Antara Radikalisme dan Isu Imajiner (Bag-II/Habis)

Bagikan artikel ini

Sesi Belajar Geopolitik

Siapa, apa dan bagaimana RAND Corporation? Nah, guna memahami RAND Corporation (RAND Corp) secara singkat, untuk siapa bekerja, bagaimana konsep pecah belah terhadap Islam dan lain-lain, disarankan menyimak terlebìh dahulu tulisan Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI), Jakarta, berjudul: “Jurus Sakti Pecah Belah Islam ala Rand Corporation.” Kenapa demikian, dalam artikel tersebut diterangkan untuk apa RAND Corp bekerja, siapa jejaring dan budaya (Islam) mana dibenturkan dengan dan/atau antara siapa.

Tanpa membaca dulu artikel Hendrajit dikhawatirkan pemahaman pembaca cenderung bias lagi kurang utuh, mengapa begitu? Ya, analisis geopolitik ini tidak lagi membahas pola dan metode pecah belah ala RAND Corp melainkan sekilas, hanya menyambungkan bahasan. Analisis kali ini justru mengkritik basis konsepsi RAND Corp dalam membenturkan sesama muslim melalui budayanya dimana Islam tumbuh dan berkembang.

Ya. Sebagaimana “blunder” Samuel P Huntington dalam buku Clash of Civilizations and Remaking of World Order, agaknya RAND Corp pun keliru melihat dan menelaah Islam. Secara filosofi, basis teorinya keliru dalam memahami Islam.

Pertanyaannya adalah: “Apa bentuk blunder dan dimana kekeliruan kedua konsep di atas?”
Tak lain, bahwa kesalahan mendasar baik tesis Huntington maupun rumusan RAND Corp tentang Islam lebih kepada anggapan bahwa Islam ialah ideologi. Ini premis salah. Ini titik awal yang keliru. Mengapa? Islam itu agama (langit), bukan ideologi. Islam itu rahmatan lil alamin. Rahmat bagi seluruh alam baik bagi manusia, hewan, tumbuhan, gunung-gunung, lautan dan seterusnya. Sudah barang tentu, agama (langit) berbeda dengan ideologi. Ideologi itu hasil olah pikir manusia yang diyakini kebenarannya lalu disepakati untuk dijadikan pedoman dalam hidup, bernegara dan bekerja.

Menurut KBBI, ideologi merupakan kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup.

Sekali lagi, baik Huntington maupun RAND Corp beranjak dari sebuah premis keliru. Islam dianggap seperti halnya (ideologi) fasisme, contohnya, dimana pada Perang Dunia II dikalahkan oleh kapitalis liberalisme. Termasuk dalam Cold War (Perang Dingin), kapitalisme juga mengalahkan komunisme yang ditandai oleh pecahnya Uni Soviet.

Gilirannya pasca-Cold War, seolah-olah kapitalis merupakan alternatif ideologis yang tersisa bagi bangsa dan negara-negara di dunia. Dan secara khusus, Francis Fukuyama dalam buku The End of History menyatakan bahwa dunia —usai Cold War— sudah mencapai sebuah ‘akhir sejarah’. Tak ada lagi perang ideologi.

Huntington menerangkan bahwa era konflik ideologi sudah berakhir, dunia kembali pada kondisi normal yang dicirikan oleh “konflik budaya”.

Nah, dari esensi narasi di atas terbaca bahwa setiap konflik niscaya akan dituduhkan pada faktor budaya. Ya. Benturan budaya akan menjadi kambing hitam, bukan lagi konflik antar-ideologi. Artinya, secara intelijen bakal ada eksploitasi budaya secara silent ataupun terbuka. Entah penajaman perbedaan masing-masing budaya dan kemudian saling dibenturkan. Hal ini selaras dengan tesis Huntington usai Cold War, yakni: “Konflik budaya.”

Barang kali benturan antara Syi’ah versus Sunni, misalnya, adalah hasil kerja mereka, atau menghadapkan antara Islam budaya tradisional melawan sekuler, abangan, Islam (budaya) moderat dan lain-lain.

Huntington berpendapat bahwa peradaban Islam mengalami ledakan populasi yang memicu ketidakstabilan baik di ‘perbatasan Islam’ maupun di pedalaman. Sepertinya pada poin ini pun bisa menjadi basis stigma, misalnya, isu kebangkitan Islam nanti akan dicap sebagai isu fundamentalisme. Revolusi Iran 1979 dan Perang Teluk I, di mata Barat dianggap sebagai gerakan fundamentalisme Islam. Pertanyaannya ialah: “Bukankah secara geopolitik, kedua peperangan baik Revolusi Iran maupun Perang Teluk I semata-mata karena faktor geoekonomi (energi), bukan konflik budaya?”

Geopolitik mengajarkan bahwa jarang ada perang agama, konflik budaya, etnis dan lain-lain melainkan karena faktor (geo) ekonomi. Ya, perang cuma agenda/tema belaka. Tidak lebih. Sedang skema (tujuan) geopolitik tidak berubah sepanjang zaman yakni penguasaan geoekonomi.

Konsep geoekonomi itu pun mengalami pergeseran dari waktu ke waktu, misalnya, apabila abad ke-19 ke bawah geoekonomi itu identik degan pangan dan rempah-rempah, sedang abad ke-20 identik dengan emas, minyak dan gas bumi. Entah abad ke-21 ke atas. Bisa jadi geoekonomi nanti identik dengan rare earth (mineral jarang), misalnya, atau lithium, nikel dan lainnya.

Sampai di sini boleh ditarik benang merah kendati masih prematur, bahwa Dunia Barat dalam hal ini Huntington dan RAND Corp memandang Islam sebagai ideologi. Itu yang pertama.

Kedua, konflik pasca-Cold War akan dipicu/terpicu oleh tabrakan budaya terutama budaya di dalam Islam;

Ketiga, akan ada support dari Barat kepada kelompok dan golongan pengusung simbol-simbol budaya dalam Islam dalam rangka mempertajam perbedaan. Kenapa? Bila kesenjangan budaya semakin menganga di antara sesama muslim (tidak ada persatuan Islam) — maka ibarat tumpukan jerami kering di ladang gersang, dipercik api kecil saja si jago merah (konflik) pun berkobar.

Pertanyaan krusialnya: “Apa motif dan kepentingan mereka menciptakan konflik di internal Islam?”
Ya. Selain melemahkan Islam dari sisi internal karena populasinya semakin hari kian membesar serta meluas, juga ada asumsi di dunia geopolitik: “Conflict is protection oil flow and blockade somebody else oil flow” (Dirgo D Purbo, 2011). Konflik diciptakan guna melindungi aliran minyak dan memblokade (mengalihkan) pihak lain atas aliran minyak tersebut.

Nah, sesuai judul di atas, pertanyaan pamungkas adalah: “Jadi, radikalisme itu isu imajiner, isu nyata, atau pengalihan isu?”

Let them think let them decide!

M Arief Pranoto, Direktur Program Studi Geopolitik dan Kawasan Global Future Institute (GFI)
Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com