AS dan Blok Barat Khawatir Terhadap Skema One Country Two System Cina

Bagikan artikel ini

Mencermati sikap AS, Australia dan Inggris yang kian agresif dan offensif terhadap Cina dalam beberapa tahun terakhir ini, mengundang tanya apa yang jadi kekhawatirannya yang paling substansial terhadap Cina. Murray Weidenbaum dan Samuel Hughes dalam bukunya bertajuk The Bamboo Network, Jaringan Pengusaha Tirai Bambu, kiranya memberikan cerita latarbelakang yang cukup akurat mengapa AS dan sekutu-sekutunya dari Barat begitu khawatir pada Cina.

Weidenbaum dan Hughes menggunakan sudut pandang Bisnis dalam memandang kebangkitan apa yang disebut Cina Raya secara pesat sebagai matarantai dari aktivitas perdagangan, industri, dan keuangan. Dalam konteks inilah, Murray dan Hughes berpandangan bahwa ada empat daerah geografis yang berkelindan menjadi kesatuan yaitu Taiwan, Hongkong, Singapura dan tentu saja Cina daratan itu sendiri.

Taiwan merupakan daerah geografis yang memiliki kemampuan teknologi dan manufaktur dalam jumlah besar. Hongkong memiliki keunggulan kewirausahaan, dan pelayanan jasa yang terkemuka. Adapun Singapura memiliki jaringan komunikasi yang baik. Cina daratan memiliki sumberdaya alam dan sumberdaya manusia terutama tenaga kerja yang sangat besar. Alhasil, dari sudut pandang kerjasama bisnis Cina daratan dengan ketiga negara sebagaimana berdasar kerangka pandangan Murray dan Weidenbaum tadi, pada perkembangannya berhasil menjelma menjadi kekuatan modal keuangan yang luar biasa.

China's Foreign Policy Part 5, 1989-1995: Navigating to Global Economic Integration after Tiananmen – Liberation News

 

 

 

 

 

 

 

 

Meskipun secara politis Cina daratan (RRC) dengan Taiwan bermusuhan dan tidak bersahabat, namun dalam perspektif bisnis jaringan yang saling ketergantungan internasional antara Cina daratan, Taiwan, Hongkong, dan Singapura, justru semakin meningkat dan solid. Dengan terciptanya sebuah wilayah perekonomian yang bersifat unik melampau batas-batas geografis dan batas-batas antarnegara.

Secara lokasi geografis, Hongkong praktis berfungsi sebagai gerbang menuju Cina. Hongkong yang punya uang, bakat manajerial, keahlian dalam pemasaran, jaringan bisnis yang mendunia, dan teknologi canggih. Adapun daratan Cina memiliki pasokan tanah dan tenaga kerja dengan biaya yang rendah, namun kekurangan keahlian, uang dan teknologi. Keunggulan komparatif alami Hongkong diperkuat oleh kenyataan bahwa propinsi pesisir yang berdekatan dengan Guangdong di daratan Cina, merupakan tanah leluhur sebagian besar penduduk Cina Hongkong.

Maka tidak heran jika hubungan lintas batas antara Hongkong dan daratan Cina semakin berkembang, seperti Shenzen, yang berlokasi geografis terdekat dengan Hongkong. Bukan saja Shenzen dipandang sebagai kota “Hongkong Mini” melainkan juga hampir seluruh Cina bagian Selan yang diterapkan Zona Ekonomi Khusus semasa Deng Xiaoping berkuasa pada akhir 1970an, mengalami kemajuan pesat.

Xi backs 'One Country, Two Systems' in Hong Kong | Financial Times

Sepertinya, pandangan visioner Deng Xiaoping seturut bergabungnya kembali Hongkong ke tangan RRC pada 1997, untuk menerapkan One Country Two System terhadap Hongkong, kelak diberlakukan juga terhadap jaringan para Cina rantau yang tersebar di Asia Pasifik. Termasuk Indonesia. Artinya, sepanjang kaum kapitalis berbasis korporasi baik di Hongkong maupun Cina rantau bersedia melayani kepentingan nasional RRC, maka kerjasama berskala internasional tersebut dibenarkan menurut doktrin pemerintahan RRC yang sejak Deng berkuasa, mencanangkan jargon “Memodernisasikan Masyarakat Sosialis Berwatak Cina.” Dalam bahasa tegasnya, selama kaum kapitalis bersedia menerima skema sosialisme ala Cina, maka kerjasama bisa terjadi antara RRC dan para Cina rantau.

