Kepemimpinan Adaptif di Era VUCA

Bagikan artikel ini

Kepemimpinan adaptif adalah model kepemimpinan visioner yang tidak sekadar reaktif terhadap perubahan, namun dituntut kreatif-inovatif yang selaras dengan perubahan lingkungan, selain sikap antisipasif melalui tindakan inspiratif dalam mengelola organisasi di tengah fluktuasi lingkungan (strategis) yang bersifat VUCA. Kenapa demikian, sebab perubahan itu keniscayaan dan konstan. Sedangkan VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) itu sendiri merupakan hal yang selalu melekat hampir di setiap isu atau peristiwa.

Menurut Jeff Davidson, manajemen perubahan merupakan proses alignment (penyejajaran) berkelanjutan antara organisasi dengan pasarnya, serta melakukan kegiatan lebih tanggap dan efektif daripada para kompetitor.

Manajemen perubahan ialah upaya mengelola akibat-akibat yang ditimbulkan organisasi. Dan perubahan bisa terjadi karena sebab-sebab internal maupun akibat eksternal, atau sebaliknya.

Michael Hammer dan James Champy menulis, bahwa ekonomi global berdampak pada 3-C yaitu custumer, competition dan change. Artinya, pelanggan menjadi penentu; pesaing atau kompetitor semakin banyak; dan perubahan menjadi konstan alias terus-menerus. Tak banyak orang suka terhadap perubahan, namun perubahan tidak bisa dihindari, perubahan kudu dihadapi.

Bagaimana caranya?

Di setiap organisasi apapun, mutlak harus dibekali serta dikembangkan apa yang disebut “kepemimpinan adaptif” di level dan lini manapun. Apakah ia top management, misalnya, atau marketing, man power dan lain-lain, terutama sekali kepemimpinan level teknis-metode di lapangan.

Apa bekal yang tepat bagi kepemimpinan adaptif?

Tak boleh dipungkiri, bahwa kharakter perubahan kini bersifat VUCA. Akan tetapi, VUCA dapat diantisipasi oleh VUCA pula. Soal ini nanti dijelaskan.

Kunci kepemipinan adaptif adalah percaya diri. Tanpa kepercayaan diri, seorang pemimpin akan menjumpai fatamorgana. Disangka air oleh orang-orang yang dahaga namun ketika didatangi ternyata kosong. Tidak ada apa-apa. Yang berkembang cuma ilustrasi alias seolah-olah baik namun hasilnya nihil.

Kembali ke topik, bahwa VUCA bisa dikontra oleh VUCA pula, antara lain:
1) volatility alias kondisi yang bergejolak, contohnya, ia harus diantisipasi melalui vision (visi). Ya, visi yang kuat lagi jelas berbasis ide cemerlang —dream behind the gun— pada organisasi akan meningkatkan kepercayaan diri si pemimpin dalam mengelola sebuah organisasi;
2) uncertainty atau ketidakpastian kondisi yang berkembang dapat dijinakkan dengan understanding alias pemahaman situasi serta penguasaan lapangan;
3) complexity atau kompleksitas persoalan dapat diantisipasi dengan clarity alias kejelasan. Artinya, kenali dahulu substansi masalah secara cermat pada setiap isu yang muncul, lalu upayakan penyelesaian masalah; dan
(4) ambiguity atau keragu-raguan bisa dijawab dengan agility atau kelincahan dan fleksibilitas sikap serta tindakan.

Jadi, VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) di atas bisa diredam dengan VUCA (Vision, Understanding, Clarity, Agility) juga. Maka sebenarnya, dalam kepemimpinan adaptif sebenarnya tidak ada VUCA melainkan sikap percaya diri.

Lantas, apa itu sikap percaya diri?

Percaya berasal dari dua arah: “logika dan hati”. Logika tentang benar atau salah, baik atau buruk; sedang hati soal adil atau tidak adil. Jadi, seseorang yang percaya diri selalu bersikap benar dan baik menurut logika (publik) serta bertindak adil sejak dari niat, perencanaan terutama ketika ia mengeksekusi sebuah kebijakan/keputusan.

Demikianlah catatan kecil tentang kepemimpinan adaptif di era VUCA.

Terima kasih

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com