Carut Karut Persoalan Perempuan Indonesia

Bagikan artikel ini

Otjih Sewandarijatunalumnus Universitas Udayana, Bali

Sejarah perjuangan perempuan Indonesia tidak bisa dipisahkan dari perjuangan anti-kolonialisme. Perempuan Indonesia sedari awalnya sudah menyadari kolonialisme merupakan rantai penindasan yang menghalangi kemajuan, termasuk kaum perempuan di dalamnya. Sekarang ini, perjuangan perempuan Indonesia adalah menghadapi ancaman bahaya neoliberalisme. Bagi kaum perempuan, neoliberalisme jelas menghalangi kemajuan perempuan Indonesia. Secara politik, neoliberalisme telah menendang perempuan kalangan menengah ke bawah, dari ruang-ruang sosial-politik dan kekuasaan.

Secara ekonomi, neoliberalisme melemparkan tugas yang yang merupakan urusan negara kepada kaum perempuan. Privatisasi tidak sekedar bermakna swastanisasi. Privatisasi pada hakekatnya bagi kaum perempuan adalah pemindahan tugas-tugas negara (pendidikan, kesehatan, dan lain-lain) menjadi tugas-tugas ibu rumah tangga.

Kaum perempuan Indonesia tetap sulit mengejar kemajuan. Mayoritas perempuan Indonesia masih sulit mengakses pendidikan, kesehatan, pekerjaan, perumahan layak dan hak-hak dasar lainnya. Padahal, seseorang akan sulit mengembangkan diri dan kapasitasnya jika ia tetap buta-huruf, tidak sehat, lapar, dan tidak mempunyai tempat tinggal yang layak.

Carut Karut

Menurut data Komnas Perempuan tercatat dari tahun 1998-2010 kasus pemerkosaan merupakan jenis kekerasan seksual yang paling banyak terjadi, yaitu 4.845 dari 8.784 kasus. Dan lebih dari 3/4 dari keseluruhan kasus kekerasan seksual (sebanyak 70.115 dari 93.960) dilakukan oleh orang-orang terdekat korban, seperti ayah, suami, kakak laki-laki, paman, kakek, dan pacar. Hal tersebut menyadarkan kita bahwa berada dengan orang-orang terdekat belum memastikan bahwa perempuan akan terhindar dari tindak kekerasan seksual.

Hal lain dan sudah jelas di depan mata adalah kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi di ruang publik. Menurut data Polda Metro Jaya Jakarta, terjadi peningkatan kasus perkosaan di angkutan kota sebesar 13,33% pada tahun 2011,yang semula 60 (2010) menjadi 68. Di Kawasan Berikat Nusantara (KBN) Cakung-Jakarta Utara yang mayoritas pekerjanya adalah perempuan, tak jarang perempuan mendapat tindak pelecehan seksual dengan maksud-maksud seksual (menggoda), hingga syarat dari atasan untuk dekat secara fisik, agar mendapat posisi aman di tempat kerja.

Selain hal di atas, yang tidak boleh kita lupakan adalah kasus perkosaan massal yang dialami oleh perempuan akibat dari situasi konflik. Dari peristiwa 1965,setidaknya tercatat 1.192 kasus kekerasan seksual pada perempuan. Kasus kekerasan seksual semakin menggunung faktanya sejak era Orde Baru sampai saat ini, dan penyelesaian kasus ini menjadi semakin “tertutup awan” ketika adanya pemahaman sempit terkait Pasal 285 KUHP yang hanya mengartikan perkosaan sebagai pemaksaan persetubuhan (penetrasi organ seksual) menyebabkan sulitnya kasus ini diproses, terutama pemerkosaan yang terjadi di daerah konflik. Selain itu, munculnya 154 Perda diskriminatif terhadap perempuan semakin mengukuhkan stigma bahwa kekerasan seksual terjadi karena kesalahan perempuan.

Adanya berbagai peraturan internasional atau konvensi yang sebenarnya diterbitkan untuk melindungi hak asasi kaum perempuan, ternyata juga hanya “bualan kosong belaka”. Buktinya, sejak Indonesia meratifikasi CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women) melalui UU No. 7 Tahun 1984 sejak 27 tahun lampau, ternyata sampai saat ini, tidak ada langkah konkrit dan berkelanjutan yang dilakukan negara untuk menjamin perlindungan hak-hak perempuan.

Penegakan hukum Indonesia, semakin jauh dari perlindungan dan pemenuhan hak-hak Ekosob dan hak-hak Sipol termasuk hak-hak atas otonomi tubuh perempuan. Negara telah secara terang-terangan menunjukkan kepatuhannya kepada IMF, WTO, Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia melalui skema utang yang memperteguh hegemoni aktor-aktor non negara. Sistem ekonomi global yang dalam banyak kasus menimbulkan eksploitasi dan penghancuran lingkungan, tidak berpihak pada perlindungan kemanusiaan,meningkatkan ketimpangan, dan ketidakadilan gender, serta memperpanjang mata rantai marjinalisasi dan pemiskinan perempuan.

Memperbaiki Nasib Perempuan

Dari carut karut persoalan perempuan diatas, dapat kita petakan bahwa permasalahannya terletak kepada kebijakan politik yang kurang memihak perempuan, “penyalahgunaan” demokrasi, penegakkan hukum yang kurang pro perempuan, serta ketimpangan yang besar karena cummulative causation dalam bidang pembangunan ekonomi. Jika hal ini tidak segera diatasi, maka tidak menutup kemungkinan perempuan melakukan perlawanan.

Memperbaiki political policy yang pro perempuan, haruslah didasarkan kepada pernyataan Geoff Mulgan dalam Politics in an Antipolitical Age (1994) mengatakan, politik  yang semestinya dan seharusnya dibangun berdasarkan nilai-nilai moral serta etika, pada pelaksanaannya yang lebih dominan adalah memperbanyak kepentingan dan untuk menyelamatkan diri semata. Opini Mulgan tersebut dapat terjadi, jika stake holder menyadari bahwa demokrasi untuk kesejahteraan rakyat bukan sebaliknya, seperti dikemukakan Mestika Zeid (2005) mengatakan, demokrasi yang dijadikan tujuan sesungguhnya bukanlah target demokrasi itu sendiri, sebab demokrasi itu memiliki tujuan yaitu kesejahteraan bagi rakyat.

Tidak kalah pentingnya adalah posisi perempuan dalam hukum harus dihormati para penegak hukum, faktanya sekarang ini banyak penegak hukum lupa suatu mazhab terkenal dari Jeremy Bentham, yaitu utilitarianisme (utilitarianism), bahwa tujuan hukum adalah untuk kemanfaatan. Kriteria untuk menentukan baik-buruknya suatu perbuatan adalah the greatest happiness of the greatest number, kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar. Perbuatan yang sempat mengakibatkan paling banyak orang merasa senang dan puas adalah perbuatan yang terbaik.

Jika kondisi perempuan semakin tertekan dan tidak terbenahi, maka jangan salahkan perempuan dalam memperjuangkan emansipasinya menggunakan jalur-jalur konflik, karena menurut Serge Brammerts (2012), kegagalan menghormati martabat manusia berdampak sangat serius di masa depan, yang termanifestasi melalui konflik.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com