Dalam perspektif inilah, jejaring regional dan global para taipan lintasnegara dengan Hongkong, Singapura dan Taiwan menjadi jaringan internasional yang cukup berkelindan erat dan semakin solid dengan Cina daratan.

Bahkan menurut catatan Murray dan Hughes yang bukunya terbit pada 1996 atau sebelum Honkong bergabung kembali dengan RRC, mencatat bahwa ditinjau dari sisi mikroekonomi, Cina dan Hongkong kala itu sudah merupakan mitra investasi dan dagang terbesar. Sekitar 60 persen ekspor Cina menuju Hongkong, sementara Cina merupakan tujuan ekspor nomor satu Hongkong. Malah ekspor Hongkong ke Cina 23 persen, ke Amerika Serikat hanya 19 persen.  Bisa dibayangkan setelah Hongkong menyatu kembali dengan RRC pada 1997.

Berarti, bagi China Hongkong bukan sekadar pusat persinggahan pelabuhan bagi Cina. Investasi oleh Cina rantau berhasil memasuki daratan Cina melalui Hongkong. Proyek-proyek patungan di Cina dibiayai bersama oleh investor dari Indonesia atau Thailand keturunan Cina atas bantuan dari Hongkong.

Sisi penting lainnya di luar dimensi keuangan yang kian kumulatif, bagaimana melalui jaringan transportasi yang terintegrasi dibangun untuk menciptakan konektivitas geografis. Misal jaringan kapal feri, hydrofoil, dan penerbangan udara, dibangun untuk menciptakan konektifitas geografis antara Hongkong dan Cina. Bahkan pada 1994 untuk mengembangkan lebih lanjut skema Zona Ekonomi Khusus yang diterapkan di beberapa kota Cina Selatan, dibangun jalan laying enam jalur oleh Hopewell Holdings yang dikuasai taipan prasarana Hongkong Gordon Wu, secara simbolis maupun langsung, menghubungkan Guangzhou dan Shenzen dengan Hongkong. Melalui skema ini, perjalanan ulang-alik warga Hongkong ke Cina dan sebaliknya, praktis bebas hambatan dan mudah.

Mengapa saya berani menyimpulkan bahwa kekhawatiran AS dan Barat pada Cina didasari pada skema One Country Two System yang diterapkan Cina seturut bergabungnya kembali Hongkong ke Cina daratan?

Merujuk pada pernyataan bersama pada 1984 yang ditandangani oleh Cina dan Inggris yang waktu itu Hongkong masih secara resmi berada dalam kekuasaan kerajaan Inggris, disepakati oleh kedua negara bahwa pada 1997 Hongkong akan menjadi daerah administratif khusus daratan Cina terhitung sejak Juli 1997.

Hong Kong1

Di bawah pernyataan bersama  tersebut, Hongkong dijanjikan akan mendapatkan tingkat otonomi yang tinggi, dan akan diperbolehkan mempertahankan sistem sosial, ekonomi, dan hukum yang ada saat itu selama 50 tahun. Jaminan bagi penduduk Hongkong berdasarkan pernyataan bersama itu adalah:

  • Kelangsungan sistem ekonomi dan sosial yang ada saat ini dan perlindungan hak milik dan investasi asing.
  • Pergerakan bebas barang dan pertukaran bebas mata uang Hongkong.
  • Kelangsungan kebijakan moneter dan keuangan Hongkong, tanpa pajak yang dibayarkan kepada daratan Cina.
  • Dipertahankan hukum umum Inggris dan perlindungan seluruh hak untuk bebas yang mendasar berdasarkan hukum.
  • Hak untuk bebas berpindang ke dan dari Hongkong
  • Otonomi dalam melaksanakan hubungan perniagaan eksternal.
  • Pengadilan yang independen dan lembaga legislative yang sepenuhnya dipilih dari penduduk setempat.

