unggul yang mampu bertahan hidup dan melegitimasi hukum ekspansi. Inilah siklus (hukum) alam yang dikonsepsikan.

Inti geopolitik adalah (dimensi) ruang. Bagi para pembelajar geopolitik pasti memahami hal itu. Kendati ada tiga dimensi lain dalam geopolitik namun tidak dibahas pada diskusi ini kecuali sekilas untuk menyambungkan.

Merujuk isyarat Ratzel bahwa entitas yang mampu beradaptasi dengan perubahan disebut bangsa unggul, lalu ia berhak melegitimasi hukum ekspansi. Demikan pula tesis Darwin pada prolog tulisan ini. Orang hebat ialah orang yang mampu beradaptasi dengan lingkungan.

Nah, bukankah petunjuk di langit, ketika Iblis sebagai makluk Tuhan yang paling cerdas lagi kuat, tetapi ia pun terusir dari syurga karena tidak mampu beradaptasi terhadap lingkungan pasca “lahir”-nya Adam? History repeats itself. Sejarah berulang melalui pola sama, cuma aktor, modus dan waktu berbeda.

Sekarang bicara sistem. Tak boleh dipungkiri, ke-sistem-an merupakan bagian geopolitik. Bukan soal pola: input – process – output dan outcome. Tetapi inti sistem ialah rangkaian saling melengkapi serta ada ketergantungan antara sub sistem yang satu dengan sub sistem lainnya.

Dalam tahapan dan/atau hierarkie sistem, VUCA itu duduknya di metode, tahap (terbawah) paling dasar dalam rangkaian sistem dan berasal dari faktor eksternal, bukan internal. Jadi sifatnya hanya faktor yang mempengaruhi, tetapi dominan. Artinya, jika faktor dimaksud diabaikan atau tidak diakomodir, ia dapat merugikan sistem itu sendiri.

Dalam praktik, hancurnya metode mampu menggoyahkan top management. Lemahnya man power, misalnya, bisa berimplikasi ke kinerja marketing dan seterusnya. Itu penggalan contoh. Lain waktu kita bahas lebih detail soal sistem.

Merujuk judul diskusi ini, VUCA ialah faktor eksternal di tataran metode. Tidak usah terlalu dirisaukan oleh berbagai entitas hanya memang perlu langkah antispasif dan adaptatif bersifat inspiratif sesuai tuntutan zaman. Jika tidak, maka suatu entitas selain terseok, juga bisa ambyar!

Terima kasih.

***) Pointers diskusi di Sanyata Coffee pimpinan Romeo10 WE CREATE THE FUTURE LEADERS

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com