Analisa Kemungkinan Kebijakan AS di SAGA Laut Cina Selatan

Bagikan artikel ini

Cina memang tak ingin kehilangan momen mengkoloni. Disaat semua perhatian negara diarahkan menghadapi krisis kesehatan dan ekonomi karena pendemi corona, Cina makin memantapkan posisinya di LCS. Penegasan pendudukan Cina ini ditegaskan melalui kampanyenya bernama “Laut Biru 2020,” yang berlangsung 1 April hingga 30 November 2020.

Kampanye ini menargetkan pelanggaran hukum dan peraturan di delapan bidang termasuk konstruksi proyek kelautan dan pesisir, eksplorasi dan eksploitasi minyak lepas pantai, pembuangan laut dan penambangan dan transportasi pasir laut. Setiap kegiatan ilegal yang menyebabkan polusi dan kerusakan lingkungan ekologi laut akan ditindak keras untuk memajukan upaya negara melawan polusi.

China to launch law enforcement campaign for marine environmental protection

Aplikasinya, sampai tulisan ini dibuat adalah:

1.  Pada 3 April, sebuah kapal penjaga pantai Cina (CCCG) menenggelamkan kapal penangkap ikan Vietnam di perairan yang disengketakan di Kepulauan Paracel,

2. Sepuluh hari kemudian, pada 13 April, Cina memindahkan kembali kapal survei geologinya Haiyang Dizhi 8 yang kontroversial, dari wilayah pengeboran di dekat Vanguard Bank, ke zona ekonomi eksklusif Vietnam (ZEE).

3. Dan pada 18 April, Kementrian Sipil Cina umumkan di pulau pulau buatannya di Kepulauan Spratly dan Paracel LCS, pembukaan dua distrik administrasi baru dibawah kendali kota Sansha bernama Xisha dan Nansha.

4. Secara terpisah, Kementerian Sumber Daya Alam Cina juga mengumumkan 80 nama geografis di Laut Cina Selatan, banyak diantaranya yang tenggelam pada saat air pasang (dan karena itu secara hukum berbeda dari batuan, karang dan pulau-pulau, yang punya hak maritim tertentu berdasarkan Konvensi PBB tentang Hukum Laut).

China’s announcement to establish administrative districts in East Sea null and void

Cina memang tak lagi peduli dengan penolakan Pengadilan Internasional Denhaag 2016 atas semua klaim sepihaknya berdasar 9 Dash linenya di LCS. Cina juga tak peduli dengan protes negara-negara yang kedaulatan wilayahnya di koloni antara lain Vietnam, Filiphina Malaysia dan Brunei (juga Indonesia di Laut Natuna).

Cina tak merasa keliru karena menurut Cina itu sesuai penggalian nilai nilai filosofis leluhur kuno Cina jaman Zhou yaitu Tianxia. Filosofi inilah menjadi dasar blue print sikap ekspansi Cina selama ini.

The Tianxia System: World Order in a Chinese Utopia

Bahkan untuk menguatkan dan pembenaran sikapnya, Cina menganggap bahwa semua tatanan hukum internasional dunia saat ini tidak adil, tidak berkeseimbangan dan hanya menguntungkan negara barat.

Maka itu Cina menganut strategi seperti juga yang diungkap di buku Qiao dan Wang. Unrestricted Warfare (Perang Tak Terbatas), yang telah dijadikan materi doktrin siswa Sekolah Militer Cina dan PLA sejak th 2016, bahwa hukum internasional bisa diberlakukan dan disetujui Cina hanya apabila menguntungkan negara Cina.

Ini yang menjadi dasar ketidakmungkinan Cina berpaling mundur dari wilayah pendudukannya di LCS, disamping ambil keuntungan dari pengendalian ruang hidup dan kekayaan alam, ikan, kandungan gas, minyak yang ada disana tentunya

Bagaimanapun sikap Cina ini harus ditentang. Dan negara yang mampu menahannya adalah yang punya kekuatan lebih baik. Dan itu menunjuk Amerika Serikat.

AS jelas punya kepentingan besar di wilayah Laut Cina Selatan dan Pasifik. Dari sisi ekonomi alur laut saja, dari logistik senilai $5,3 Trilyun per tahun, $1,2 Trilyunnya berkait dengan ekonomi AS.

Itu berarti AS punya kepentingan agar wilayah ini tetap menjadi alur laut bebas internasional. Bila dikuasai Cina, siapa yang bersedia bayar tol nya? Belum lagi bicara asuransi yang resikonya akan meningkat. Demikianlah kira-kira.

AS juga perlu menjaga agar negara sekutunya seperti Jepang, Korea, Filiphina juga Australia tidak diblokir Cina. Dan masih banyak lagi. Pertanyaannya, strategi apa yang mungkin dilakukan AS untuk itu dan bagaimana kemungkinan dampaknya?

Yang pasti untuk menghadapi Cina bila melihat dari kepentingan AS memang tidak ada strategi yang ideal. AS juga nampaknya berhitung cermat untuk hal ini. Itu mungkin yang menyebabkan gerakan AS nampak lambat di LCS, walau negara terkoloni sudah mengharapkannya.

Filiphina sudah berteriak sejak Scarborough Shoal 2014 dan 2016. Sementara Vietnam kemungkinan akan bersedia bekerjasama untuk menerima pangkalan militer AS di Cam Ranh Bay, walau kebijakan resmi “3 Tidak”nya melarang.

Will Vietnam Lease Cam Ranh Bay to the United States?