Terlepas kala itu, sempat muncul kekhawatiran dari pihak Hongkong ikhwal komitmen pemerintah Cina terhadap jaminan tersebut, pada perkembangannnya kemudian hingga kini, justru hal itu tidak relevan. Bagi Deng saat itu, kesepakatan bersama Cina-Inggris 1984, justru dijadikan pancangan kaki bagi Deng dan para penerusnya kemudian, untuk membangun aliansi internasional dengan jaringan overseas Chinese lintasnegara yang tersebar di pelbagai belahan dunia, utamanya Asia Pasifik, untuk membangun kerjasama strategis berskala internasional.

Di sinilah aspek krusial dan paling mengkhawatirkan dari skema One Country Two System yang dikembangkan Deng Xiaoping yang semula hanya sebatas untuk merespons situasi transisi di Hongkong dari kerajaan Inggris ke RRC. Yaitu terbangunnya suatu Jaringan Bambu, meminjam istilah Weidenbaum dan Hughes, bagaimana pemerintah daratan Cina dan para pengusaha Cina rantau membangun sebuah kekuatan adidaya baru. Malah Weidenbaum dan Hughes cukup berani memakai istilah terciptanya Cina Raya.

Yang mana pada perkembangannya kemudian jejaring Cina rantau atau para Taipan lintas batas negara tersebut berkelindan dengan Hongkong, Taiwan dan Singapura, bersama-sama menghimpun sebuah kekuatan modal keuangan luarbiasa dengan pemerintah Cina daratan. Terciptanya simbiosis mutualisme antara Cina daratan, Taiwan, Hongkong dan Singapura. Untuk kemudian menyebar ke kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Dalam konteks ini, menarik menyimak cara pandang Stephen Riadi, salah satu putra Taipan Indonesia Mochtar Riadi,  yang punya jaringan kuat dan solid dengan Hongkong. Dan pada 1990a-n tercatat pernah menjadi taipan Indonesia ranking teratas investor Indonesia yang menanam modal di Cina. Menurut Stephen Riadi yang basis operasi bisnisnya berada di Hongkong, punya sebuah cara pandang yang menarik. Dalam pandangannya, masa depan Asia merupakan perputara Segi Tiga Emas, Yang paling utara meliputi Jepang, Korea, dan Cina Timur Laut.

 

Stephen Riady Diangkat Jadi Anggota Dewan Komisaris Asia Society - Kabar24 Bisnis.com

Adapun Segi Tiga Tengah terdiri dari Hongkong, Taiwan, dan Cina Selatan. Yang paling Selatan meliputi Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Dalam hal ini, Stephen yang tergabung dalam LIPPO Group bersama Mochtar Riadi dan saudaranya, James Riadi, berkubu di Segi Tiga bagian Selatan. Yang merupakan basis asal-usulnya. Selain fakta bahwa Segitiga bagian Utara sudah berada dalam genggaman dominasi Jepang.

Dengan begitu, menurut sudut pandang Stephen Riadi yang dalam hal ini bolehlah kita baca mewakili strategi global ekonomi-bisnis para Cina rantau yang bersifat non-negara namun sejatinya merupakan para kapitalis berbasis korporasi, maka Segitiga Emas bagian Selatan menjadi basis untuk membangun imperium para Taipan, baik sebagai kekuatan bisnis maupun kekuatan modal keuangan yang luarbiasa.

Bersinerginya RRC dengan Hongkong, Taiwan dan Singapura yang mana didukung oleh Cina Rantau sebagai tenaga penggerak kekuatan bisnis dan keuangan, pada perkembangannya akan menjelma menjadi Adidaya Ekonomi  Baru di Asia Pasifik, Afrika, Amerika Latin, dan yang belakangan semakin solid, dengan Iran yang notabene berada di kawasan Teluk Persia.

