Xi Jinping dan Rumor Coup D’etat

Bagikan artikel ini

Minggu terakhir September 2022 telah beredar secara luas kabar tentang ‘Coup D’etat’ atau pengambilalihan kekuasaan di Cina dan tahanan rumah dikenakan terhadap Presiden Xi Jinping. Kabar yang menyebar melalui jaringan media-sosial ini merangkum 3 (tiga) indikasi terjadinya coup d’etat yaitu: absennya Presiden Xi Jinping di depan publik sejak pertengahan September 2022; pembatalan dan pengunduran jadwal penerbangan domestik maupun internasional; dan adanya rekaman tentang konvoi panjang truk-truk militer menuju ibukota Beijing. Berita terkait pengambilalihan kekuasaan di Cina menjadi makin liar dan tak menentu karena tidak segera mendapat tanggapan resmi dari otoritas di Beijing.

Berita coup d’etat di Cina meski tidak terverifikasi sumber otentiknya sangat menarik perhatian pembaca dan viral ke seluruh dunia terutama wilayah Asia. Disebutkan bahwa Presiden Xi Jinping telah dikudeta oleh Jendral Li Qiaoming dan langsung dikenakan tahanan rumah pada tanggal 16 September sekembalinya dari menghadiri Summit Meeting SCO (Shanghai Cooperation Organization) di Samarkand, Uzbekistan. Berita tersebut juga masih dibumbui dengan bunyi letusan tembakan yang diklaim terjadi di Beijing, serta iring-iringan truk militer menuju ‘Zhongnanhai’, Kantor Pusat Komite Sentral PKC (Partai Komunis Cina).

Ketidakpastian tentang berita Coup D’etat di Cina akhirnya terbantah dengan kemunculan Presiden Xi Jinping di Exibition Hall Beijing. Didampingi oleh PM Li Keqiang dan sejumlah pejabat tinggi Cina serta anggota Politbiro PKC, pada tanggal 27 September 2022 Presiden Xi hadir di depan umum untuk menyaksikan Expo dengan tema “Fenjin Xin Shidai” (Terus Melangkah ke Era Baru), yang menampilkan foto-foto serta penjelasan mengenai perkembangan dan keberhasilan pembangunan ekonomi Cina selama satu dekade terakhir di bawah duet kepemimpinan Presiden Xi Jinping dan Perdana Menteri Li Keqiang.

Rumor dan Fakta Sebenarnya

Rumor berbagai spektrum dari masalah politik-keamanan, sosial-ekonomi serta aspek pemerintahan pada umumnya sering terjadi di Cina utamanya disebabkan karena sangat tertutupnya sistem politik yang berlaku, dimana segala permasalahan penting diputuskan dalam pintu tertutup. Demikian juga para petinggi partai maupun pemerintahan yang terlibat dalam pengambilan keputusan tidak akan membocorkan apapun yang telah diputuskan. Semua keputusan serta kebijakan pemerintah RRC hanya akan disampaikan ke publik oleh Jurubicara atau pejabat lain yang ditunjuk.

Berita rumor tentang kudeta di Cina bermula dari jaringan medsos para pembangkang Cina termasuk kelompok ‘Falun Gong’, suatu gerakan keagamaan yang dilarang di Cina pada tahun 1999. Seorang aktivis jurnalis memulainya dengan info terjadinya pembatalan beberapa penerbangan di Beijing maupun beberapa kota lain di Cina. Dengan tagar ‘Chinacoup’, rumor kudeta di Cina menjadi ‘trending topic’ di Twitter selama akhir pekan. Tanpa perlu mengecek sumber aslinya, sejumlah media cetak dan elektronik di India termasuk ‘India TV’ mengangkatnya menjadi topik bahasan utama.

