Antara Konflik Ukraina, Simulasi Perang Dunia III, dan Kriteria Perdana Menteri/Presiden Abad Ke-21

Bagikan artikel ini
Cerpen Kecil Geopolitik
Konflik Ukraina yang diawali ‘invasi militer’ (operasi militer khusus) Rusia tanggal 24 Februari 2022 ke Kharkiv, Mariupol, termasuk Kiev — hingga kini, selain belum ada tanda-tanda berakhir, juga eskalasinya jusuru kian meningkat bahkan mengarah pada perang nuklir. Dan tampaknya, peperangan antara Rusia versus Ukraina dapat dijadikan simulasi serta model peperangan paling modern di abad ke-21 ini.
Kenapa begitu?
Sebab, dalam konflik tersebut tidak hanya militansi serta profesionalitas tentara saja yang diperlukan; ada display kecanggihan mesin perang; strategi perang total; pentingnya aliansi; model politik luar negeri; diplomasi energi; penguasaan geopolitik; penghayatan energy security; bahkan soal penguasaan ekonomi makro dan mikro serta dampaknya akibat perang sanksi antara Rusia dan Barat, side effect konflik Ukraina. Password-nya tidak sama. Energy security misalnya, password-nya 4A (Accessibility, Acceptability, Affordabilily, dan lain-lain); atau geopolitik, kata sandinya the power of oil/energi, dan lainnya.
Dan hal-hal di atas merupakan pembelajaran super penting bagi negara manapun, baik negeri pengamal doktrin sivis pacem para bellum maupun negara yang abai terhadap doktrin dimaksud. Suka atau tidak suka. Siapa ingin damai, bersiaplah untuk perang.
Barangkali, itulah model perang teraktual di abad ke-21. Konflik Ukraina adalah hybrid war di level sangat tinggi. Entah seperti apa nanti istilah. Perang Generasi ke-5, atau Generasi ke-6, atau jangan-jangan sudah melompat ke Perang Generasi ke-7. Entahlah.
Kecemasan atas kondisi geopolitik global akhir-akhir ialah pertimbangan paling utama. Itu poin intinya. Mengapa? Indikasi perang besar (great war) mulai menyeruak di atas permukaan, contohnya ialah:
1. Memanasnya konflik di Laut Cina Selatan antara Cina versus Amerika Serikat (AS) dan kelompok negara kawasan yang dipicu klaim Nine Dash Line (sembilan garis putus-putus) oleh RRC. Termasuk berdirinya pangkalan militer Cina di Fiery Cross Reef di Kepulaan Spartly, dekat Natuna, Kepulauan Riau;
2. Tembakan ‘test case‘ rudal balistik Korea Utara ke arah Jepang pada tanggal 4 November 2022. Membuat Jepang kalang kabut tetapi tak berbuat apa-apa bahkan tidak mampu membalas;
3. Proxy war antara Cina melawan AS beragendakan konflik vertikal di Myanmar. Ataupun, proxy war lain bertema konflik antarmazhab di Timur Tengah dan lain-lain;
4. ‘Klaim’ Australia atas Pulau Pasir di Nusa Tenggara Timur yang masih pro kontra di akar rumput;
5. Adanya potensi invasi militer Cina ke Taiwan karena Taipeh menolak Kebijakan ‘One China‘- nya Xi Jinping;
6. Dan berbagai konflik lain di pelbagai belahan dunia baik yang bersifat militer maupun nirmiliter (asimetris).
Merujuk atas mundurnya beberapa Perdana Menteri (PM) di Estonia, Bulgaria, Italia, dan di Inggris (dua kali dalam kurun waktu dua bulan), bahwa selain faktor konflik antarfaksi dan elit di internal negara, faktor utama mundurnya para PM adalah kegagalan dalam mengantisipasi krisis energi dan pangan akibat ‘kebijakan keliru’ dalam menyikapi konflik Ukraina.
Belanda dan Jepang di satu sisi, mulai ‘merapat’ ke Rusia melalui cara berbeda. Belanda secara langsung, Jepang melingkar via Cina, sekutu dekat Putin. Namun pada sisi lain, India bermanuver secara cerdik. Ia berada di Indo-Pasific bersama AS cs, tetapi juga di BRICS justru berangkulan dengan Rusia dan Cina. Cakep. Hasilnya? Ia dapat minyak murah dari Rusia, dan India adalah satu-satunya negara di dunia yang potensi krisisnya 0%.
Jadi, siapapun kandidat PM dan/atau Presiden di negeri manapun di dunia kudu memiliki pengetahuan, pemahaman, dan penghayatan —mininal— ia mengerti atas hal-hal yang diurai dalam cerpen kecil geopolitik ini.
Demikianlah adanya, demikian sebaiknya.
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com