Pertemuan antara Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan Presiden Otoritas Negara Palestina Mahmoud Abbas pada 9 November 2023 lalu secara jelas menunjukkan bahwa negara-negara Muslim di kawasan Timur-Tengah maupun kawasan-kawasan lainnya tidak bisa menaruh kepercayaan kepada AS maupun negara-negara blok Barat sebagai mediator konflik antara Arab Palestina versus Israel.
Mengingat kesejarahannya sejak berdirinya Israel pada 1948 sebagai negara bangsa menyusul pembagian tidak adil wilayah Palestina oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1947, Inggris dan AS praktis selalu mendukung secara total Israel dalam setiap konflik dengan Arab Palestina maupun negara-negara Arab lainnya di kawasan Timur Tengah seperti dengan Irak, Suriah, dan belakangan dengan Iran sejak berdirinya Republik Islam Iran pada 1979.
Maka itu sama sekali tidak mengejutkan ketika Di Tel Aviv Blinken secara terang-terangan mendukung secara total agresi militer Israel terhadap Palestina. Bahkan bukan sekadar dukungan moral dan politik, bahkan memastikan akan memberikan bantuan militer secara maksimal dalam perang berkelanjutan Israel terhadap para pejuang Palestina.
Meskipun pemerintah AS tidak secara terbuka menyatakan seperti apa jenis bantuan militer karena khawatir pasokan peralatan militer ke Israel akan menyebabkan AS dicap sebagai Penjahat Perang dalam mendukung kejahatan perang Israel membunuh warga sipil di Palestina.
Celakanya, baik Israel maupun sekutu-sekutu Barat-nya seperti Inggris dan Perancis, sepertinya tidak peduli dengan besarnya korban warga sipil Palestina. Bahkan tetap meyakini bahwa saat ini merupakan momentum terbaik untuk menetapkan secara tuntas konflik berkepanjangannya dengan Arab Palestina. Seraya melestarikan dominasinya di kawasan Timur Tengah dan Teluk Parsi.
Untuk menggambarkan betapa bias dan berat sebelahnya AS dan negara-negara blok Barat dalam mendukung Israel dalam menghadapi perjuangan bersenjata Arab Palestina dalam upaya merebut kembali wilayah-wilayah Palestina yang direbut Israel, mari kita kilas balik sejenak pada 7 sampai 9 Juni 1988. Kala itu, para pemimpin Arab berkumpul di Aljir, ibukota Aljazair, menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi “Darurat” Liga Arab. Semua kepala negara Arab hadir kecuali Presiden Irak Saddam Hussein, Presiden Somalia, Mohammad Siad Barre, dan Sultan Qabous dari Oman.
KTT yang diadakan atas prakarsa Aljazair ini bertujuan untuk membicarakan langkah terpadu dalam memberikan dukungan materi, keuangan dan politik, kepada masyarakat Palestina yang mana sejak 1987 melancarkan intifadhah (perjuangan) di Tepi Barat Sungai Yordan dan Jalur Gaza melawan Zionia Israel.
Intifadhah yang dimulai sejak Desember 1987 telah menewaskan 225 orang warga Palestina.
Sebuah catatan penting yang perlu kita cermati dari hasil KTT Aljazair Juni 1988 yang bersifat tertutup tersebut antara lain menyeoakati beberapa poin penting:
- Menolak usul perdamaian yang diajukan oleh Amerika Serikat. Misi perdamaiann yang dijajaki oleh menteri luar negeri AS George Shulz ini dianggap hanya ingin melindungi kepentingan Israel saja.
- Dukungan terhadap intifadhah rakyat Palestina di Tepi Barat dan Gaza.
- Menegaskan kembali Palestine Liberation Organization (PLO) sebagai satu-satunya wakil sah Palestina.
- Dukungan moral dan politik KTT Aljazair dan menyetujui pemberian bantuan “darurat” senilai 128 juta dolar AS serta bantuan bulanan 40 juta dolar AS.
Salah satu poin penting dari KTT Aljazair Juni 1988 yang perlu saya garis bawahi di sini adalah sikap terang-terangan negara-negara Arab di Timur Tengah menyatakan tidak percaya pada kredibilitas AS maupun sekutu-sekutu Baratnya sebagai mediator atau juru damai konflik antara Arab Palestina versus Israel. Mengapa bisa seperti itu?
Pakar Timur-Tengah M. Riza Sihbudi dalam bukunya bertajuk: Bara Timur Tengah, menuturkan bahwa “kebijakan bermuka dua” atau kalau tidak mau disebut terang-terangan mendukung Israel dalam konfliknya dengan Arab Palestina, bermula saat Inggris pada pada Pasca Perang Dunia I, menteri luar negeri Inggris Arthur James Balfour berjanji kepada Theodore Herzl yang merupakan pemrakarsa Gerakan Zionisme Israel untuk mendirikan negara Yahudi, untuk membantu cita-cita kaum Zionis pada 1917. Perhitungan Balfour dan Inggris, dengan mendukung Gerakan Zionisme Israel mendirikan negara Yahudi, dapat mengamankan keberlangsungan kekuasaan Inggris di kawasan Timur Tengah. Surat janji Inggris pada Theodore Herzl ini kelak dikenal dengan “Deklarasi Balfour.”
Inilah peristiwa yang melatarbelakangi mengapa Inggris yang kemudian diperkuat AS dan juga Perancis, memberi dukungan mutlak terhadap upaya Gerakan Zionisme Israel untuk mendirikan negara bangsa. Momentum itu tiba memang baru 31 tahun kemudian, ketika pada Pasca Perang Dunia II, Inggris dan AS menjadi pemain kunci dan motor penggerak terbentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sehingga dengan bantuan Inggris, Israel dapat wilayah yang lebih luas dibandingkan Arab Palestina yang kala itu jumlah penduduknya lebih banyak daripada para pemukim di Palestina.
Baca juga: If Americans Knew
Maka ketika bentrok semakin membesar seturut pembagian Palestina yang yang tidak adil bagi Arab Israel tersebut, dan kemudian bentrokan itu berubah menjadi perang berskala besar antara Arab versus Yahudi Israel, Inggris dan AS secara total mendukung Israel menghadapi Arab Palestina. Dan hal itu mencapai puncaknya ketika pada 1948 kaum Yahudi memproklamirkan berdirinya negara Israel. Sejak itu bukan saja sebatas konflik bersenjata antara Yahudi Israel versus Arab Palestina, bahkan juga melibatkan sejumlah negara Arab.
Namun ironisnya, seperti analisis M. Riza Sihbudi, dalam setiap peperangan, Israel selalu memperoleh kemenangan, dan berhasil memperluas daerah kekuasaan mereka. Dan pada Perang Enam Hari pada Juni 1967, seluruh wilayah wilayah Palestina jatuh ke tangan Israel.
Baca: Visualizing Palestine
Rangkaian cerita tadi menjelaskan mengapa hingga kini tiga anggota tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa yaitu AS, Inggris dan Perancis, tetap menolak mengakui kedaulatan Palestina. Jadi, masuk akal jika hingga kini AS dan sekutu-sekutunya seperti Inggris dan Perancis, tidak bisa dipercaya sebagai mediator atau juru damai penyelesaian konflik secara komprehensif, menyeluruh dan adil, antara Arab Palestina versus Israel.
Hendrajit, Pengkaji Geopolitik, Global Future Institute (GFI)