Wabah Virus Corona, Rangkaian Aksi Destabilisasi AS dan NATO terhadap Cina dan Rusia?

Bagikan artikel ini

Berdasarkan penelitian dan kajian sebelumnya terkait keberadaan laboratorium bertujuan ganda ala NAMRU-2 AS di Indonesia dan beberapa negara di Asia Tenggara, beberapa negara Barat seperti AS dan sekutu strategisnya NATO, terbukti pernah menjalankan proyek pengembangan senjata biologis untuk membunuh masyarakat daripada dengan membunuh dengan peluru dan bom. Karena biayanya jauh lebih murah.

Beberapa waktu lalu, Peter Koenig menulis sebuah artikel menarik berjudul: Chinese Resilience and Silent, Simple and Steady Resistance – a Model for Mankind , sebuah laboratorium berhasil ditemukan di Ukraina, negara yang sekarang memisahkan diri dari Rusia, yang mana para ahli di laboratorium itu bekerja menciptakan sebuah virus yang bisa melumpuhkan ras Rusia. Upaya tersebut gagal karena tidak ada ras Rusia yang homogen sebagai obyek eksperimen mereka.

Menurut amatan Peter Koening, virus semacam SARS maupun 2019 –nCov (virus corona) nampaknya sangat cocok dengan pola-pola yang dikembangkan AS, Pentagon dan NATO, dalam pengembangan senjata biologis. Momentumnya untuk melancarkan aksi destabilisasi terhadap Cina pun pas, yaitu bertepatan dengan hari raya tahun baru Cina. Maka dari itu Koening berani berkesimpulan bahwa dengan diumumkannya wabah virus corona di Wuhan, berarti AS dan sekutunya NATO sedang melancarkan model perang skala  rendah (low grade warfare model), yaitu aksi destabilisasi terhadap pemerintah Cina. Yang bukan tidak mungkin pada tahapan selanjutnya, Rusia pun akan jadi sasaran berikutnya.

Kalau kerangka analisis Peter Koenig kita jadikan acuan berupa pola sama yang diterapkan secara konsisten, maka serangkaian peristiwa yang terjadi mulai dari aksi demonstrasi masyarakat di Hongkong, Taiwan, maupun propaganda pemberitaan terkait pelanggaran hak-hak asasi manusia terhadap suku Uyghur di Xinjiang, bisa kita baca sebagai serangkaian aksi destablisasi yang dilancarkan secara konsisten dan berkesinambungan terhadap Cina.

Dengan demikian, penyebaran virus corona pun merupakan bagian dari aksi destabilisasi negara-negara Barat kepada Cina. Berarti, bukan pemberitaan yang selama ini beredar di berbagai media arus utama di Amerika dan Eropa Barat, melainkan hanya sekadar fabrikasi.

Menariknya, menurut Koenig, pemerintah dan rakyat Cina mampu menanggulangi penyebaran wabah virus corona tersebut dengan tenang dan efektif. Cina berhasil mempertunjukkan ketahanan nasional dan daya adaptasinya secara mengagumkan. Tanpa melancarkan kontra agresi terhadap fabrikasi pemberitaan pihak negara-negara Barat, bahkan sama sekali tidak pernah melancarkan tuduhan balik. Meskipun AS melalui berbagai media arus utamanya, menghembuskan isu bahwa di Wuhan ada sebuah laboratorium yang disinyalir merupakan pusat pengembangan senjata biologis melalui virus.

Cina juga mampu mengembangkan jembatan antara pemerintah dan masyarakat, maupun antar berbagai negara dan kebudayaan, seturut dengan munculkan wabah virus corona ini. Pemerintah dan rakyat Cina bahu-membahu menanggulangi wabah virus tersebut.

Tanpa gembar-gembor dan ribut-ribut, Cina dan Rusia saat ini sedang mengembangkan vaksin untuk virus corona jenis baru yang muncul di Wuhan. Artinya, para pakar Cina dan Rusia mulai mengembangkan vaksin. Sehingga memungkinkan para ilmuwan kedua negara dapat mengembangkan diagnosis cepat, dan mengidentifikasi virus corona di tubuh manusia dalam waktu dua jam. Menurut berita yang dilansir harian Kompas 30 Januari 2020, Beijing telah menyerahkan genom  virus itu kepada Moskwa. Genom virus inilah yang diharapkan bisa agar para ilmuwan segera bisa mengembangkan diagnosis cepat dan mengidentifikasi virus corona di tubuh manusia dalam waktu secepatnya. Dengan kata lain,dengan memiliki genom virusnya, para ilmuwah mampu memvalidasi dan memverifikasi semua metode pengujian.

Singkat cerita, apa yang dilakukan para ilmuwan Cina maupun Rusia, benar-benar ditujukan buat menyelamatkan umat manusia. Sedangkan bagi AS maupun Barat, fenomena penyebaran penyakit lebih dipandang sebagai lahan bisnis, sehingga memperlakukan para penderita penyakit wabah tersebut sebagai peluang pasar. Adapun yang belum menderita penyakit, dianggap sebagai potensi pasar.

Diolah kembali oleh Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com