Kemana Isu Perubahan Ke-5 UUD 1945 Berlabuh? (Bagian Ke-3)

Bagikan artikel ini
Telaah Kecil Asymmetric War
Menyimak uraian Video Kedua dari dr Zulkifli S Ekomei yang diupload di Youtube: Mengapa Saya Menggugat UUD 1945 Yang Palsu?
Adalah sebagai berikut:
Ya. Salah satu akibat yang paling penting dengan berlakunya UUD 1945 palsu adalah dibegalnya kedaulatan rakyat oleh partai-partai yang kini terbukti bersifat oligarki. Tidak ada satupun produk legislatif yang dibuat untuk kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan pemilik modal yang menjadi sandaran hidup partai politik.
Rakyat menjadi tidak berdaulat, apalagi kemudian juga terbukti bahwa UUD 1945 palsu hanya untuk memenuhi pesanan asing, seperti yang disampaikan oleh mantan rektor universitas Gajah Mada Prof Sofian Effendi.
Seperti yang sudah tersebar ke publik — diawali oleh keraguan Prof Sofian yang ia tulis dalam buku: “Sistem Demokrasi Pancasila,” bahwa konsep ekonomi dan konsep politik Pancasila akan terlaksana di Indonesia, sebab untuk mewujudkan itu sangat bergantung tindakan orang Indonesia terhadap UUD 1945 yang sudah diobrak-abrik begitu luar biasa dan melibatkan kekuatan asing.
Dulu, saya menduga — saat MPR tahun 1999 memutuskan untuk melakukan perubahan terhadap UUD 45 dengan cara amandemen itu sudah melalui kajian para ahli Indonesia, tetapi ternyata hanya di rapat pertama MPR diputuskan akan mengadakan rencana perubahan. Pada rapat-rapat selanjutnya sudah besar sekali pengaruh dari kelompok-kelompok LSM, bahkan LSM luar negeri di dalam rapat-rapat itu, kata Prof Sofian Effendi dalam peluncuran buku “Sistem Demokrasi Pancasila” di kampus Pascasarjana Univesitas Nasional, Jakarta Selatan (11/3/20).
Ia melanjutkan, dalam rapat-rapat Panitia Ad Hoc (PAH) di MPR juga dihadiri oleh orang-orang yang bukan WNI dan LSM asing National Democratic Institute (NDI), kata Sofian Effendi, membawa uang “berkarung-karung” ke dalam gedung MPR dan membagi-bagi kepada 11 fraksi.
NDI juga membawa konsep UUD terutama pasal tentang HAM, pasal 10 UUD yang diamandemen, lanjut Prof Sofian, itu caplokan dari United Nation Convention Human Right. Jadi, agak aneh UUD kita ini karena bunyinya tidak lagi ‘Warga Negara’ tetapi ‘orang’. Orang lho? Saya ini warga negara, tegas Prof Sofian Effendi.
Ia mempertanyakan, UUD itu mengatur hak dan kewajiban warga negara, atau mengatur hak dan kewajiban dari siapapun orang yang ada di Indonesia?
Oleh sebab itu, Prof Sofian menduga, ini semua memang sengaja diciptakan untuk mengaburkan konsep-konsep tersebut termasuk juga untuk mengaburkan kewenangan pemerintahan dan negara, untuk mengaburkan sistem politik dan ekonomi Indonesia sehingga tidak jelas lagi bahwa ekonomi kita itu ekonomi yang berazaskan kekeluargaan dan berkeadilan sosial karena dimasukkan semangat-semangat individualisme di dalam pasal 3 dan 4, dan demikian juga di dalam sistem sosial sudah dimasuki pasal-pasal itu, tuturnya.
Saya sebagai ilmuwan menduga-duga bahwa ada pihak luar negeri terlibat mengubah UUD itu. Seringnya perjalanan Jogja dan Jakarta, di pesawat — saya ketemu dengan seorang pimpinan partai. Anak muda yang dulu ketua senat UGM. Saya tanya: “Mas, sebagai ilmuwan hanya bisa menduga-duga. Saya tak bisa menuduh dengan tegas bahwa ada intervensi asing di dalam amandemen UUD kita. Jadi, hanya begitu-begitu saja di antara kawan saya bisa ngomongngomong. Tapi, kita tak punya bukti tidak bisa menuduh lho? Kebetulan kita duduk berdekatan, saya tanya”.
“Pak, selesai dari UGM — saya masuk partai politik. Oleh pimpinan partai saya ditugaskan untuk ikut panja PAH I. Dan di situ, dengan mata saya sendiri melihat bagaimana uang berkarung-karung masuk ke Gedung MPR. Dan kemudian, pasal-pasal yang mereka ingin masukkan itu — dimasukkan,” ungkap ketua partai yang mantan Ketua Senat UGM.
Pada intinya, kata Prof Sofian, sidang MPR masa bhakti 1999-2002 menetapkan bahwa amandemen UUD 1945 sesuai ketentuan pasal 37. Karena pasal 37 yang diamandemen di tahap ketiga yang sebenarnya disepakati tidak diubah. Namun, sesal Prof Sofian, dalam PAH II, masuk dan diubahnya sehingga MPR itu atau struktur dari kekuasaan negara tidak lagi ada lembaga pemegang pelaksana kedaulatan rakyat karena diubahnya pasal itu. Padahal pada Tahap I dan II masih ada.
Di situ ada 11 fraksi MPR yang menyepakati amandemen UUD dilakukan dengan syarat sebagai berikut:
Pertama, tidak mengubah pembukaan UUD;
Kedua, tidak mengubah NKRI dan bentuk negara;
Ketiga, amandemen dilakukan dengan cara adendum bukan mengubah teks aslinya.
Mengapa saya mengutip ungkapan Prof Sofian Effendi di atas, kata Dr Zulkifli di ujung videonya, karena sesuai dengan data yang ada di tangan saya tentang keterlibatan asing pada proses kudeta konstitusi UUD 1945 yang akan saya jadikan bukti pada sidang gugatan saya menolak UUD 1945 palsu.
Nah, bagaimana nasib gugatan dr Zulkifli terhadap praktik UUD palsu?
(Bersambung Ke Bagian-4)
M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com