Koalisi Lintas Partai Ketika Harga Tawar Golkar Rendah

Bagikan artikel ini

Hendrajit

Jusuf Kalla (JK) tetap berkibar hingga detik ini. Orang satu ini memang spektakuler. Ketika memutus hubungan Partai Golkar dengan Demokrat berlangsung dramatis dan menggoncang konstalasi nasional.

Tak heran jika incumbent Presiden Susilo Bambang Yudhoyono(SBY) jadi resah belakangan ini. Apalagi ketika Rapat Pimpinan Khusus Golkar 23 April lalu secara legal memberi mandat JK untuk maju melawan SBY sebagai calon presiden.

Sebagaiman yang ditulis the global-review.com Rabu kemarin, 25 Dewan Pimpinan Daerah Golkar sempat melakukan manuver mendesakm JK agar rujuk kembali dengan Demokrat.

Dalam operasi intelijen, hal ini dikenal sebagai aksi destabilisasi terhadap reputasi dan kredibilitas JK sebagai pemegang otoritas politik tertinggi di Partai Golkar.

Kejadian yang diduga keras merupakan bagian dari operasi intelijen yang dirancang tim sukses SBY itu, tentunya dimaksudkan agar memberi kesan bahwa JK gagal mengendalikan jajaran kepemimpinan partai baik di pusat dan daerah.

Komentar M Qodari, Direktur Eksekutif Indo Barometer, kepada detikcom rabu kemarin, agaknya memang sebuah opini yang memang diharapkan terbentuk di kalangan publik bahwa ada yang tidak beres di Golkar.

“Golkar ini lucu karena di Rapimnas mencapreskan JK, elit DPP semua berjejer angkat tangan. Tiba-tiba Agung (Laksono) ngomong beda, Muladi berbeda, DPD beda. Ini seperti ngerjain Ketumnya, membingungkan orang di dalam dan di luar Golkar,” ujar Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari kepada detikcom, Rabu (29/4/2009).

Menurut Qodari, karena perpecahan ini, nilai politik Golkar lebih rendah dari nilai elektoralnya. Meskipun berdasarkan quick count Golkar menempati posisi ketiga terbesar, namun posisi politiknya lemah.

Dibanding PKS yang berada di urutan keempat, posisi politik Golkar lebih rendah. “PKS lebih tinggi nilai politiknya dari elektoralnya. Walaupun cuma 8 persen, tapi mesin politiknya solid, SDM-nya berkualitas, semangatnya tinggi. Ini persoalan eksistensi,” urai Qodari.

Karena kelemahan Golkar ini, Qodari beranggapan SBY tak bakal menggandeng Golkar meski partai mantan penguasa di Orde Baru itu ingin rujuk. “SBY tidak mungkin mau gandeng cawapres Golkar walaupun nanti Golkar balik lagi,” analisisnya.

Meskipun demikian, JK dan Golkar tetap bersikeras untuk mencalonkan diri sebagai presiden pada pemilihan presiden 8 Juli mendatang. Padahal, PDIP dan beberapa partai papan tengah seperti Gerindra dan Hanura, juga bersikeras untuk mencalonkan diri sebagai presiden.

Berita terbaru hari ini, Mega dan Prabowo nampaknya semakin sulit untuk mencapai titik temu karena sama-sama berkeinginan menjadi presiden. Dua kali rencana pertemuan, Selasa dan Rabu, namun batal terlaksana.

Di sinilah berbagai skenario bisa muncul menjelang jadwal pengumuman para calon presiden 10 sampai 16 Mei mendatang. Sebagaimana sudah diketahui, tiga kandidat calon presiden dalam lingkaran Teuku Umar(PDIP) meliputi Megawati Sukarnoputri, Prabowo Subianto, dan JK. Dan sampai hari ini belum ada sinyal kalau salah satu dari tiga calon ini mengalah.

Dalam posisi tawar-menawar, sebenarnya JK lah yang paling siap untuk mengalah dengan menjadi calon wakil presiden. Mengingat prosentase berdasark national qick count Golkar ada di kisaran 14 persen.

