Amerika Berencana Mengganti Badan Atom dan Energi Internasional (IAEA)

Bagikan artikel ini

Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)

Untuk menghukum dan memberi sanksi berat kepada Iran dan Korea Utara,  berkembang kabar Amerika sedang siapkan organisasi baru pengganti IAEA jika badan atom dan energi ini tidak mau diajak bersekongkol layani kemauan Amerika Serikat.

KTT keamanan nuklir yang berlangsung di Washington Convention Center minggu lalu, berakhir sudah. KTT yang juga dihadiri oleh Wakil Presiden Budiono tersebut, telah bersepakat untuk memperkuat peran International Atomic Energy Agency (IAEA) untuk mengawasi penggunaan bahan-bahan nuklir di seluruh dunia. Sekaligus penegasan bahwa pemanfaatan nuklir sejauh untuk tujuan damai tidak akan dibatasi. “Akhirnya menuju kepada pertama, instansi yangh sangat strategis di bidang ini, IAEA, akan diperkuat. Dan ini sesuai dengan keinginan banyak negara untuk mengawasi secara tekmnis dan menjangkau banyak negara,” ujar Wakil Presiden Budiono saat menyampaikan hasil KTT Keamanan Nuklir 13 April lalu.

Indonesia, senada dengan sikap beberapa negara berkembang, menekankan pentingny dunia tanpa senjata nuklir (a world without nuclear weapon) yang bertumpu pada 3 pilar yaitu pelucutan nuklir (nuclear disarmament), penghentian pengembangan senjata nuklir (nonproliferation), dan penggunaan nuklir untuk tujuan damai.

Sikap yang diambil Indonesia sejatinya cukup tepat dan didasari oleh itikad baik menciptakan suasana dunia yang damai dan bebas dari segala macam bentuk persenjataan yang mematikan dan mengancam jiwa umat manusia di muka bumi. Sehingga rumusan Indonesia dan beberapa negara yang tergabung dalam Gerakan Non-Blok, pada dasarnya ditujukan kepada semua negara tak terkecuali Amerika Serikaat, Rusia dan Republik Rakyat Cina.

Namun dalam mencermati sikap Presiden Barrack Obama yang sekaligus bertindak sebagai tuan rumah KTT keamanan nuklir yang berlangsung di Washington, terungkap adanya agenda khusus yang sasaran pokoknya tetap sejalan dengan Presiden George W. Bush. Yaitu, mendesak dunia internasional untuk mengecam dan mengutuk kepemilikan nuklir Republik Islam Iran.

Dalam pidantonya di depan peserta KTT, Obama tetap saja menyanyikan lagu lama, bahkan tetap dengan aransemen lama. “Jaringan teroris seperti Al Qaeda telah mencoba mendapatkan bahan baku untuk senjata nuklir. Dan jika mereka berhasil, mereka akan menggunakannya,” tegas Obama di tempat KTT, Washington Convention Center. Siapa yang dia maksud dengan jaringan teroris seperti Al Qaeda? Bisa dipastikan Obama sedang membidikkan sasaran tembaknya kepada negara-negara tertentu seperti Iran dan Korea Utara.

Menjadikan Al Qaeda sebagai sasaran tembak, hanya sekadar sasaran antara untuk menembakkan sasaran yang sesungguhnya yaitu Iran. Frase yang yang digunakan Obama untuk menyerang Iran secara tersirat adalah soal kepemilikan plutonium sebagai bahan baku nuklir. Dalam pidatonya Obama mengajak para kepala negara untuk menjaga keamanan bahan baku nuklirnya agar tidak jatuh ke tangan teroris.

Menurut Obama, kepemilikan plutonium yang tidak lebih besar dari sebuah apel akan bisa meledakkan kekerasan dan menyebabkan ribuan akibat. Dengan begitu, jelaslah bahwa agenda pokok Obama tidak murni soal pengurangan persenjataan nuklir, melainkan untuk menggalang dukungan dunia internasional, termasuk Rusia yang merupakan pesaing potensialnya, untuk beramai-ramai menghukum dan memberi sanksi berat kepada Iran.

Beberapa negara, yang termasuk negara-negara satelit Amerika seperti Kanada, Ukraina, dan Meksiko, menyatakan akan menghentikan pengayaan uranium sebagai langkah maju agar kelompok teroris semakin sulit untu mencuri atau memiliki bahan baku kunci untuk membuat senjata nuklir.

Tren ini memberi isyarat yang cukup mencemaskan bagi beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia, karena sikap ketiga negara satelit Amerika tersebut seakan merupakan tekanan halus agar Indonesia menghentikan program nuklir untuk tujuan damai. Jadi sepertinya Amerika sedang berusaha untuk mencampur-adukkan antara program nuklir untuk tujuan damai dan nuklir untuk pengembangan persenjataan. Padahal hal itu merupakan dua isu yang terpisah dan tidak ada kaitannya satu sama lain.

Menurut satu sumber Global Future Institute di Departemen Luar Negeri, Amerika di era Obama sedang berusaha untuk tetap mempolitisasi IAEA pada skala yang jauh lebih halus dan persuasif dibandingkan pada era Bush junior.

