M Arief Pranoto, Research Associate Global Future Institute (GFI)
Ada asumsi dalam konstelasi politik dunia bahwa konflik lokal merupakan bagian dari konflik global. Artinya kejadian di wilayah atau suatu negara tertentu, bukanlah peristiwa tunggal berdiri sendiri, mungkin hanya test case atau prolog dari skenario politik lebih besar. Hal ini selaras dengan statement Escobar bahwa politik praktis memang bukan yang tersurat, melainkan apa yang tersirat. Jika Bush Jr berbicara soal hak azasi manusia, maka yang ia maksud adalah minyak dan gas alam (27/9, 2007).
Maka apapun bentuk kerjasama antar negara, baik itu bilateral, trilateral maupun multilateral, selain open agenda niscaya sangat kental hidden agenda. Dan seringkali hal (tersirat) itu justru merupakan tujuan utama. Dengan kata lain, open agenda cuma sekedar kedok, atau cover belaka. Tak lebih.
Kendati Perang Dingin (1941-1991) telah usai ditandai pecahnya Uni Sovyet menjadi beberapa negara, tidak berarti komunis sebagai ideologi telah total mati. Euforia Amerika Serikat dan sekutu atas kemenangan kapitalis melawan komunis ternyata tak lama, ketika geliat Rusia dan Cina yang kukuh mengusung komunis-sosialis kembali bangkit, lalu tebar (pesona) menyemai hegemoni di berbagai belahan bumi. Muncul istilah proxy war. Berebut pengaruh, atau “perang ideologi” di segala aspek dan bidang namun lapangan tempurnya negara lain.
Dengan demikian, konflik apapun baik intrastate (antar kelompok dalam negara) maupun interstate (antar negara), jangan dibaca sekedar dialektika, atau cuma dikaji dari sebab-akibat para pihak yang bertikai, namun hendaknya dicermati sebagai lokasi tempur — mengingat yang berhadap-hadapan sejatinya para adidaya. Entah uji coba senjata, entah itu rebutan pasar, atau mungkin mencari lahan jajahan baru dan seterusnya.
Strategisnya posisi Indonesia antara dua benua dan di jalur perairan menghubungkan Lautan Pasifik dengan Lautan Hindia, membuat republik ini disebut negara kepulauan terluas di dunia dengan 17.504 pulau lebih, dan garis pantai sepanjang 81.900 kilometer. Dari aspek geopolitik, ia berpeluang ikut memberi “warna” pada tatanan politik global, namun di sisi lain justru merupakan ancaman sekaligus endapan bahaya, khususnya wilayah perbatasan (termasuk pulau-pulau kecil terluar) ketika sistem pengamanan tidak dikelola secara masif lagi intensif.
Betapa tidak, data statis perbatasan laut dan darat termasuk pulau-pulau terluar dikelilingi sepuluh negara yang hampir semua merupakan satelit dalam orbit pengaruh para adidaya (kapitalis). Tak menutup kemungkinan ada kesamaan pola, paradigma, bahkan sistem politik negara-negara tersebut kental dipengaruhi (ideologi) negeri induk. Dan bukan hal mustahil pula republik ini, tidak sekedar sebagai proxy war atau lokasi tempur belaka, tapi telah menjadi incaran (target) kaum kapitalis global, sedang bangsa ini tidak menyadari!
Segenap tumpah darah Indonesia mutlak waspada. Oleh karena watak dasar kapitalis adalah akumulasi modal dengan ciri mencari bahan baku semurah-murahnya dan menciptakan pasar seluas-luasnya. Dikatakan oleh Taqiyyuddin An Nabhani (1977), penjajahan merupakan methode baku kapitalis sedang yang berubah hanya cara dan sarananya.
Dengan merujuk hal di muka, asumsi yang ingin dibangun dalam abstraksi ini, bahwa setiap masalah apapun dan konflik yang muncul baik vertikal maupun horizontal harus disikapi sebagai “buatan asing” – dimana tujuan akhir ialah mencari bahan baku murah dan mengurai pasar, dengan menumpangi arus demokratisasi, menunggangi spirit kedaerahan, atau memanfaatkan suburnya kemelaratan yang tumbuh di kawasan perbatasan dan pulau-pulau terluar.
Secara fisik diasumsikan, bahwa “sasaran antara” metode imperialis ialah referendum atau pemisahan wilayah, kendati kemasannya sering berbeda dan sangat halus. Terkadang sulit diraba. Isyarat Bung Karno, bahwa imperialisme bukan saja sistem atau nafsu menaklukkan negara atau bangsa lain, tetapi bisa hanya mempengaruhi ekonomi negeri dan bangsa lain. Ia tidak usah di jalankan dengan pedang, atau bedil, atau meriam atau kapal perang (1960). Inilah yang kini tengah terjadi.
Tampaknya model kolonialisme melalui pola dan cara mempengaruhi (ekonomi, budaya dst) relatif efektif di perbatasan. Terbukti, tak sedikit masyarakat kita pindah menjadi warga Malaysia; atau muncul isue perekrutan Laskar Wataniyah; atau terdapat wilayah sebagian penduduk tak mampu berbahasa Indonesia; atau di suatu daerah lebih berlaku mata uang ringgit daripada rupiah dan lainnya. Dan paling memprihatinkan ialah (pernah) dekade 2009-an, ada lima kecamatan di perbatasan Kalbar ingin bergabung dengan Malaysia. Edan!