Travel data yang terlacak oleh situs FlightRadar24.com menyebutkan bahwa pada akhir pekan tanggal 24 September 2022 terjadi banyak sekali pembatalan sarana transportasi masuk dan keluar Beijing, baik pesawat terbang, kereta api maupun bus antar-kota. Namun websites pelacak penerbangan lainnya menunjukkan bahwa kondisi lalulintas udara di Cina umumnya berjalan normal. Sumber lain menyebutkan terjadinya penundaan atau penjadwalan ulang sejumlah moda transportasi di Cina merupakan hal biasa karena kondisi cuaca atau faktor epidemi terutama di saat pemerintah Cina sedang menerapkan kebijakan ‘Zero Covid’ termasuk melakukan ‘lockdown’ secara tiba-tiba di wilayah tertentu.

Situs Lenta.Ru memberikan info yang menepis rumor terjadinya kudeta di Cina. Diberitakan bahwa penduduk di ibukota Beijing pergi ke taman dan berbelanja ke pasar seperti biasa. Mereka sedang sibuk memanfaatkan ‘Pekan Emas’ untuk merayakan 73 tahun berdirinya negara Republik Rakyat Cina awal Oktober 2022. Pada hari libur menjelang hari lahirnya RRC 1 Oktober, kegiatan moda transportasi darat, udara maupun kereta api justru meningkat dalam melayani penumpang yang akan melakukan perjalanan, baik pulang kampung ataupun liburan ke luar kota. Reporter tersebut juga tidak melihat adanya siaran berbeda ataupun ‘breaking news’ di media cetak, elektronik maupun media sosial setempat.

Fakta yang terjadi dengan absennya Presiden Xi Jinping di depan publik selama sekitar 10 hari sejak kedatangannya dari perjalanan luar negeri karena beliau melakukan karantina/isolasi terkait dengan wabah Covid-19. Pemerintah Cina hingga saat ini masih terus menerapkan kebijakan “Zero Covid” yang mengharuskan setiap orang yang datang ke Cina dari negara lain untuk menjalani karantina selama 7 (tujuh) hari di hotel dan 3 (tiga) hari di rumah. Pada bulan Juli Presiden Xi juga melakukan isolasi mandiri selama lebih dari seminggu sepulang dari Hongkong menghadiri peringatan 25 tahun kembalinya wilayah ini ke dalam kedaulatan Cina.

Xi, Orang Kuat Cina Setelah Mao

Rumor coup d’etat di Cina menjadi lebih berbobot terkait dengan spekulasi perebutan kekuasaan internal antar elit pimpinan partai menjelang Kongres PKC ke-20 yang akan dimulai pada pertengahan bulan Oktober 2022. Tertutupnya informasi di Cina telah mendorong munculnya spekulasi tentang persaingan para elit dalam memperebutkan kekuasaan di partai dan pemerintahan, tidak terkecuali menjelang kongres partai yang akan berlangsung bulan depan.

Pada perhelatan 5 (lima) tahunan Kongres PKC yang dimulai tanggal 16 Oktober 2022, Xi Jinping hampir dipastikan akan dipilih kembali sebagai Sekjen PKC dan Ketua Komisi Militer Pusat untuk ketiga kalinya, setelah ketentuan pembatasan jabatan hanya 2 (dua) kali periode berhasil dihapuskannya dalam Sidang KRN (Kongres Rakyat Nasional) tahun 2018. Guna melancarkan ambisinya sebagai Pemimpin Besar Cina, Xi Jinping membersihkan para penentang dan kader-kader partai yang tidak loyal terhadap kepemimpinannya.

Melalui Gerakan Anti Korupsi yang diluncurkannya, Xi Jinping telah menyasar dan memenjarakan lawan-lawan politiknya dengan dalih terlibat korupsi. Dalam kaitan ini, Pengadilan Cina telah menjatuhkan hukuman mati dengan masa penundaan selama dua tahun terhadap 2 (dua) pejabat tinggi partai dengan tuduhan melakukan tindak korupsi dan penyuapan. Mereka adalah mantan Menteri Kehakiman Fu Zhenghua dan mantan Wakil Menteri Keamanan Publik Sun Lijun. Sementara mantan Kepala Polisi yang membawahi wilayah Shanghai, Chongqing dan Shanxi serta tiga pejabat menengah diganjar hukuman seumur hidup. Mereka berenam dianggap sebagai bagian dari kelompok politik yang tidak loyal terhadap Xi Jinping.