Dengan tetap bersemboyan untuk memperkuat Non Proliferation Treaty (NPT), Amerika akan menggunakan IAEA sebagai alat untuk meluncurkan proses-proses investigasi baru berdasarkan data-data yang bersifat rahasia yang akan dipasok oleh Amerika dan beberapa negara Eropa  Barat. Dengan memasok data-data yang mereka klaim sebagai confidential tersebut, Amerika dan para sekutunya akan melancarkan aksi dis-informasi melalui media massa yang sehaluan dengan agenda mereka, berkaitan dengan adanya indikasi pelanggaran rezim NPT.

Jika rencana Amerika ini berjalan mulus hingga digelarnya KTT NPT bulan Mei mendatang, maka IAEA akan terancam menjadi alat propaganda Amerika untuk mencapai sasaran pokoknya yang sebenarnya, yaitu menghukum Iran dengan dalih sedang membuat persenjataan nuklir.

Bagi Indonesia, dan beberapa negara yang tergabung dalam ASEAN di kawasan Asia Tenggara, adanya rencana busuk Amerika tersebut pada perkembangannya bisa menganggu rencana-rencana pengembangan energi nuklir yang tentunya ditujukan untuk pembangunan dan pengembangan teknologi untuk kesejahteraan masyarakat dan untuk tujuan damai.

Namun, menurut sumber GFI tersebut, ini baru salah satu skenario yang akan dilaksanakan. Karena untuk menerapkan skenario ini, tentunya dengan satu syarat yaitu IAEA akan bersedia untuk bersikap kooperatif atau bahkan tunduk pada agenda-agenda strategis Amerika.

Skenario lain yang mungkin akan dilancarkan Amerika dan para sekutu-sekutunyad adalah, dengan melakukan deligitimasi IAEA jika badan atom dan energi internasional tersebut tidak bersedia untuk melayani agenda-agenda terselubung Amerika seperti tersebut di atas. Dengan kata lain, IAEA akan tetap bersikap independent dalam menjalankan tugas dan fungsinya.

Menurut berbagai sumber dan penelusuran berbagai data pustaka yang disusun tim riset Global Future Institute, ada indikasi Amerika memang mulai meragukan IAEA sebagai organisasi internasional yang bisa begitu saja mau dijadikan sebagai alat politiknya. Sehingga pada perkembangna ke depan, bukan tidak mungkin Amerika akan melakukan aksi propaganda dengan mengangkat isu bahwa IAEA tidak bisa diandalkan sebagai organisasi international dalam bidang atom dan energi untuk memberi pengamanan terhadap obyek-obyek  fisik nuklir.

Ketika citra IAEA sebagai organisasi internasional yang berfungsi memberi perlindungan terhadap bahaya nuklir mulai rusak, maka Amerika akan memiliki argument dan legitimasi yang cukup kuat untuk mengusulkan adanya struktur dan mekanisme internasional baru organisasi internasional pengganti IAEA, dengan melibatkan bantuan dari beberapa LSM (NGO) Amerika.

Menyikapi rencana seperti ini, Global Future Institute merasa perlu untuk mengajak semua pihak baik di Indonesia maupun luar negeri, agar semakin memperkuat monitoring dan pengawasan terhadap semua kegiatan dan perilaku para pemimpin IAEA yang duduk di kepengurusan periode saat ini.

Hal ini penting, menyusul terpilihnya Yukiya Amano, Direktur Jenderal IAEA yang baru. Selain mengindikasikan adanya kemungkinan IAEA bertindak sebagai alat propaganda Amerika sehingga IAEA terancam kehilangan statusnya sebagai badan internasional yang independent, namun pada perkembangan lebih lanjut, IAEA di bawah kepemimpinan Yukiya Amano dari Jepang, akan menjadi katalisator terbentuknya organisasi baru pengganti IAEA, agar badan baru tersebut kelak akan sepenuhnya berada dalam orbit Amerika dan negara-negara Eropa Barat.

Dalam salah satu artikelnya, Amano memang sempat melontarkan gagasan pemikirannya, yang menurut penulis bisa memicu ketegangan internasional dalam waktu dekat. Amano menulis,” Pada tahap pertama, semua pihak yang berkomitmen pada NPT harus membuat komitmen penyelematan (safeguards agreement) dengan IAEA sehingga memungkinkan para inspektur kita untuk memverifikasi bahwa semua bahan-bahan nuklir yang mereka miliki, memang benar-benar akan digunakan untuk tujuan-tujuan damai. Saat ini ada sekitar 22 negara yang belum melaksakan komitmen penyelamatan sebagaimanan dimaksud.”

Pada bagian lain dari tulisannya, Amano secara eksplisit menuding Iran sebagai salah satu negara yang tidak kooperatif untuk mengungkapkan kepemilikan dan fasilitas pengembangan persenjataan nuklirnya. Korea Utara dan Syria juga disebut-sebut oleh Amano sebagai negara yang bermasalah untuk soal kepemilikan nuklir.

Tak diragukan lagi, gagasan pemikiran Amano ini akan segera menjadi dasar kebijakan strategis dan program-program kerja dirinya sebagai Direktur Jenderal IAEA. Nampaknya Amerika akan memanfaatkan betul figur Amano sebagai warga asli Jepang yang pernah mengalami betapa menderitanya rakyat Jepang ketika Amerika menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945. Suatu siasat yang cukup cerdik, dengan memanfaatkan sentimen rakyat Jepang terhadap bahaya senjata nuklir, Amerika menggiringnya ke sasaran khusus: Menghukum Iran dan Korea Utara dengan dalih memiliki bahan untuk pembuatan dan pengembangan persenjataan nuklir.

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com