Adji Subela, Cerpenis Betawi dari Ponorogo

Bagikan artikel ini
M Djoko Yuwono, Wartawan Senior
TERLAHIR bukan sebagai orang Betawi, namun kecintaan dan ketertarikannya pada budaya dan tradisi Betawi tidak diragukan lagi. Bahkan, saking cintanya pada budaya penduduk asli Jakarta ini, mantan wartawan harian nasional ini menulis cerita pendek bergenre Betawi.
Cerpen-cerpen Betawinya dimuat di berbagai media nasional dan lokal, di antaranya Sinar Harapan, Waspada, Suara Karya, Terbit dan Majalah Idola.
Di harian Sinar Harapan, Adji Subela yang lahir di Ponorogo, Jawa Timur, 1 Januari 1952 ini diberi tanggung jawab mengisi kolom cerita Betawi di rubrik Kopi Pahit. Setidaknya, selama setahun Adji mengisi rubrik tersebut, mengupas kehidupan sosial masyarakat Betawi. Tentunya, dengan bahasa betawi pula. Di antara tulisan cerpen Betawi yang dimuat di koran berjudul Pengantin Agung, Dana Taktis Jande Mude dan Si Mimin.
Cerpen berjudul Dana Taktis Jande Mude meraih juara dalam lomba cerpen Betawi yang digelar Lembaga Kebudayaan Betawi. Dana Taktis Jande Mude bercerita tentang satu kampung yang semula damai, rukun, dan tenteram. Kegaduhan mulai terjadi ketika kedatangan janda muda cantik yang mengontrak rumah di kampung tersebut.
Akibatnya, setiap hari kampung tersebut menjadi ribut. Banyak pemuda pasang aksi dan para suami menjadi ganjen. Semua lelaki berebut pengaruh sehingga membuat para istri membuat tim penyelidik. Lantas, para suami itu pun diperalat, semuanya diporot para istri lewat si janda. Belakangan baru diketahui si janda merupakan istri seorang muda bos. Ketika si bon menjemputnya menggunakan sedan Mercy, semuanya gigit jari kecuali para istri.
“Budaya Betawi itu unik, beda dengan budaya di kampung saya di Ponorogo,” kata Adji Subela mengawali obrolannya di kediamannya yang asri, di Jalan Musi Raya No 58 Depok, Jawa Barat, beberapa tahun silam.
Menurut Adji, budaya Betawi juga mirip dengan budaya Melayu yang hidup di perantauan. Contohnya, dalam bermasyarakat selalu berkelompok, tidak mau berpisah antara yang satu dan yang lain. Tradisinya juga ada kemiripan, antara lain ada tradisi palang pintu dalam upacara perkawinan, hiasan bunga kelapa, dan sistem kekeluargaannya.
“Orang Betawi juga suka guyon atau bercanda dengan ungkapan-ungkapan yang lucu,” ungkap Adji.
Adji menuturkan, dialek Betawi juga unik karena satu daerah dengan daerah lain berbeda. Sehingga, ketika ada istilah atau ungkapan yang di satu kampung sangat familiar, di kampung lain belum tentu. Contohnya istilah busyet yang sangat dikenal dan kerap digunakan oleh masyarakat Kemayoran untuk menunjukkan kekaguman. Namun, kata busyet asing bagi masyarakat Betawi di kawasan Mampang.
“Saya sempat ditertawakan oleh orang Betawi Mampang ketika menyebut kata busyet. Ini kan sesuatu yang unik. Selain itu, saya tertarik menulis cerpen Betawi juga karena banyak budaya betawi yang hilang seperti lenong atau cokek,” jelasnya.
Adji mengaku, dirinya terusik menulis cerpen Betawi berawal ketertarikannya pada hasil tulisan Firman Muntaco, penulis bergaya Betawi. Apalagi kala itu belum banyak bermunculan sastrawan Betawi yang bisa dilihat karyanya.
Adji mengawali menulis cerpen Betawi tahun 1980-an. Berbagai pengalaman pun pernah dialami ketika pertama kali menulis cerpen Betawi, di antaranya sempat dicibir karena tulisannya bukan bergaya Betawi yang sebenarnya.
“Kala itu saya sempat patah semangat. Ternyata menulis Betawi itu tidak hanya bahasanya yang unik tapi harus ada taste-nya,” ungkap ayah satu anak bernama Muhammad Rizki Hartanto ini, meyakinkan.
Kini, ketika sudah banyak bermunculan penulis Betawi seperti Chairil Gibran Ramadhan yang konsisten menulis cerpen ber-setting Betawi, Adji mulai jarang menulis cerpen Betawi. Apalagi setiap tulisan yang dimunculkannya selalu menjadi kenyataan dalam kehidupan nyata. Seperti cerpen berjudul Pengantin Agung, ternyata isi ceritanya mirip dengan kisah pernikahan dirinya beberapa tahun kemudian.
Pengantin Agung bercerita tentang perkawinan dua orang dari latar belakang budaya/etnis berbeda: Jawa dan Betawi. Hal tersebut dialami Adji karena ia orang Jawa asli dan istrinya Nurul Huda dari Betawi asal Tebet. Selain itu, hasil tulisan lainnya yang menjadi kenyataan adalah berjudul Asap yang bercerita tentang pemuda yang jatuh cinta pada seorang pekerja seks komersil (PSK).
Adji menuturkan, ke depan orang-orang Betawi juga tidak akan menjadi masyarakat yang terpinggirkan. Apalagi saat ini banyak pemuda-pemudi Betawi muncul dalam segala bidang profesi dan pekerjaan. Banyak posisi penting di pemerintahan dan swasta diduduki orang Betawi. Selain itu, dukungan terhadap masyarakat Betawi agar tampil juga mendapat dukungan dari Pemprov DKI.
“Sekarang orang Betawi juga sudah percaya diri. Mereka tidak malu lagi memunculkan identitasnya sebagai orang Betawi,” ujarnya.
Sinetron, Teater, Jurnalistik
Selain menjadi penulis cerpen, Adji juga pernah menapaki dunia seni peran, sinetron dan teater. Judul sinetron yang pernah dibintanginya antara lain Kabut Biru, Anak Titipan, Namaku Aminah, dan Kalung Bermata Peluru. Sedangkan karier jurnalistiknya diawali dari harian Pos Sore yang akhirnya menjadi Harian Terbit, kemudian bergabung dengan Pos Kota, Indonesia Times, Bersatu dan Berita Yudha.
Ketika di Pos Kota, Adji sempat menulis cerita bersambung tentang kehidupan malam di kota Manila. Hal itulah yang membuat kantornya mengirimkan kembali untuk meliput Kongres Pelacur Sedunia di Brussel, Belgia, tahun 1986. Saat ini Adji lebih banyak menulis otobiografi, kolomnis tetap koran nasional, pembicara di komunitas pemuda Ponorogo dan pelatihan jurnalistik.
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com