Sjamsoeir Arfie, Wartawan Senior
Suatu hari, menjelang Magrib seminggu sebelum Idul Fitri tiba saya mengorganisir jumpa pers sebuah organisasi dagang, acara temu wartawan itu berlangsung di restoran sebuah hotel bintang lima di Jakarta Pusat.
Pengunjung dua kali lipat dari yang diundang.
“Ada nggak THR-nya? Kalau nggak ada kami pergi ke acara lain“ kata seorang crew media elektronik, saya mengangguk.
Usai acara beberapa amplop berpindah dari tangan saya, yang namanya tak terdaftar pada daftar hadir meminta dengan berbagai cara, memelas atau setengah tekanan.
“Kalau ada perlu tambahan keterangan harap telepon saya!“ kata saya, ini hanya sinyal, menyatakan siapa yang tidak mau menerima amplop di depan umum boleh menerima di mana saja.
Saya masuk ke kamar mandi, beberapa orang menyusul, mereka lihat kiri kanan, setelah yakin tak ada yang melihat mereka senyum, amplop dari tangan saya kembali berpindah tangan.
Selama tiga hari kemudian, beberapa rekan yang tidak sempat hadir di acara jumpa wartawan itu atau mereka yang menggeleng ketika aku sodori amplop menelpon, ”jatah saya transfer saja lewat bank!” katanya, saya pun senyum.
Pagi itu, menjelang pukul 08.00 WIB saya disinggahi seorang teman, ia mengajak saya menghadiri sebuah pertemuan dengan tema “Bagaimana Mencari Uang Dengan Cara Lebih Mudah Dari Menguap.”
Mengambil tempat di ruang pertemuan sebuah hotel bintang tiga, semacam rapat khusus berlangsung, wajah mereka hampir saya kenal semua, mereka oknum wartawan, yang masih aktif maupun yang sudah pensiun, artinya tidak bekerja di media massa lagi.
Dari hasil pertemuan didapat kesimpulan program “Operasi Batok” yang dilakukan sukses, kerap terjadi sebelum sempat mengucapkan sepatah kata, belum sempat menguap karena lelah, seorang pejabat, anggota DPR atau pengusaha menyodorkan sebuah amplop berisi uang.
“Biasanya dua minggu menjelang lebaran kami menyebar, menemui oknum pejabat, petugas Humas, anggota DPR, penguasa, pengusaha dan sebagainya, bukan mencari berita, tapi mencari uang, kegiatan tersebut dinamakan Operasi Batok, “ ucap teman itu ketawa.
Usai melihat rapat aneh itu saya berangkat ke kantor, menyeberang sebuah jembatan penyeberangan, di samping jembatan terdapat showroom terbuka perusahaan jual beli mobil bekas.
“Mobil ini sekedar hadiah lebaran untuk Pak Wartawan“ kata seorang pria berperut gendut, paro baya.
“Kamsia“ kata pria muda di sebelah lelaki gendut itu.
Lelaki muda itu melayangkan pandangannya ke depan, wajahnya pucat ketika melihat saya.
Ia berjalan ke arahku, sambil bersalaman berucap “Jangan bilang pada bos, Bang ya, saya bisa dipecat dan karier saya bisa hancur,” dia tahu saya berteman dengan atasannya.
Malam itu saya tidak pulang ke rumah, berencana ke terminal bus antar kota, Rawamangun, Jakarta Timur, menjemput anak tertua yang kuliah di Sumatera. Ada pemandangan yang menarik, semakin sepi kendaraan umum datang makin sering terminal itu didatangi kendaraan dinas atau plat merah, mereka mampir ke Pos Jaga, hanya sebentar, lalu pergi. Saya menuju tempat itu, pura-pura tidur di sebuah bangku, sebuah mobil dinas bak terbuka mampir ”sekedar untuk belanja lebaran“ kata petugas jaga menyodorkan sebuah amplop, penerima mengangguk, hingga subuh kejadian itu berulang lebih sepuluh kali. Tiga hari sebelumnya saya ke Pasar Tanah Abang, di seantero jalan banyak dijumpai tenda bertuliskan “Operasi Ketupat.” Ketika saya lewat di depan sebuah tenda seorang awak bus kota mampir, menyodorkan sebuah amplop, hanya saling senyum, saya tanya apa isinya awak bus itu senyum, “masak Abang gak tahu, hanya sekedar pembina hubungan silaturahmi.“
Saya ingat tiga hari sebelumnya diajak seorang tetangga mampir ke kantornya di sebuah perusahaan EMKL (Ekspedisi Muatan Kapal Laut) Tanjung Priok, dia berucap dua pekan menjelang lebaran bosnya sangat sibuk, bukan mengurus barang ekspor impor, melainkan menerima tamu yang mereka sebut Congti (Oknum Wartawan, Oknum Petugas dan Oknum Tak Jelas Jati Dirinya), setelah jumpa Congti itu hanya mengucapkan “Selamat Siang Bos,“ arti kata-kata itu adalah kasih saya duit.
“Gampang amat cari duit“ gumamku.
Kejadian itu berulang, berulang terus, dari dulu sampai entah kapan.