Selain geografis, alasan masuk akal adalah budaya, persamaan ras, kekerabatan, infrastruktur tertinggal, minimnya perhatian pusat – sedang alasan utama ialah ekonomi. Harus diakui, tingkat ekonomi masyarakat kita jauh tertinggal dibanding kehidupan ekonomi dan kesejahteraan warga Malaysia yang juga tinggal di perbatasan. Pengalaman lepasnya Timor Timur, “kekalahan” Sipadan – Ligitan di forum global, kasus Ambalat, atau penyerobotan lagu daerah, reog dan lainnya, seyogyanya dijadikan hikmah emas bagi bangsa ini agar tidak terulang kembali di masa depan. Ya, pengalaman adalah guru terbaik!
Halaman Belakang atau Beranda Depan
Kebijakan (tersirat) pemerintah sebelumnya, menganggap perbatasan adalah “halaman belakang” Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kendati kini terbit Peraturan Presiden Nomor 12 tahun 2010 tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), dan kebijakan berubah menjadi “beranda depan”, namun dirasa belum optimal mengingat lembaga itu relatif balita. Dampak kebijakan tempo doeloe masih melekat hingga kini baik di berbagai instansi terkait, maupun kondisi masyarakat. Hal itu tercermin dalam ujud anekdot yang berkembang di sekitarnya:
“bila menengok ke arah Malaysia terlihat terang benderang, namun ketika menengok wilayah Indonesia terasa gelap gulita!”.
Ya, diperlukan berbagai akselarasi, pemberdayaan dan rencana strategis secara terpadu dibawah kendali BNPP guna mengangkat harkat dan martabat warga dari belitan berbagai persoalan struktural, mengingat masalah dan konflik bukanlah ujug-ujug (tiba-tiba), niscaya ada korelasi, atau benang merah maupun tahapan proses sebelum ia membesar kemudian meluas. Setiap wilayah menyimpan potensi konflik dan persoalan kendati “bahan dan pemicu”-nya tak sama. Tergantung kharakteristik daerah masing-masing.
Lestarinya kebhinekaan negeri ini mengandung latenitas konflik baik horizontal maupun vertikal. Belum lagi soal harga diri suku, kemiskinan, keanekaan religi, kepercayaan, atau perebutan sumber-sumber ekonomi, pertentangan hak adat, bahkan senjang ekonomi, termasuk perbedaan mencolok taraf kesejahteraan warga kita dibanding warga negara lain (terutama Malaysia) telah menimbulkan “sumber masalah” baru yang sewaktu-waktu meletus.
Selayaknya BNPP selaku pengelola perbatasan, membuat langkah nyata guna mengeliminir ancaman yang timbul. Tidak usyah muluk-muluk. Mungkin jangka pendek (setahun – dua tahun) ke depan, sekedar meninggikan frekwensi Radio Republik Indonesia (RRI) dan TVRI guna menangkal penitrasi budaya asing viamedia elektronik dan siaran radio negeri tetangga yang memang lebih dominan. Setidaknya, meski tinggal jauh di perbatasan, segenap warga masih paham Pancasila, atau mendengar Indonesia Raya, lagu Padamu Negeri, atau menikmati guyonan Tukul di Bukan Empat Mata, dan lainnya. Diharapkan sentuhan di atas, meski sedikit, mampu mengentalkan manisnya rasa nasionalis dan sedapnya cinta tanah air!
Untuk jangka menengah, agar digebyarkan secara gempita pembangunan infrastruktur jalan, pendidikan, kesehatan, listrik dan utamanya sarana-prasarana ekonomi seperti pasar, koperasi dan lain-lain. Bagi jajaran instansi pemerintah baik perpanjangan pusat maupun pemerintahan kabupaten setempat, selain wajib memberikan kemudahan birokrasi (model satu atap), juga markas kesatuan militer seperti Kodim, Lanal dan Lanud, atau Polres yang mempunyai wilayah berbatas dengan negara lain — wajib dan mutlak dibangun secara megah di kawasan perbatasan, bukan di ibu kotanya. Sehingga posisi setiap instansi dan institusi negara serta pemerintah di perbatasan menampilkan gelegar wibawa sebagai penjaga “beranda depan NKRI”, pemelihara kamdagri, pagar kedaulatan negara, dan tak lagi sekedar Pos Polisi, atau Pos TNI yang kumuh sebagaimana kini berlangsung.
Sedang jangka panjang (boleh dianggap ide gila), perlu dibangun pagar permanen sehingga menutup semua “jalan tikus”. Dan diharapkan, tak lagi terdengar cerita patok-patok batas bergeser, atau sengaja dipindah. Contoh di Sungai Nyamuk, Tarakan, Kaltim, akibat patoknya berpindah –mungkin banyak di lain tempat— ditemukan rumah-rumah warga, dimana teras depannya pada yurisdiksi Indonesia, tetapi dapurnya berada di wilayah Malaysia. Ini nyata!
Apa boleh buat. Menjaga keamanan dan kedaulatan republik tercinta memang tak mudah lagi mahal diongkos. Sedang membuat Suromadu, atau (rencana) membangun jembatan Merak-Bakauheni yang berimplikasi sosial dan ekonomi — kita MAU dan MAMPU. Indonesia BISA! Apalagi terkait harga diri bangsa, keamanan serta kedaulatan negara. Dengan demikian, doktrin “NKRI HARGA MATI” bukan cuma di awang-awang, namun “hidup” dan riil beroperasi dalam kebijakan negara cq pemerintah – lalu mensejahterakan rakyatnya!
Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.