Secara singkat mungkin ada sederet kemungkinan strategi yang bisa diambil AS antara lain:

A. Strategi Memaksa Mundur

a. Secara fisik menyerang pasukan Cina di Laut Cina Selatan.
b. Memblokir pasukan Cina di semua atau sebagian wilayah Laut Cina Selatan sampai mereka mundur.
c. Menerapkan sanksi ekonomi untuk memaksa militer Cina untuk mundur.
d. Merongrong dari dalam “inti” kepentingan Cina, seperti Taiwan, kecuali Cina menarik diri.

B. Staregi Pembendungan

a. Mendaratkan pasukan AS pada wilayah yang dikendalikan oleh tetangga Cina.
b. Memberikan dukungan militer kepada negara penuntut Laut Cina Selatan lainnya.
c. Mempertahankan kehadiran militer regional yang besar, khususnya di dekat wilayah sengketa.
d. Mengakui tetangga China sebagai penuntut sah dari wilayah yang disengketakan.

C. Strategi Pengimbangan

a. Meningkatkan keterlibatan politik-militer AS di Asia Tenggara.
b. Menerapkan hukuman ekonomi/diplomatik dalam menanggapi kemajuan Cina.
c. Mengimbangi klaim wilayah Cina dengan penyebaran militer AS yang lebih besar.
d. Mendorong tantangan diplomatik dan hukum untuk kegiatan Cina dimaksud

D. Strategi Akomodasi

a. Secara terbuka menerima reklamasi, konstruksi, dan militerisasi Cina di LCS.
b. Menghentikan operasi kebebasan navigasi di Laut Cina Selatan.
c. Berkomunikasi pada negara Asia Tenggara bahwa AS tidak akan campur tangan dalam perselisihan regional.
d. Mengklarifikasi bahwa komitmen AS terhadap Filipina tidak termasuk Laut Cina Selatan.

Implikasi Kebijakan

Jadi apa langkah yang akan diambil Amerika Serikat? Tak ada yang ideal memang. Bila ambil strategi memaksa mundur, maka kemungkinan akan menimbulkan perdebatan di Senat atau Kongres, terutama bagi lawan politik pmerintahan Presiden Trump karena ini berarti membebani AS dengan tingkat biaya dan resiko yang tinggi.

Biaya ini juga yang kemungkinan harus ditanggung AS dan jauh lebih besar dibandingkan beban yang akan ditanggung negara mitra atau sekutu. Apa iya AS akan bersedia? Untungnya apa?

Disinilah kemungkinan besar Pemerintah AS benar benar memperhitungkan tujuan tujuan yang dikorbankan, yang seharusnya dilindungi dibandingkan keberhasilan pencapaian strategi ini.

Apalagi di era Presiden Trump ini nampak lebih menekankan kebijakan pada pentingnya kontribusi mitra dan sekutu untuk pertahanan mereka sendiri. “Masa loe yang apes, gue yang musti maju di depan? kalau mau ayo maju dan tanggung bareng-bareng,” begitu kira-kira mungkin pikiran AS. Jadi kemungkinan opsi AS di depan sendirian, akan menjadi pertimbangan terakhir.

Demikian pula AS tidak akan mungkin ambil strategi akomodasi. Strategi akomodasi ini berarti AS secara efektif akan meninggalkan dan menyerahkan sebagian besar Asia Tenggara ke Cina.

Ini merupakan bencana geopolitik dan geoekonomi bagi Amerika Serikat mengingat relatif banyak juga kepentingan AS di berbagai sisi berkait dengan wilayah Hindia dan Pacific. Kini yang tinggal adalah strategi pembendungan dan strategi pengimbangan.

Di dua strategi ini memang tidak eksklusif, bisa saja digunakan keduanya plus tambahannya. Secara garis besar bisa jadi para pemimpin AS mengajak pemimpin negara Asia Tenggara untuk lebih luas bersedia mengeluarkan ancaman jera yang jelas, dan untuk mendukung aplikasi ancaman-ancaman dengan potensi sanksi militer, ekonomi, dan diplomatik.

Ini mungkin dapat mengurangi aspek terburuk dari agresi Cina dengan mencegahnya dari merebut atau mengklaim kembali wilayah yang dipersengketakan.

Unsur-unsur strategi penyeimbang bisa jadi diarahkan agar memastikan bahwa Cina akan menderita kerugian jangka panjang setiap kali negara itu berusaha memperoleh keuntungan jangka pendek.

Memang tidak mudah bagi AS untuk bertindak langsung karena negara Asia Tenggara tetap mempertahankan pendekatan dua muka. Dari sisi militer berhadapan tetapi tidak dalam sisi perdagangan dan sisi lainnya akibat lobi Cina yang kuat.

Pendekatan dua muka yang dilakukan negara Asia Tenggara seperti ini yang menyebabkan berlarutnya penyelesaian Laut Cina Selatan secara tuntas.

Jadi sekali lagi itu semua kembali juga pada negara Asia Tenggara sendiri. Bagaimanapun hingga saat ini kemungkinan AS hanya bersedia sebagai back up bukan sebagi pasukan pemukul utama dan pertama. AS akan mensupport negara-negara Asia yang mau melawan Cina, sambil mengamankan diri dari kewajiban jangka pendek dan jangka panjang yang timbul atas penggunaan strategi dimaksud dan baurannya.

Ini juga bukan berarti AS tidak akan melakukan tindakan ekstreem opsi pemukul mundur juga. Semua terganting kondisi yang diperhitungkan dan diprioritaskan para penentu srategi AS dan lobi di negara Asia Tenggara baik kontemporer atau jangka panjang. Sekian

Adi Ketu, Pengiat Sosial Media dan Peminat Isu Internasional

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com