Namun masalah muncul ketika JK merasa tidak cocok dengan calon presiden yang harus dia dampingi sebagai wakil presiden. Menjadi calon wakil presidennya Prabowo, tentu akan mendapat resistensi yang kuat dari internal Golkar mengingat partainya Prabowo, Gerindra, hanya mencapai 4,5 persen.

Menjadi wakil presidennya PDIP, Golkar merasa secara perolehan suara pemilu legislatif, Golkar pun merasa lebih unggul meskim prosentase perolehan suara sama-sama di kisaran 14 persen.

Dalam situasi yang demikian, wajar ketika muncul wacana untuk menggulirkan pasangan JK-Wiranto. Wiranto, yang merupakan Ketua UmumPartai Hati Nurani Rakyat (Hanura), berdasar quick count mencapai prosentase 3 persen. Karena itu sangatlah wajar jika wacana JK-Wiranto mulai menguat belakangan ini.

Nampaknya, jika skenario Golkar JK harus tetap maju sebagai calon presiden menghadapi SBY, maka pasangan JK-Wiranto menjadi satu-satunya alternatif yang mungkin untuk dimainkan.

Seperti kata Qodari tadi, nampaknya Golkar dalam pemilu kali ini memang tidak punya banyak pilihan karena harga tawarnya rendah di mata partai-partai lainnya. Apalagi di mata masyarakat yang semakin muak dengan sepak-terjang partai-partai baik besar maupun kecil.

Prabowo Masih Berpeluang Jadi Capres

Pada sisi lain, Prabowo meski akhirnya nanti gagal untuk maju  sebagai capres melalui dukungan Megawati dan PDIP, mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) itu, masih tetap berpeluang.

Salah satu kemungkinan yang muncul adalah dengan membangun koalisi antara Gerindra, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Amanat Nasional (PAN), dengan total suara 15.78 persen. Sehingga dengan tambahan dukungan sekitar 9.22 persen dari partai-partai kecil, Prabowo masih bisa maju sebagai calon presiden., Sehingga salah satu wacana yang berkembang adalah duet Prabowo dan Ketua Umum PAN Sutrisno Bachir.

Ini masuk akal, karena dengan dukungan sekitar 12 partai-partai kecil yang diikat melalui Blok Perubahan, minus PAN yang sekitar 6 persen, maka Prabowo sudah bisa meraih dukungan sekitar 18 persen. Dengan satu catatan, partai-partai kecil itu tetap solid dan tidak masuk orbit partai demokrat seperti PBB, PKPI, PDP dan lain sebagainya.

Yang menarik dalam konstalasi ini, secara mengejutkan Partai Nasional Benteng Kerakyatan pimpinan Eros Djarot, menjalin komunikasi politik dengan Partai Demokrat di Hotel Niko, Selasa (28/4) lalu.

Jika ini memang manuver serious yang benar-benar diarahkan untuk membangun koalisi dengan SBY pada pemilihan presiden mendatang, ini memang bisa mengacaukan kalkulasi politik kubu prabowo, yang pada gilirannya nanti juga akan mengacaukan rancangan koalisi yang dibangun antara PDIP-Golkar. Karena sepertinya koalisi Golkar-PDIP maupun Gerindra-PAN-PPP, secara sengaja akan dipecah menjadi dua pada pemilihan presiden putaran pertama. Untuk kemudian akan bersatu kembali menghadapi SBY di putaran kedua, ketika pencalonan presiden mengerucut pada dua calon presiden untuk bertanding secara head to head.

Namun banyka yang curiga bahwa Golkar sebenarnya sedang bermain dua kaki, dan majunya JK sebagai calon presiden sebenarnya hanya untuk memecah konsentrasi kekuatan politik lawan SBY baik di PDIP maupun di Gerindra. Yang ditakutkan,justru JK pada putaran kedua akan kembali mendukung SBY melalui serangkain konsesi yang mereka sepakati.

Bisa jadi, Eros Djarot dan PNBK membaca gejala ini, sehingga melakukan manuver yang tak terduga dengan merapat ke SBY dan Partai Demokrat.

Namanya politik, segalanya bisa berubah setiap saat dan setiap menit

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com