Skema Jalur Sutra yang mulai dicanangkan Presiden Xi Jinping sejak 2014 lalu sebagai strategi nasional, barang tentu merupakan bagian yang terintegrasi dengan skema One Country Two System yang digariskan Deng Xiaoping seturut bergabungnya kembali Hongkong. Strategi nasional yang kemudian dikenal dengan Silk Road Maritime Initiatives itu, sejatinya merupakan kombinasi dua langkah strategis yang berpadu jadi satu. Yaitu  menciptakan konektivitas geografis dengan kerjasama ekonomi dan perdagangan, bahkan meluas menjadi kerjasama sosial-budaya.

Ketika Maritime Silk Road Initiatives dikembangkan dalam program bernama One Belt One Road atau Belt Road Initiatives, maka AS dan Blok Barat yang selama ini sudah jauh lebih dahulu memainkan peran sebagai kekuatan hegemoni global, sangat masuk akal untuk khawatir.

Dalam pemetaan lokasi geografis, Jalur Sutra membentang dari  Xinjiang ke Eropa. melalui beberapa rute lintasan. Seperti misal, mengapa AS dalam persekutuannya dengan Australia dan Inggris dalam skema AUKUS, merasa perlu untuk membelah TIbet dan Xinjiang. karena Tibet termasuk  Jalur lintasan Jalur Sutra yang  lokasi geografisnya  terletak di Utara dalam wilayah Cina paling Barat. Berbatasan di Utara dan Barat dengan lima negara Muslim di Asia Tengah yaitu KyrgyzstanKazakhstan, Tajikistan, Turkemistan, Afghanistan dan Pakistan.

 

Dalam perspektif geopolitik Cina, Jalur Sutra memang bukan saja rute dagang dan rute keamanan, melainkan juga berpotensi jadi rute kontak budaya antarnegara jika menelisik kembali kerjasama antara Cina dan negara-negara Asia lainnya.

Adapun Jalur Sutra tersebut mempunyai beberapa rute lintasan. Via Uatara membujur dari Perbatasan Cina-Rusia, KyrgyzstanKazakhstan, Tajikistan, Turkemestan, Iran, Irak, Suriah, Turki, lantas terus menuju Eropa.

Via Selatan membentang antara Cina, India, Pakistan, Afghanistan, Iran, Iraq, Suriah, Mesir, terus menuju ke Afrika Utara hingga Maroko. Titik pisah antara jalur Utara dan Selatan adalah Suriah. Selain itu ada jalur tambahan atau jalur pengembangan yaitu melalui Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Yang mana beberapa negara yang berada di kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, masuk dalam rute lintasan tersebut.

Kekhawatiran AS dan Blok Barat bukan saja sebatas pada aspek politik dan keamanan. Karena Jalur Sutra bukan sekadar rute lintasan ekonomi-perdagangan, dan sosial-budaya. Fakta yang tak terbantahkan bahwa negara-negara yang termasuk dalam rute lintasan tersebut, semuanya merupakan negara-negara kaya sumberdaya alam seperti minyak, gas, tambang-batubara, dan jenis-jenis tambang lainnya.

Inilah intisari kekhawatiran AS dan Barat. Strategi Nasional Jalur Sutra Maritim Cina sebagai jabaran dari dari skema One Country Two System, Menyatunya konektivitas geografis dan kerjasama ekonomi-perdangan dengan negara-negara yang termasuk lintasan Jalur Sutra di Asia Pasifik, terutama Asia Tenggara yang diterapkan Cina atas dasar pola geostrategi Soft Power dan nonmiliter, sebaliknya malah  mendorong AS dan sekutu-sekutunya untuk membendungnya melalui pola geostrategi Hard Power.

Inilah sisi rawan dari skema persekutuan tiga negara AS, Inggris dan Australia melalui skema AUKUS maupun skema sebelumnya yaitu persekutuan empat negara (AS, Australia, India dan Jepang). Maka itu, peran aktif Indonesia untuk memprakarsai perdamaian lewat ASEAN menjadi sangat mendesak dan penting. Untuk itu, perlu menjabarkan Politik Luar Negeri RI Bebas-Aktif secara lebih imajinatif sesuai dengan tren dan tantangan global yang kita hadapi dewasa ini.

Hendrajit, pengkaji geopolitik, Global Future Institute (GFI)

Facebook Comments
Social Media Auto Publish Powered By : XYZScripts.com