Xi Jinping yang berdarah ideologi komunis dari ayahnya meniti karir politiknya dari bawah, sebagai petugas dalam komune pertanian di Provinsi Shaanxi. Berbekal ijazah sarjana dari Universitas Qinghua Beijing, Xi Jinping berkesempatan menduduki berbagai jabatan penting termasuk sebagai Gubernur Fujian, Sekretaris Partai Provinsi Zhejiang, dan Sekretaris Partai Kota Shanghai. Tahun 2010 Xi Jinping terpilih menjadi anggota Komite Tetap Politbiro PKC, Wakil Presiden RRC dan Wakil Ketua Komisi Militer Pusat. Ketika Hu Jintao menyelesaikan tugasnya sesuai dengan undang-undang, Xi Jinping menggantikannya menjadi orang terkuat Cina dengan merangkap jabatan sebagai Sekjen PKC dan Ketua Komisi Militer Pusat, dan kemudian menjadi Presiden RRC (Maret 2013).

Dengan adanya amandemen Konstitusi tahun 2018 tentang penghapusan pembatasan periode kepresidenan, Xi Jinping mulai mengkonsolidasikan kekuasaan untuk menghadapi rongrongan lawan-lawan politiknya. Melalui ‘Kelompok Kecil’ yang dibentuknya, Xi telah berhasil memasukkan ide-ide dan pemikirannya ke dalam Konstitusi Cina, mengikuti jejak pendahulunya: Mao Zedong, Deng Xiaoping dan Jiang Zemin. Ketika dilantik menjadi Sekjen PKC pada November 2012, Xi Jinping meluncurkan gagasan “China Dream”, yaitu strategi untuk mengembalikan kejayaan Cina sebagaimana yang telah dialami dalam kedinastian ‘Zhongguo’ (Negara Tengah). Pada pidatonya yang lain, Xi Jinping bertekad menjadikan Cina sebagai negara Sosialis modern yang kuat pada tahun 2035, selanjutnya genap seabad berdirinya RRC tahun 2049 Cina akan menggeser posisi Amerika Serikat sebagai Super Power dunia.

Kini Xi Jinping bersama Mao Zedong dan Deng Xiaoping telah menjadi Tiga Serangkai Pendekar Cina Modern. Jika Mao Zedong menjadi tokoh Revolusi dan peletak ideologi Komunisme Cina yang juga dikenal sebagai Maoisme, Deng Xiaoping sebagai tokoh ‘Reformasi dan Pintu Terbuka’ yang membuat Cina mengalami kemajuan pesat di bidang ekonomi dan teknologi, maka Xi Jinping sebagai orang kuat ke-3 menyatukan aspek penting dari Mao dan Deng, yaitu melanjutkan reformasi ekonomi dan industri, serta memperkuat kekuasaan partai dan menjadikan pemerintah Cina dipatuhi pada lingkup domestik dan disegani di mancanegara.

Dalam buku biografi Xi Jinping, duo jurnalis Jerman Stefan Aust dan Adrian Geiges bahkan menuliskan pemerintahan Cina di bawah kepemimpinan Xi kembali mengarah ke model Stalinisme yang diwarnai dengan pengawasan ketat, rasa nasionalisme tinggi, tekad kembali ke kebesaran Cina, serta perlunya diciptakan kontradiksi – musuh dari dalam maupun luar Cina. Penulis memberikan contoh peristiwa ‘penindasan’ masal atas bangsa Uyghur di Provinsi Xinjiang merupakan karyanya. Berbeda dengan Deng Xiaoping yang hanya berpikir untuk kemajuan Cina, Xi Jinping cenderung meniru Mao Zedong untuk mengkonsentrasikan kekuasaan pada satu tangan dan membangun kultus individu.

Bekasi, 1 Oktober 2022

Mohamad Asruchin, mantan Duta Besar RI untuk Uzbekistan. 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com