Keuntungan Dan Kerugian Indonesia Dalam G20

Bagikan artikel ini
Cerpen Geopolitik Jelang KTT tanggal 14-15 November di Bali
Tak bisa dipungkiri, Group of Twenty alias G20 merupakan reaksi serta kelanjutan forum G7. Artinya, ketika negara kaya dan maju dalam lingkar G7 gagal mencari solusi krisis ekonomi global, muncul-lah pandangan betapa pentingnya negara-negara yang berpendapatan menengah namun memiliki pengaruh ekonomi secara sistemik diikutsertakan dalam perundingan guna mencari solusi masalah ekonomi global.
G20 terdiri atas 19 negara plus Uni Eropa (UE) serta perwakilan dari IMF dan Bank Dunia. Ia adalah forum utama ekonomi dunia yang mewakili sekitar 2/3 populasi dunia, 79% perdagangan global, dan 85% ekonomi dunia.
Tahun 1999, atas saran dari para Menteri Keuangan (Menkeu) G7 yang meliputi Menkeu Amerika Serikat (AS), Inggris, Jepang, Jerman, Italia, Kanada, Prancis serta para Menkeu dan Gubernur Bank Sentral dari G20 mulai membahas krisis global 1997-1999. Nah, semenjak saat itu, pertemuan tingkat Menkeu dilaksanakan rutin setiap musim gugur.
Pada tanggal 14 – 15 November 2008, Presiden AS George W Bush mengundang para pemimpin negara G20 dalam KTT G20 kali pertama dalam rangka merespon dampak krisis keuangan yang melanda Paman Sam. Salah satu poin perundingannya, mereka sepakat untuk melakukan pertemuan lanjutan.
Maka, pada 1-2 April 2009, London menjadi presidensi (tuan rumah) KTT G20 ke-2 di bawah koordinasi PM Inggris Gordon Brown; KTT ke-3 di Pittburg pada 24-25 September 2009 di bawah koordinasi Presiden AS Barrack Obama; KTT ke-4 di Toronto pada 26-27 Juni 2010 di bawah koordinasi PM Kanada Stephen Harper; KTT ke-5 di Seoul pada 11-12 November di bawah koordinasi Presiden Korea Lee Myung – Bak; KTT ke-6 di Cannes, Prancis (2011); KTT ke-7 di Los Cabos, Mexico (2012); KTT ke-8 di St Petersburg (2013); lanjut di Brisbane, Australia (2014); di Antalya, Turki (2015), di Hangzhou, Cina (2016); di Hamburg, Jerman (2017); di Buenos Aires, Argentina (2018); di Osaka, Jepang (2019); di Riyadh, Arab Saudi (2020); KTT ke-16 pada 30-31 Oktober 2021 di Roma, Italia; dan KTT G20 ke-17 akan dilaksanakan pada 15-16 November nanti di Bali, Indonesia.
Dalam setiap KTT, para Menkeu dan Gubernur Bank Central dari G20 mengadakan pertemuan beberapa kali setiap tahun. G20 tidak memiliki sekretariat permanen. Penetapan presidensi atau tuan rumah berdasarkan rotasi kawasan.
Tema besar dalam KTT di Bali adalah: “Recover Together, Recover Stronger“. Pulih Bersama, Bangkit Lebih Kuat. Dan selaku tuan rumah, Indonesia mengusulkan sejumlah inisiatif antara lain: Global Expenditure Support Fund (GESF) atau dana dukungan pengeluaran global; Global Infrastructure Connectivity Alliance (GICA) atau aliansi konektivitas infrastruktur global; dan Inclusive Digital Economy Accelerator (IDEA Hub) atau akselerasi ekonomi digital inklusif.
Apa kepentingan dan manfaat Indonesia dalam G20?

Secara formal, manfaat G20 silakan dibaca pada web www.kemenkeu.id atau www.kominfo.go.id

Dalam web tersebut diurai secara panjang lebar.

Akan tetapi, dari sisi geopolitik — keuntungan yang diperoleh Indonesia hanya ‘gengsi naik’; sementara kerugiannya tidak sedikit, misalnya adalah:
1. Terpaksa ikut agenda Barat;
2. Terpaksa manut kalau dibuat aturan tambahan global terkait ‘paket DHL’ (demokrasi, HAM, lingkungan) yang kerap justru merugikan;
3. Ketiban biaya penyelenggaraan KTT dan pertemuan yang cukup besar;
4. Aturan dagang yang dibuat Barat melalui WTO terpaksa diikuti karena dianggap negara kaya (padahal Indonesia secara status belum kaya).
Sedangkan yang tidak berubah adalah:
1. Persepsi terhadap Indonesia tidak berubah signifikan;
2. Arus Foreign Direct Invesment (FDI) tak kunjung berubah besarannya (dalam proporsi terhadap PDB kita);
3. Status paspor Indonesia tetap ‘melempem’. Masih juga mengurus visa kemana pun mau pergi, tidak bebas visa masuk ke negara G20;
4. Tetap dijadikan objek ‘jarahan’ oleh Barat; dan
5. Transfer teknologi dan basis manukfatur tidak terjadi.
Dalam bahasa vulgar, kesimpulan prematur yang bisa diambil dari perspektif geopolitik atas keikutsertaan Indonesia pada G20 adalah: “Menang digengsi, sisanya adalah apes”.
Menengok ke belakang sebentar. Bahwa masuknya Indonesia dalam G20, mungkin mirip cerita tatkala Indonesia dahulu tergabung dalam OPEC. Timbul pro kontra di internal. Pada satu sisi, apakah tidak keliru, negeri pengimpor minyak kok masuk keanggotaan negara pengekspor minyak? Ini pendapat pihak yang kontra atas keberadaan Indonesia di OPEC. Sedang di sisi lain, kalau masuk lingkar negara kaya (pengekspor minyak) nanti bisa kecipratan kaya juga. Sebuah logika mbeling pihak yang pro.
Dan akhirnya, pada 2008 Indonesia secara sukarela keluar dari OPEC.
End
M Arief Pranoto, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com