Dunia Ketiga Terus Bergerak Menuju Titik Keseimbangan baru

Bagikan artikel ini

Tak ada nilai internasionalisme yang terus pasang, melainkan pasang surut. Demikian pula halnya dengan Dasasila Bandung yang dilahirkan dari peristiwa Konferensi Asia-Afrika  (KAA) 65 tahun silam. [Roeslan Abdulgani: 1980].

Pasca KAA, situasi relasi antara negara Asia Afrika masuk ke dalam pusaran konstelasi polarisasi Blok Barat versus Blok Timur. Ketegangan antara Cina dan India, misalnya. Implementasi kesepakatan Panchasheel antara India dan China pra KAA tak berjalan sesuai harapan PM India Jawaharlal Nehru.

Pasalnya, PM RRC Zhou Enlai pada 1960 cenderung mengabaikan konsep Hindi-Chini Bhai Bhai yang merupakan simbol persahabatan antara India dan China [Jamie MacKie: 2005].

Di sisi lain, rembesan konstelasi bipolar Perang Dingin telah turut pula memperkeruh situasi kawasan Afrika yang tengah menikmati era baru pasca kolonialisasi.

Kemunculan sejumlah negara merdeka baru di Afrika sekitar tahun 1960 telah menyeret kawasan itu dalam turbulensi bipolarisme lokal antara kelompok Cassablanca dan Monrovia. Untungnya, sosok Kwame Nkrumah asal Ghana yang dikenal sebagai The Father of Africa berhasil merukunkan perselisihan itu dan lantas meleburnya dalam OAU yang mencita-citakan sebuah federalisme di Afrika, seperti The United States of Africa.

Sementara, pada tahun 1961 dalam upacara peringatan kemerdekaan Indonesia, Bung Karno dalam pidatonya mengatakan, “Dalam angan-angan Indonesia alangkah baiknya jikalau A-A menjadi A-A-A. KAA menjadi KAAA. Konferensi Asia Afrika menjadi Konferensi Asia, Afrika, Amerika Latin. Dengan demikian maka samenbundeling (red – penggabungan) daripada rasa-rasa nasionalisme anti imperialisme itu menjadi lebih komplit.

Kelak, pada 3 Januari 1966 sejarah mencatat telah bergulir Tricontinental Conference di Kota Havana, Kuba. Peristiwa ini terselenggara hanya 3 bulan pasca peralihan Orde Lama ke Orde Baru di Indonesia. Sejak itu, A-A-A menjelma menjadi dalam berbagai konsep kerja sama multilateral. Di antaranya Kerja Sama Selatan – Selatan yang menandai kemunculan geo-ekonomi Dunia Ketiga.

Istilah Dunia Ketiga diyakini pertama kali muncul di Kota Paris, Perancis. Adalah Alfred Sauvy, seorang wartawan harian L’Observateur pada 14 Agustus 1952 yang menuliskannya.

Dalam pandangannya apa yang terjadi dalam ketegangan dua blok Timur dan Barat dalam Perang Dingin tak ubahnya seperti kehadiran kelompok Third Estate dalam Revolusi Perancis. Tiga stratifikasi sosial dalam Revolusi Perancis terdiri atas Premier Etat (bangsawan), Deuxieme Etat (rohaniawan), dan Troisieme Etat (proletar) [Journal of Contemporary History: 2003].

Dunia Ketiga makin tajam setelah peristiwa KAA. Pasalnya, KAA dianggap telah memberikan forum paling egaliter bagi Dunia Ketiga di luar lembaga suprastruktur dunia yang ada [Clive Archer: 2002].

Forum itu tak hanya menelurkan norma hubungan luar negeri yang egaliter tapi juga telah mendorong realita yang disebut ‘sirkulasi norma’ [Tan and Acharya: 2008]. Melalui ‘Sirkulasi Norma’, aktor negara yang termarjinalisasi mendapat ‘panggung perjuangan’ [Amitav Acharya: 2013].

Di era 1980-an Dunia Ketiga menghadapi konsekuensi hasil restrukturisasi hegemoni ekonomi politik global sebagai titik awal kebangkitan transnasional neo-liberalisme [Henk Overbeek: 1993]. Situasi itu tidak lebih baik dari periode sebelumnya di era 1970-an (Lost Decade) saat krisis hutang mendera Amerika Latin [Laura Randal: 1997].

Kini dinamika Dunia Ketiga terus bergerak menuju titik keseimbangan baru. Pola hubungan tradisional Utara-Selatan secara perlahan mengalami penyesuaian dengan struktur Selatan-Selatan. Sekaitan itu, pertanyaan menggelitik muncul, yakni ‘Apakah penyesuaian struktur Dunia Ketiga menuju Restructuring, Rebalancing, atau Reforming?’

Demikian diskusi para pegiat literasi yang tergabung pada komunitas literasi Asian-African Reading Club (AARC) dalam khataman rangkaian sesi tadarussan buku The Bandung Connection karya Roeslan Abdulgani pada Rabu, 9 Januari 2020 di Ruang Galeri I Museum KAA.

Acara ini rutin digelar di Museum KAA setiap Rabu petang, Pkl. 16.45-20.00WIB. Kegiatan ini terbuka untuk umum.

Desmond Satria Andrian, Pakar Politik Internasional, tinggal di Bandung.

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com