Kecerdasan Politik “Abu Nawas” ala Gaddafi

Bagikan artikel ini

M Arief Pranoto – Pemerhati Masalah Internasional dari Global Future Institute

Duduknya Moammar Gaddafi selama 40-an tahun di singgasana Libya, bukanlah sekedar tertiup angin. Ia memang sosok pemberani dan tak mudah digertak, oleh karena didukung kecerdasan, strategi dan kemampuan tak sembarangan hingga memecah rekor sebagai presiden terlama. Dan pola “berseteru tetapi bersekutu” dengan Amerika Serikat (AS) dan Negara Barat pun sudah dilakoni namun password tetap dalam genggamnya.

Ya, hampir sebagian negara di dunia dan masyarakat internasional memahami, bahwa pergolakan di Kelompok Negara Jalur Sutra (baca artikel saya Memahami Ulah VOC dan PRT di Jalur Sutra di www.theglobal-review.com) adalah ulah Smart Power-nya AS dan para sekutu melalui Washington National Endowment of Democracy (NED) dan LSM-LSM lain yang dibiayai Kongres AS yang pernah sukses menghancurkan anggota Pakta Warsawa. Agaknya success story NED di Eropa Timur ingin diulang kembali pada berbagai pemerintahan bonekanya di Jalur Sutra yang disinyalir durhaka dan tak loyal di tengah krisis global yang bermula dari krisis ekonomi AS.

Secara konsep, inti Smart Power adalah “adu domba” melalui methode VOC dan PRT berbasis gerakan massa via isue aktual korupsi, kemiskinan, ketidakadilan dan lain-lain seperti halnya ia menjatuhkan Ben Ali dan Mubarak. Disinilah “Kecerdasan Politik” Gaddafi terlihat, betapa tidak, metode gerakan massa telah diubahnya menjadi suatu gerakan bersenjata. Sehingga yang terjadi di Libya kini ialah pemberontakan oleh kelompok separatisme yang ingin memisahkan diri. Dan sudah barang tentu, setiap “pemberontakan” di suatu negara mutlak harus dipadamkan oleh kekuatan militer internal negara selaku alat kedaulatan. Jangan seperti di Bahrain, baru menghadapi gelombang rakyatnya sendiri sudah teriak-teriak memanggil “kawan-kawan”-nya. Menyedihkan.

Tahap berikutnya, masih tentang kecerdasan Gaddafi, ia mampu mengolah lalu menghadapkan antara Liga Arab yang cenderung pro Barat versus Panel Afrika atau Uni Afrika (AU), yaitu “Dewan Persatuan” negara Afrika Utara yang peduli atas gejolak di negeri kawasan, dimana doeloe juga menghandel konflik internal di Sudan, sebelum akhirnya diambil alih PBB.

Adapun password  lain yang dipegang Gaddafi ialah penyimpanan harta kekayaan Libya di Swiss sebagai kawasan dan negara netral dalam perspektif hukum internasional. Bandingkan dengan Dinasti Saud (Saudi Arabia dkk) yang menyimpan berbagai kekayaannya di bank-bank AS, lalu membuatnya cenderung ”membebek” kepada Barat.

Barangkali isue “pembekuan aset” Libya dan lain-lain oleh AS dan sekutu cuma sekedar gaung bergema di awang-awang, oleh karena Swiss pun tak mau “jatuh” kredibilitasnya di mata berbagai  elemen dan masyarakat dunia atas kehormatan selaku negeri paling aman dan netral di muka bumi. Tidak semudah itu “main beku-bekuan aset”.

Dan rencana untuk mengepung Libya melalui kekuatan militer, diduga itu hanya gertak sambal mengingat AS dan NATO kini “sangat lelah” menghadapi kelompok Taliban cs di Afghanistan selama 10-an tahun, apalagi mau menghadapi militer canggih suatu negara berdaulat sekelas Libya, AS dan sekutu bisa porak-poranda sebelum perayakan Tahun Baru 2012. Kalaupun terjadi penyerangan terhadap Libya, hal itu merupakan tindakan nekad, sebab selain semakin membuat terpuruk ekonomi negara-negara agresor juga bakal menerima kecaman baik dari dalam dan terutama dari luar negeri meski AS dan sekutu telah mengantongi resolusi PBB.

Tampaknya, kecamuk di Libya merupakan panggung pertarungan dua konsep/strategi antara Smart Power-nya AS versus “Kecerdasan (politik) Abu Nawas”-nya Gaddafi. Siapa yang bakal menang?

 

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com