Membaca Pancasila dan Ideologi Lain dari Perspektif Philosophisce Grondslag

Bagikan artikel ini

Sebuah Diskusi Kecil

Philosophische grondslag berasal dari bahasa Belanda yang artinya norma (lag) dasar (grands) yang bersifat filsafat (philosophische). Atau juga, weltanschauung dari bahasa Jerman artinya pandangan mendasar (anshcauung) dunia (welt).

Nah, dua frasa dan diksi di atas baik philosopìsche grondslag maupun wetanshcauung, itu sama makna. Nyaris tak ada beda. Namun pada diskusi kali ini, yang digunakan hanya philosophische grondslag saja.

“Apa dasarnya Indonesia merdeka, atau apa philosophische grondslag dari Indonesia merdeka?” tanya Soekarno di sidang BPUPKI, tanggal 1 Juni 1945. Meski ada yang menyatakan, bahwa pertanyaan apa dasarnya Indonesia merdeka dilontarkan oleh dr KRT Radjiman Widyodiningrat, Ketua BPUPKI pada tanggal 29 Juni 1945. Masih simpang siur memang. Tetapi tak masalah, esensinya tak berbeda.

“Itulah fundamen, filosofi, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat — yang sedalam-dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia merdeka yang kekal dan abadi,” jelas Soekarno.

Nah, itulah prolog sekaligus perspektif dalam diskusi kecil di Sanyata Coffee (14/6/2020).

Ketika Pancasila diberhalakan sebagai agama maka tindakan itu cenderung lebay, genit, bahkan “nglunjak“. Kenapa? Agama itu ajaran (langit) dari Tuhannya, sedang Pancasila itu nilai-nilai yang digali dari bumi (nusantara) manusia. Tak dapat disamakan serta tidak untuk dipersamakan. Bisa kualat.

Akan tetapi, karena sesuatu hal, lalu Pancasila digeser menjadi ideologi, misalnya, maka secara hakiki Pancasila terdistorsi, atau istilahnya turun “derajat” lebih rendah dari (makna) philosophische grondslag itu sendiri. Secara fisik, sebenarnya masih pada batas wajar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan pertimbangan bahwa pendistorsian tersebut ada maksud demi menolak (kontra) atas tumbuh suburnya komunisme dan kapitalisme (secara ideologi), contohnya, atau untuk memperkuat daya imun rakyat karena merebaknya “pandemi ideologi” dari luar. Boleh-boleh saja.

Pernah di masa lalu, peran philosophische grondslag digeser (diturunkan) secara sadar oleh rezim sebagai alat dan fungsi penolak ideologi (luar) asing. Nah, perubahan philosophische grondslag menjadi ideologi ini bersifat temporary atau sementara. Tidak selamanya.

Ketika timbul asumsi, “Bukan Pancasilais bila menghilangkan perbedaan dan menyeragamkan atas nama Pancasila, sikap itu justru mencerminkan anti-Panciasla.” Lho, Pancasila itu melihat perbedaan dan keberagaman sebagai rahmat dari Tuhan Yang Mahaesa, bukan ancaman.

Tampaknya, asumsi di atas kuat diduga selain mengada-ada, hoax, juga merupakan upaya untuk membuat “pintu masuk” atau istilah kerennya menggiring pada agenda tertentu agar segenap warga mau menerima komunis dan kapitalis di Bumi Pertiwi atas nama perbedaan, keanekaragaman, kebhinekaan dan lain-lain sesuai jiwa philosophische grondslag. Hal ini dinilai justru otak-atik mantuk, atau cara gotak gatik gatuk dan lain-lain. Syah-syah saja sepanjang itu cuma wacana. Namanya juga usaha.

Mengapa begitu?

Begini analoginya, jika philosophische grondslag (Pancasila) diibaratkan ladang nan subur, maka tanaman komunis dan kapitalis adalah jenis tanaman yang tertolak dan ditolak. Kenapa? Ada unsur Ketuhanan dan Keadilan Sosial dalam Pancasila yang niscaya akan mematikan secara perlahan tanaman jenis komunis dan kapitalis di Bumi Pertiwi karena tidak chemistry dengan testur philosophische grondslag.

Buktinya apa?

Komunisme tidak dapat tumbuh di ladang Pancasila karena ada Ketuhanan Yang Mahaesa (sila ke-1), juga kapitalisme tidak bisa berkembang karena ada Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia (sila ke-5). Atau dalam narasi lain, Pancasila lebih unggul ketimbang komunis karena ada sila ke-1, dan Pancasila lebih dahsyat daripada kapitalis sebab ada sila ke-5. Persoalan ia kurang membumi di Bumi Pertiwi, selain kerap hanya dijadikan wacana, dibuat bahan perdebatan semata, juga salah kelola. Ketika muncul klausal “Ketuhanan Yang Berkebudayaan” di publik, ini arahnya mau kemana?

Ada beberapa poin penting perlu diwaspadai atas klausal “nyleneh” (Ketuhanan yang berkebudayaan) di atas, antara lain:

Pertama, itu konsep ketuhanan yang ingin menempatkan nilai universalisme, semangat persaudaraan, sama rasa sama rata dan seterusnya — di posisi atas daripada nilai-nilai agama;

Kedua, pada konsep tersebut, agama tidak lagi menjadi nilai dominan dalam kehidupan, tetapi nilai kehidupan diarahkan pada pembangunan mental belaka;

Ketiga, hukum agama baru akan diakui jika hukum adat dan budaya menerimanya. Maka muncul hipotesa, bahwa klausal ketuhanan yang berkebudayaan hanyalah sebuah upaya guna mendudukkan agar nilai agama di bawah tapak budaya, atau agama berada di bawah hukum adat.

Demikianlah poin dan garis besar diskusi tentang philosophische grondslag dan ketuhanan yang berkebudayaan. Terima kasih.

***) Pointers diskusi di Sanyata Coffee pimpinan Romeo10: WE CREATE THE FUTURE LEADERS.

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com